LGBT Dalam Perspektif Medis Dan Psikologis

BERBAGAI argumentasi pembenaran LGBT datang silih berganti. Apakah benar LGBT adalah hal yang tidak bisa ditolak sejak awal/gay gen, atau menjadi potensi, atau gairah seks yang terus dipuaskan?

      Argumentasi yang ada sangat terbuka untuk diperdebatkan. Dan memang masyarkat pada umumnya menolak karena menilai itu salah dari perspektif teologis (agama). Penolakan bukanlah kebencian, atau mengada-ada, karena memang sejak semula LGBT tak dikenal. Kasus Sodomo dan Gomora dengan jelas menggambarkan homoseksual yang dinilai oleh Tuhan sebagai dosa, dan kota itu harus menanggung konsekwensinya. Namun, disisi lain harus kita akui bahwa perkembangan jaman dari masa kemasa telah melahirkan berbagai perubahan konsep nilai. Dan, ini tampak jelas mempengaruhi gaya hidup yang semakin tidak menentu. Dalam Alkitab di 2 Timotius 3, rasul Paulus berkata bahwa zaman akhir ini merupakan masa yang sukar, dimana manusia hidup menuruti hawa nafsunya, yang biasa disebut hedonis. Jadi maraknya isu LGBT bukanlah hal yang mengejutkan, tetapi perlu disikapi dengan bijak.

     Pembelaan medis bahwa seorang homo itu bersifat genetik, sejak awal datang silih berganti, hingga Dean H. Hammer seorang ahli genetika, bersama tim penilitinya di Lembaga Kanker Nasional Amerika pada tahun 1993. Mereka mengatakan bahwa homoseksual, setidaknya, beberapa bersifat genetik. Dikatakan dari hasil penelitian silsilah keluarga yang dua atau lebih adalah gay, dan digabungkan dengan DNA homoseksual yang sebenarnya maka ditemukan adanya kemungkinan yang mempengaruhi orientasi seks seseorang. Dikatakan kemungkinan gen gay ini diwarisi dari dari garis ibu, sekalipun orangtuanya bukan homo. Dan hal ini juga bisa terjadi pada anak kembar sekalipun, yang salah satunya menjadi gay. Para ilmuwan masih belum memiliki bukti yang tak terbantah, karena sangat terasa hasil penilitian ini masih banyak meninggalkan pertanyaan. Namun kaum LGBT telah mengklaim ini sebagai hasil final dan mempropagandakan bahwa homo adalah gen. padahal para peniliti ini sendiri mengatakan beberapa dari homo bukan semua homo. Dean Byrd seorang profesor Psikologi klinis Universitas of Utah School Medicine, tahun 2001 mengatakan, adanya unsur genetika yang membawa gay gen tidak otomatis membuatnya menjadi seorang homoseksual. Kecuali dia melampiaskan hawa nafsunya. Kesimpulan Hammer patut digugat. Pandangan berbeda bertaburan dan kaum LGBT tentu saja memilih hasil penelitian yang mendukung mereka. Dan, andaikatapun suatu waktu itu diklaim benar, paling tidak ada fakta tersisa, yaitu ada gay yang bukan karena gen. siapa yang berhak memberikan lisesnsi tentang gay yang gen atau bukan? Dan bagaimana menilai mereka gay yang bukan gen. Ini juga berarti bahwa ada yang bukan dari gen gay telah menjadi gay, dan ini jelas berarti gay yang tertular. Hasil yang pasti dari penelitian ini adalah adanya penularan sifat gay, sementara betul atau tidak karena gen masih bisa diperdebatkan. Pintu bagi kaum LGBT semakin terbuka ketika Obama presiden Amerika dari Demokrat yang memang liberal menyetujui pernikahan gay sehingga legal menurut UU. Kita perlu menyadari realita ini dan tidak memakan semua alasan pembenaran. Oleh karena itu sangatlah berlebihan jika alasan gen dijadikan argumentasi. Ini menyesatkan!

     Pembelaan psikologis menunjuk kepada dikeluarkannya homoseksual dari DSM (Diagnostic and statistical Manual of Mental Disordes), pada tahun 1973 oleh APA,s (American Psychiatrick Association’s). DSM adalah daftar kelainan mental. Itu berarti homoseksual dianggap bukan kelainan, namun jangan lupa sebelumnya masuk kriteria penyakit kelainan mental. Dr. Robert Spitzer seorang psikiatris dari Columbia University adalah tokoh penting yang berjuang menghilangkannya dari daftar kelainan. Namun pada tahun 2003 dia mempublikasikan penelitiannya terhadap 200 homo, yang ternyata menunjukkan keberhasilan perubahan orientasi seksual setelah menjalani terapi. Artinya seorang homoseks bisa menjalani terapi untuk menjadi normal. Jelas bukan bahwa ini bisa diterapi, bukan hakekat yang tak bisa berubah. Dengan segera dia mendapat tekanan dari komunitas gay, dan akhirnya Spitzer mencabut kembali hasil penelitian yang dipublishnya. Spitzer dikritik atas sikap tidak profesionalnya itu oleh psikolog seperti; Jerry A, Elton L,Moose Anne, dll. Jangan lupa bahwa pendapat para psikolog soal homoseksual juga terpecah, dan patut dipelajari latar belakang dan argumentasi orang yang berteori sehingga kita bisa berpendapat objektif.
Alferd C.Kensey seorang profesor sexology yang pro gay ditahun 50 an mengatakan hasil penelitiannyanya membuktikan bahwa 1 dari 10 orang adalah homo. Ini berarti 10%. Tapi dikemudian hari Neil N. Whitehead seorang ahli biokimia yang bebas dari pengaruh kaum homoseks, pada tahun 2000 mengatakan bahwa berdasarkan survey modern dari lembaga independen yang profesional dan tidak memihak, menunjukkan bahwa kaum LGBT hanya sekitar 2-3%. Kelihatan betul Kensey membesar-besarkan angka statistik gay demi pembenaran mengingat kuantitasnya.

      Membaca berbagai hasil penelitian dari berbagai perspektif disiplin ilmu oleh para ahli yang berbeda satu dengan lainnya sama banyaknya. Bagaimanapun juga tak bisa dipungkiri ini berkaitan dengan sikap pro dan kontra. Tidak sedikit para peneliti ternyata adalah seorang homo atau memiliki kecenderungan sehingga orientasi penelitian bisa jadi subjektif dan kehilangan sikap profesionalnya. Namun ada fakta yang tak bisa dibantah bahwa populasi penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) Aids tertinggi adalah mereka yang berperilaku homoseks. Dan dalam hubungan seks penularan Aids, adalah, mereka yang sering berganti-ganti pasangan. Namun yang tertinggi adalah mereka yang melakukan hubungan anal seks. Dalam investigasi oleh Centers for Disease Control and Prevention di Amerika ditemukan bahwa penularan terbesar melalui hubungan homoseks dan penularnya bernama Gaetan Dugas seorang pramugara yang sering berdiam di San Francisco. Pada tahun 1972 Gaetan mengklaim dalam setahun dia melakukan hubungan homoseks dengan 250 orang dan terus berganti dari tahun ketahun. Biarkanlah fakta itu berbicara.

    Akhirnya, yang patut dimusuhi adalah perilaku LGBT nya, bukan orangnya. Namun memang sangatlah sulit menolong seseorang jika dia tak merasa butuh, apalagi jika niat itu dianggap menghina. Biarlah kita semua membuka pintu kembali, khususnya keluarga yang menemukan realita ini dilingkungannya.
Jangan musuhi kaum LGBT, tetapi kasihi dan tolonglah mereka.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *