Jadi Korban Mutilasi, Mengerikan?

Bapak Pengasuh yang kami hormati. Bapak tentu prihatin dengan kasus mutilasi yang semakin marak di kota-kota besar. Bagaimana kita harus menyikapinya dalam iman Kristen? Apa sebenarnya motif di balik mutilasi ini? Apakah mungkin pelaku kehilangan rasa takut akan Tuhan? Atau memang ini juga bukti kalau dia tidak mengakui adanya Tuhan yang mengawasi hidupnya?

Bagaimana dengan korban mutilasi? Dalam hal ini apakah dia memang sudah ditetapkan Allah untuk meninggal dengan cara dipenggal-penggal? Bagaimana menolong orang percaya, untuk tidak menjadi orang yang penuh dengan ketakutan setelah mengetahui  semakin banyaknya peristiwa mutilasi? Dalam hal ini tidak was-was dalam beraktivitas. Terimakasih untuk jawaban Bapak Pendeta.

Dudi

Kramat Lontar

Jakarta

 

Dudi yang dikasihi Tuhan, kasus mutilasi memang sangat menggelitik akal sehat dan nurani kita, khususnya sebagai orang percaya. Mutilasi, yaitu tindakan memotong-motong korban menjadi beberapa bagian memang menciptakan aroma sadisme yang kental. Namun jangan lupa kasus mutilasi selalu ada di setiap jaman. Ingat Jack “The Ripper” di Inggris? Bukan hanya mutilasi, bahkan ada juga kanibalisme, alias memotong dan memakan korbannya.   

Lalu bagaimana dengan peristiwa semacam itu dalam Alkitab? Contoh kematian yang mengerikan dalam Alkitab ternyata tidak sedikit, namun dalam konteks yang berbeda. Kematian yang mengerikan ini disebabkan karena kebebalan hati dan dosa manusia yang mendatangkan murka Allah. Dalam jumlah, lihatlah kematian karena air bah di jaman Nuh. Segala yang bernapas, yang ada di muka bumi, yang tidak naik ke dalam bahtera Nuh, baik manusia maupun hewan, semuanya mati tanpa sisa (Kejadian 7). Lalu, kematian yang tak kalah mengerikan, yaitu kematian di Sodom dan Gomora, di mana semua makhluk hidup mati karena api yang diturunkan Allah dari surga (Kejadian 19:1-25).

Cobalah pikirkan kematian massal karena banjir 150 hari, dan air bah yang tak terhentikan, dan kematian massal karena api yang tak terpadamkan. Mayat bergelimpangan dalam keadaan yang mengerikan. Begitu pula dalam perjalanan umat Israel dari Mesir menuju tanah perjanjian, kebebalan mereka menimbulkan murka Allah, dan puluhan ribu orang binasa karena ditelan bumi, dipagut ular, kena tulah dari Allah (Bilangan 14:29-32, 16:1-49, 21:5-6, 25:1-18). Lalu dalam kisah para raja Israel, ada kematian yang mengenaskan dan hina bagi mereka sebagai raja. Kematian ini dikarenakan raja yang tegar tengkuk dan tidak taat kepada Allah.

Sekali lagi perhatikan, kematian-kematian ini mengerikan, tapi dalam konteks Allah menghukum manusia yang bebal. Namun di sisi lain ada juga kematian yang mengerikan, namun dalam kerangka menegakkan kebenaran Allah. Lihatlah Nabi Yesaya yang mati digergaji, rasul yang rata-rata mati syahid (dibacok, disalibkan terbalik, dipenjara, dibunuh, dll). Bahkan, untuk menebus dosa manusia, Yesus Kristus mati tersalib di Bukit Golgota.

Jadi, kematian yang mengerikan bisa kita temukan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Namun, motifnya bisa sangat bertolak belakang, yang satu karena kebebalan, sementara yang lain justru karena kebenaran dan ketaatan. Sebagai orang percaya, kematian bagi kita bukanlah apa-apa, seperti yang dikatakan Rasul Paulus, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Sementara kematian karena berbagai penyebab (ditabrak, dibunuh, sakit penyakit, bahkan korban sadisme), hanyalah sebuah cara mati. Cara mati tidaklah terlalu penting, karena yang terpenting adalah beriman kepada siapa ketika seseorang mati. Jika dia mati dalam iman yang benar kepada Kristus, maka cara mati seperti apapun, termasuk mutilasi, bukanlah masalah, sekalipun cara mati itu mengerikan menurut ukuran kemanusiaan kita.

