Dalam kehidupan ini kita terus menerus akan saling menyakiti, dengan sengaja atau tidak. Orang-orang yang dekat lebih mudah saling menyakiti. Siapa yang sudah berkeluarga akan mengamini pernyataan ini. Ketika seseorang melukai kita, kita mempunyai kecenderungan alami untuk menyimpannya sebagai senjata khusus yang akan kita digunakan melawan orang itu, ketika perseteruan terjadi, jika diperlukan.
Sebagai orang Kristen, kita bisa mengatakan kita mengasihi sesama atau saling mengasihi. Namun ketika orang membuat kesalahan yang membuat yang membuat kita marah, daftar kesalahan-kesalahan masa lalu kita keluarkan. Ingatan masalah masa lalu yang menyakitkan muncul kembali; masa lalu menjadi masa sekarang. Tuduhan bertebaran. Jika demikian, menurut Paulus ini bukan kasih. Kasih sejati mengampuni dan menolak mengingat sakit yang dialami. Kasih sejati melupakan sakit diri tapi fokus pada kebutuhan orang lain yang dikasihi.
Menyimpan sakit hati dan menggunakan melawan mereka yang melukai kita berlawanan dengan Firman Allah dan merusak kebahagiaan kita sendiri. Kita mau belajar atribut ke-9 dari kasih, yaitu: ‘tidak menyimpan kesalahan orang lain.’1 Kor 13:5d. Secara harfiah bahasa Yunani ayat itu dapat diterjemahkan menjadi “tidak memperhitungkan yang buruk.” Kata asli untuk “menghitung” adalah istilah akuntan yang digunakan untuk memasukkan suatu item ke dalam buku besar agar tidak terlupakan. Tujuannya adalah untuk membuat catatan permanen yang dapat dilihat di masa mendatang jika diperlukan. Ini diperbolehkan dalam dunia akuntansi, tapi tidak dalam hal relasi. Kasih sejati mengampuni dan menolak mencatat kesalahan-kesalahan orang yang dikasihi. Lihat Kolose 3:13-14.
Ada perbedaan antara ingat kejadian di masa lalu dan menyimpan dendam terhadap orang lain. Mengampuni tidak berarti Anda telah lupa dengan pelanggaran yang telah orang lakukan terhadap Anda. Namun pengampunan sejati berarti menjadikan sengat pelanggaran itu sudah tidak ada lagi. Walau ingatan itu bertahan, namun Anda memilih tidak menyimpan terhadap orang itu.
Mengapa Allah membenci orang yang menyimpan kesalahan orang lain? Alkitab menyatakan setiap orang melakukan dosa kepada Allah setiap hari. Kalau satu ketika catatan dosa kita dibawa kepada pengadilan Allah (Wahyu 20:12, 13) maka kita akan mendapatkan upah dosa-dosa kita itu, yaitu kematian (Roma 6:23). Perbuatan-perbuatan baik kita tidak bisa menutup pelanggaran-pelanggaran kita kepada Allah (Gal 2:21).
Namun karena kasih-Nya, Allah menyediakan pengampunan dan mengaruniakan keselamatan kekal (Efesus 2:8-9) kepada mereka yang menerima Dia. Ini diberikan gratis kepada mereka yang beriman kepada Kristus dan bertobat dari dosa-dosa mereka. Melalui kematian Kristus di salib, Allah menyediakan pengampunan untuk dosa-dosa kita masa lalu, masa sekarang dan masa depan dan menempatkan kebenaran sempurna Kristus pada diri kita (2 Kor 5:21). Dosa-dosa kita tidak pernah digunakan lagi oleh Allah untuk melawan kita. Jika Allah telah mengampuni dosa-dosa kita yang begitu besar, bagaimana kita tidak mengampuni dosa-dosa sesama kita yang jauh lebih kecil?
Ketika kita mengampuni orang lain, ini menyenangkan hati Allah dan meyakinkan keselamatan kita sendiri, karena menerima pengampunan-Nya. Dengan mengampuni, kita juga menghindarkan akibat tidak mengampuni yang merusak diri sendiri. Siksaan oleh algojo dalam Perumpamaan (Matius 18:34) bisa berupa perasaan-perasaan yang merusak, seperti kemarahan, kepahitan, sakit hati, dendam, dsb yang bisa menyebabkan sulit tidur, ketakutan, kecemasan, stress dan hubungan yang rusak dengan Allah dan sesama.
