Bapak Pengasuh.
Ketika persoalan bertubi-bertubi, kemampuan untuk datang kepada Tuhan melalui doa terasa begitu sulit. Apa yang menyebabkan hal ini? Saya mulai membatasi diri untuk tidak terlalu terlibat di luar, sebaliknya lebih banyak mendiamkan diri dan bergumul sendiri. Apakah ini baik?
Menurut Bapak Pengasuh, mengapa kesadaran seseorang membutuhkan Tuhan tidak mampu membuat dia datang kepada Tuhan, dan tenang menghadapi hidup ini? Sebaliknya dia malah lebih sering menjauh, menyalahkan diri, menutupi diri dan sulit bangkit dari keterpurukan rohani serta relasi baik dengan Tuhan maupun sesama? Pernah terpikir dengan datang pada seorang psikolog untuk mencurahkan semua yang sedang terjadi, namun ternyata itu pun tidak menyelesaikan persoalan saya. Bagaimana peranan teologi bisa menyelesaikan persoalan manusia di dunia ini?
Fenstev, Menteng
Fenstev yang dikasihi Tuhan, memahami hidup ini sepenuhnya bukanlah hal yang mudah. Memang ada bagian yang terbuka untuk kita pahami, namun juga ada area yang tertutup bagi kita sebagai manusia yang terbatas (Ulangan 29: 29). Hal ini seringkali menimbulkan konflik di dalam diri sendiri. Namun jika kita mampu berserah secara aktif kepada Tuhan, maka itu akan menjadi kekuatan utama dalam melewati berbagai hadangan dalam menjalani kehidupan ini. Ini sebuah paradoks, cobalah pikirkan, kita tidak tahu akan hari esok, tapi kita pasti tahu bahwa esok Tuhan pelihara kita. Jika kita ngotot dan merasa harus tahu secara detil, apa bentuk pemeliharaan Tuhan untuk hari esok, maka kita akan frustrasi dan bisa menjadi seorang atheis (Yesaya 55:8-9).
Manusia diciptakan dalam keterbatasan, namun jangan lupa keterbatasan itu justru menjadi ciri kesempurnaan manusia. Kita terbatas mengetahui secara pasti hari esok, khususnya kematian kita. Tapi itulah sebabanya kita dapat menjalani hidup dalam canda dan tawa, karena kita tidak tahu, bahwa mungkin setelah itu kita akan mati. Andai kita tahu pasti, bahwa kita akan mati, betapa sengsaranya detik-detik hidup ini. Di sisi lain kejatuhan ke dalam dosa telah membawa manusia ke dalam konflik yang tak kunjung usai, sebuah pertarungan yang terus-menerus di dalam diri, antara berserah kepada Allah dan menyerah kepada dunia. Rasa kecewa dan senang, khawatir dan tenang, kesendirian dan penyertaan, datang silih berganti menghampiri diri ini. Seakan-akan kita dikurung pada dikotomi yang tak pasti. Itulah sebab, dalam iman kepada Yesus Kristus Tuhan, orang percaya diteguhkan, sehingga di penderitaan tetap saja ada kebahagiaan. Luar biasa ya.
Baiklah, sekarang coba kita pahami apa yang menjadi pergumulan kamu. Kita mulai dari persoalan datang bertubi-tubi. Sebuah definisi yang tentu saja relatif, karena sangat tergantung pada perspektif teologi kita. Cobalah lihat kasus Ayub. Bagi istrinya, itu sebuah ketidakadilan Allah yang membiarkan harta mereka hilang, dan anak-anak mereka binasa. Namun bagi Ayub tidak ada yang salah pada Allah. Ayub sangat menyadari kedaulatan Allah yang melintasi apapun, dan juga sadar sepenuhnya apapun miliknya, itu mutlak berasal dari, dan milik Allah sepenuhnya. Perbedaan sikap Ayub dan istrinya menunjukkan perbedaan perspektif teologi mereka.
Nah, Fenstev, dalam 1 Korintus 10:13, juga dikatakan, bahwa pencobaan yang datang kepada kita tidak pernah dan tidak akan, melebihi kemampuan kita. Jadi, jika kita tidak mampu menanggungnya, itu bukan karena datangnya pencobaan itu bertubi-tubi, atau terlalu berat, tapi lebih karena perspektif teologi dan iman kita akan kebenaran Firman Allah yang luar biasa itu. Sementara ketika berdoa kita merasa sulit atau bahkan buntu, itu manusiawi, namun bukan berarti kalah, atau kehilangan harapan. Lihatlah kisah Hanna yang sangat terpukul dalam kemandulannya, sehingga dia berdoa kepada Allah dalam kesesakan (1 Samuel 1). Suasana batin yang begitu tertekan membuatnya tak lagi mampu berdoa dengan suara yang benar, sampai-sampai imam Eli salah mengerti. Sang imam mengira Hanna mabuk, karena mulutnya yang komat-kamit tanpa suara. Ternyata Hanna hancur hati, dan imam tidak mengerti, tapi Allah memahami semuanya dan menjawab doa Hanna. Itu pula sebabnya Alkitab dalam Roma 8:26, mengatakan bahwa Roh akan menolong kita berdoa, ketika kita tidak lagi tahu bagaimana atau apa yang harus kita doakan.
Nah, Fenstev, adalah lumrah, ketika sebagai manusia yang terbatas kita merasa sangat tertekan, bahkan berada pada posisi tidak tahu harus bagaimana. Ingat, pencobaan itu tidak melebihi batas kemampuan, karena Roh Kudus akan menambahkan kekuatan ekstra pada kita untuk melewatinya. Di sisi lain, dalam situasi seperti ini kita diingatkan betapa pentingnya persekutuan saudara seiman, di mana kita bisa saling mendoakan, menguatkan. Jadi jangan paksa diri untuk coba menanggung sendiri. Namun itu bukan berarti sendiri tidak baik, karena memang ada waktu-waktu tertentu kita butuh kesendirian. Untuk ini bijaklah memilih waktu, kapan sendiri atau bersama. Tapi jika sendiri itu bukan dalam rangka menyendiri yang melarikan diri, melainkan evaluasi diri.
Pertanyaan kamu tentang orang yang membutuhkan Tuhan, namun kenapa tidak datang kepada Tuhan, bahkan sebaliknya dia menjauhkan diri, mempersalahkan diri. Hal ini sangat bergantung kepada latar belakang persoalan dan sikap iman. Berbicara membutuhkan Tuhan, semua manusia memilikinya, namun dalam tataran logika beragama saja, bukan sebuah kesadaran batiniahnya. Yudas, dia menyadari kesalahannya setelah mengkhianati dan menjual Yesus, gurunya, dia menyesal namun tidak kembali kepada Yesus, bahkan sebaliknya dia membunuh dirinya. Setelah kesalahan pertama mengkhianati, dia malah meneruskan dengan kesalahan kedua membunuh diri. Petrus juga merasa bersalah karena menyangkali Yesus Kristus, namun dalam pertemuan dengan Yesus setelah kebangkitan, dia kembali menjadi murid yang seharusnya. Namun, jika mempersalahkan diri, menjauhkan diri, terjadi hanya dalam rentang waktu tertentu saja, itu bisa jadi bagian dari proses pembentukan iman seseorang. Yang tidak lazim adalah, apabila hal itu berlangsung terus. Untuk mengindetifikasi ini, Firman Tuhan berkata, pohon dikenal dari buahnya.
Kalau soal sulit membangun kembali relasi dengan Tuhan dan sesama, bukan berarti tidak bisa kan. Di sini penting cara penangannya, sehingga seseorang ditolong secara benar untuk kembali ke jalan yang benar sesuai Firman Tuhan. Psikolog dapat menolong, namun sebaiknya yang Kristen sehingga pertolongan yang diberikan bisa terintegrasi dengan baik antara teologi dan psikologi. Jika pendeta sebaiknya yang juga memiliki pemahan psikologi yang memadai. Jadi bukan sekadar tengking sana sini, atau doa pelepasan, seperti kebanyakan penanganan gereja sekarang ini. Ini bukan soal kesurupan, tapi tekanan psikis. Bagi saya teologi menjadi master terhadap semua ilmu, dan apabila terintegrasi dengan baik menjadi sempurna dalam semua aspek.
Baiklah Fenstev yang dikasihi Tuhan, semoga ini menjadi berkat dan kamu menjadi kuat di dalam Tuhan. Terus baca REFORMATA, semoga bisa menjadi pencerahan.v