Pertama-tama saya ucapkan selamat untuk Argentina yang berjuang habis-habisan hingga berhasil meraih predikat juara Piala Dunia yang ketiga di penghujung tahun 2022. Terakhir kali mereka meraih gelar juara Piala Dunia pada tahun 1986. Lionel Messi didapuk menjadi pemain terbaik turnamen sepakbola terakbar ini dan menegaskan status GOAT (the Greatest of All Time) dirinya di era ini. Ia sudah sejajar dengan Diego Maradona, sang legenda sepakbola yang juga kompatriotnya. Bahkan ia masih terus berpeluang menambah trofi dan mengukir rekor tambahan. No debat! Namun ada hal yang menarik perhatian saat prosesi pengalungan medali dan penyerahan piala. Sesaat sebelum Messi mengangkat trofi Piala Dunia selaku kapten tim, ia dipakaikan jubah bisht oleh Emir Qatar. Pemakaian jubah tersebut menuai polemik. Bukan karena jubah bisht merupakan pakaian tradisional Arab yang dipakai dalam acara besar, melainkan karena dinilai telah melanggar aturan FIFA (Federation Internationale de Football Association).
Pemerintah Qatar memberikan penjelasan bahwa pemakaian jubah bisht kepada Lionel Messi adalah cara mereka untuk mempromosikan budaya Arab dan Islam kepada dunia. Tentu saja promosi budaya adalah hak dari tuan rumah penyelenggara. Apalagi jubah bisht langsung diborong suporter Argentina selepas pertandingan untuk kenang-kenangan. Yang memantik kontroversi adalah timing pemakaiannya. Dalam aturan FIFA nomor 27.2 dijabarkan demikian: “Pada laga final kompetisi FIFA, aksesoris perayaan gelar juara hanya boleh dikenakan setelah seremoni resmi FIFA dilakukan (selama seremoni, tim harus mengenakan Jersey (kaos seragam tim) yang dipakai saat pertandingan). Seremoni FIFA itu termasuk penyerahan trofi, sesi foto resmi FIFA, dan sesi media resmi FIFA. Nah, dengan pemakaian jubah bisht itu, Jersey tim nasional Argentina jadi ‘kurang menonjol’. Justru jubah bisht itu yang lebih menarik perhatian. Sebenarnya jubah itu bukan jubah sembarangan. Para sultan dan pangeran di Timur Tengah biasa mengenakannya pada momen spesial. Apalagi jubah yang dipakaikan pada Lionel Messi merupakan kualitas terbaik dengan sulaman benang emas yang sedap dipandang mata. Tentu momen ketika Lionel Messi mengangkat trofi Piala Dunia bersama tim di sekelilingnya adalah momentum terbaik yang disaksikan ratusan juta pasang mata di seluruh dunia. Itu sebabnya pemimpin negara Qatar mungkin sengaja ‘memilih’ untuk melanggar aturan FIFA demi kesempatan emas berpromosi budaya.
Lalu, apa kaitannya jubah bisht dengan stola? Begini ceritanya. Beberapa bulan lalu seorang gubernur aktif pergi mengunjungi sebuah gedung gereja. Gedung gereja tersebut sebagiannya dibangun dengan menggunakan dana hibah program gubernur yang bertajuk Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI). Tentu saja dana tersebut telah membantu panitia pembangunan untuk menyelesaikan pembangunan gedung gereja mereka. Besarnya mencapai dua ratus lima puluh juta rupiah. Cukup membantu di masa pandemi ini. Tidak ada yang salah jika pemerintah memberikan BOTI kepada tempat ibadah. Itu bentuk perhatian pemerintah kepada umat beragam agama yang ada di wilayah pemerintahannya.
Namun ada kejadian yang membuat penulis tergelitik dan dahi pun mengernyit. Dalam acara yang dilaksanakan di dalam gedung gereja tersebut, gubernur tersebut ‘dihadiahi’ stola. Stola adalah sehelai kain dengan bordiran yang dipakai dalam ibadah atau sakramen tertentu. Dipakai dengan cara disampirkan pada tengkuk, lalu kedua ujungnya menjuntai ke bagian depan dengan seimbang. Dalam sejarah gereja, stola umumnya dipakai hanya oleh pemimpin gereja. Pendeta dan penatua misalnya. Tidak ada jemaat yang diperkenankan memakainya. Meskipun stola hanyalah kain, namun itu adalah simbol gerejawi yang seharusnya dihormati. Penulis berpendapat bahwa kemungkinan ada ketidaktahuan dan ketidakmautahuan dari pihak panitia maupun pengurus gereja terkait makna stola dan apa yang dilambangkannya. Biasanya ada bordiran lambang dan nama gereja pada sebuah stola. Namun di stola yang ‘dipakaikan’ pada gubernur tersebut, bordirannya bertuliskan “Terima kasih Pak … (menyebutkan nama gubernur)” di satu ujung sisi. Di ujung sisi satu lagi bertuliskan gereja-gereja … (nama provinsi). Hal ini tentu sangat tidak etis. Jemaat awam Kristen saja tidak diizinkan mengenakan stola, apalagi seorang yang bukan Kristen walaupun itu seorang kepala daerah!
Gereja harus tahu berterima kasih dan memang sepatutnya menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang membantu dalam proses pembangunan gedung ibadah, termasuk pemerintah. Namun cukuplah hal itu disampaikan dalam bentuk tulisan maupun secara lisan. Jangan bersikap berlebihan! Apalagi bordiran di salah satu ujung stola bertuliskan gereja-gereja … (nama provinsi). Ini bentuk pencatutan nama gereja secara umum. Penulis yakin sepenuhnya bahwa panitia acara tersebut tidak pernah menginformasikan, apalagi meminta izin kepada setiap denominasi gereja di provinsi tersebut untuk pencantuman nama gereja-gereja se-provinsi pada ujung bordiran stola. Come on! Berterima kasih jangan sampai terkesan lebih mirip mencari muka. Apalagi memolitisasi stola dan mendegradasi makna simbolisnya demi kepentingan politik elektoral semata. Tidak terliterasinya panitia mengenai stola, ditambah si penerima stola yang terlihat begitu bangga menerima tanpa bertanya maknanya, lengkaplah pelanggaran etika di sana. Kalau pemakaian jubah bisht pada pemain terbaik dunia masih dapat dimaklumi, karena untuk kepentingan nasional dan promosi pihak negara Qatar sebagai penyelenggara. Sedangkan pemakaian stola pada gubernur sukar dimaklumi karena offside (melewati batas) secara etika dan terkesan untuk pencitraan saja. Nuansa politiknya begitu kental terasa. Hendak menggaet dukungan kelompok minoritas tampaknya. Tapi jangan begitu dong caranya. Silakan saja memberi atau menerima bantuan, tapi kebenaran jangan dikaburkan.
Selamat menikmati SUP dengan bumbu unik ini. Apalagi kuahnya cukup panas. Ditambah dengan rasa pedas yang pas. Ah, segar dan nikmat. Sila dibagikan pada rekan dan teman. Tuhan Yesus memberkati.