Ketika Petrus menanyakan kepada Yesus sampai berapa kali dia harus mengampuni kesalahan saudaranya, apakah sampai 7 kali? Tradisi Yahudi orang mengampuni orang lain sampai 3 kali. Petrus mungkin merasa sudah menawarkan yang jauh lebih baik. Tapi Yesus mengatakan: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Matius 18:22. Dia menyatakan tidak ada batas pengampunan yang harus kita berikan. Mengapa demikian? Karena Allah yang telah mengampuni kita lebih dahulu tanpa batas dan tanpa bekas (Misal: Yesaya 43:25; Efesus 4:32).
Kita tentu tidak membiarkan orang terus menyakiti atau menyalah-gunakan kita atau orang lain. Ini bukan yang dijarkan 1 Kor 13:5d. Namun Paulus mengajarkan agar orang mengasihi dengan mengampuni mereka yang mencari pengampunan, dan membiarkan yang lalu, berlalu. Ketika kita mengampuni seseorang, ini tidak selalu mengembalikan hubungan semula. Ketika orang menunjukkan tidak bisa dipercaya atau menyebabkan celaka, walau kita mengampuni mereka dan ‘tidak menyimpan kesalahan’ mereka, namun hubungan dengan mereka bisa tidak seperti semula.
Teladan tokoh Alkitab dalam PL yang menonjol adalah Yusuf. Yusuf dijual saudara-saudaranya sebagai budak dan mengalami banyak penderitaan dalam masa dia di Mesir. Namun ketika dia menjadi orang kedua paling berkuasa di Mesir dan bertemu dengan saudara-saudaranya, dia tidak menunjukkan dendam kepada saudara-saudaranya itu. Sebaliknya dia melihat tangan Tuhan di balik semua peristiwa pahit yang dia alami untuk suatu kebaikan besar. Kejadian 50:20-21.
Yesus memberikan teladan sempurna kasih agape yang digambarkan Paulus. Di salib Dia membayar harga dosa seluruh dunia ketika kita masih berdosa, menjadi musuh Dia, Kristus mati bagi kita (Roma 5:8). Dia tidak mencatat dosa-dosa manusia, sebaliknya Dia berdoa dari salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Lukas 23:34).
Ketika orang bersalah kepada kita, kita bisa menyimpan kesalahan orang itu untuk kita gunakan pada masa di depan, atau, kita bisa melepaskan orang itu dari kesalahannya melalui pengampunan. Ketika kita memilih pengampunan, kita menjanjikan tiga hal: 1) Tidak berkutat pada kesalahan yang sudah kita ampuni secara pribadi, 2) tidak membicarakannya dengan orang lain tentang kesalahannya, dan 3) tidak memanfaatkan pelanggaran tersebut untuk melawan orang tersebut di masa mendatang.
Ketika orang bersalah kepada kita, dia bisa minta maaf dan kita memaafkan. Kalau dia tidak minta maaf, maka kita bisa lakukan 2 hal untuk membuang kesalahan orang itu. Kita berbicara dengan orang yang menyalahi kita; melakukan klarifikasi; memaafkan dan melupakan masalah itu. Ini penting ketika masalah itu memisahkan hubungan atau menyebabkan celaka yang serius – yang kita tidak mau terulang. Atau mengabaikan pelanggaran itu. (Amsal 19:11, 10:12, 1 Petrus 4:8).
Bagaimana kita mempraktekkan kasih yang tidak menyimpan kesalahan orang lain? Kita mulai dengan doa, meminta Allah menyembuhkan luka dalam hati kita. Ampuni orang yang bersalah kepada Anda dari hati yang telah menerima pengampunan dan pemulihan dari Allah. Lakukan sesuatu kepada orang yang telah melukai Anda untuk menunjukkan bahwa Anda telah mengampuni dia dan ‘tidak menyimpan kesalahan’ orang itu.
Mengampuni dengan benar adalah sulit. Ketika para murid dihadapkan standar mengampuni yang tinggi itu (7 kali sehari), para rasul itu berkata: “Tambahkanlah iman kami!” (Lukas 17:4-5). Dan kita bersyukur tidak dibiarkan melakukan dengan kemampuan sendiri, tapi Roh Kudus memberikan kepada kita kemampuan itu untuk melakukan apa yang tidak pernah bisa Anda lakukan sendiri. Mari kita bergantung kepada kekuatan-Nya dan percaya Dia akan menolong kita.
Kasih adalah utama dalam kekristenan. Allah adalah kasih dan melimpahkan kasih-Nya kepada manusia ciptaan-Nya; memerintahkan untuk mengasihi sebagai perintah utama dan Roh Kudus membangun kasih itu dalam diri orang percaya. Karena itu mengasihi sesama dan ‘tidak menyimpan kesalahan orang lain’ mereka bukan pilihan tapi kewajiban orang yang mau menjadi pengikut Kristus. Tuhan Yesus memberkati!