Ingat, Yesus Kristus yang mati tersalib, itu bukan saja kematian yang mengerikan, tetapi juga sangat hina bagi orang di masa itu. Tapi ingatlah Kristus tidak pernah hina karena cara matinya, Dia adalah Raja Mulia, dari lahir hingga mati-Nya, dari kekekalan hingga memasuki kesementaraan, dan kembali lagi kepada kekekalan-Nya. Jadi, korban mutilasi, bukanlah masalah karena mati secara mutilasi, melainkan sikap imannya pada waktu itu. Itu sebab, sebagai orang percaya, tetaplah hidup beriman yang benar kepada Yesus Kristus, maka andaikata kita mati dimutilasi sekalipun, bukanlah apa-apa. Soal mati, itu sudah menjadi akibat permanen dari dosa yang dilakukan manusia di taman Eden, dan semua orang akan mengalaminya, baik Kristen atau bukan.

Orang percaya tidak lagi mengalami kematian, adalah nanti, jika sudah memperoleh tubuh kemuliaan, yaitu setelah mati dan dibangkitkan oleh anugerah dan kuasa Yesus Kristus. Soal cara mati, itu bisa karena ditetapkan Allah seperti kisah raja Ahab di Perjanjian Lama. Tapi bisa juga karena keteledoran kita sebagai manusia yang diijinkan Allah. Dan, yang lebih jauh lagi, adalah orang yang membunuh dirinya, mereka sukses bunuh diri bukan karena ditetapkan, melainkan dibiarkan Allah, namun akan dituntut pertanggungjawaban mereka atas hidup yang diberikan Allah. Hidup manusia dari Allah, oleh Allah, dan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.

Soal pelaku mutilasi, ini jelas karena kejatuhan manusia ke dalam dosa. Pembunuhan pertama oleh Kain terhadap Habel sungguh tidak masuk akal. Hanya karena merasa iri persembahannya tidak diterima Allah, Kain melampiaskan kemarahannya justru kepada adik kandungnya sendiri. Padahal dunia sangat luas bagi mereka (Adam, Hawa, Kain, Habel), perekonomian sangat bagus, hidup mereka sangat terjamin dibandingkan manusia masa kini. Nah, dosa ini merasuk kehidupan manusia, dan dalam perjalanan waktu menjadi perusak utama kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia yang tidak lagi sempurna karena dosa, ada sakit penyakit, mulai dari fisik hingga psikis. Ada berbagai penyebabnya, termasuk cara hidup masyarakat dari jaman ke jaman di berbagai konteks.

Nah, pelaku mutilasi, pastilah orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang biasa disebut psikopat. Psikopat memiliki perilaku menyimpang dan kesulitan dalam pergaulan untuk menerima orang seutuhnya. Memiliki egosentris yang tinggi, dan cenderung antisosial. Dia bergaul bukan untuk terikat dan saling menghargai dalam bermasyarakat. Dia memiliki motif yang tidak umum dalam pergaulannya, sehingga bisa sangat manipulatif. Dia bisa saja beragama, tapi sudah tentu tidak secara benar. Jadi seorang psikopat bukan berarti atheis, sekalipun bisa, namun dia juga bisa beragama tapi dengan penerjemahannya sendiri. Bahkan bisa saja dia merasa “diperintahkan Allah” untuk menghabisi korbannya. Jadi motifnya bisa sangat bervariasi (tergantung latar belakangnya), tidak bisa digeneralisasi, sekalipun keadaannya memiliki kemiripan yang bersifat umum. Namanya orang mengalami gangguan jiwa, maka dalam konsep beragama pun dia terganggu.

Baiklah Dudi yang dikasihi Tuhan, semoga jawaban ini mencerahkan dan menguatkan iman percaya kita. Terus ikuti perkembangan REFORMATA, Tuhan memberkati.v

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *