
HATI nurani, bukan istilah asing di telinga, tapi saat ini sepertinya perlu digumulkan kembali maknanya. Betapa tidak, banyak peristiwa di bangsa ini, rakyat, aparat, maupun pemerintahnya yang bertindak kian jauh dari rasa keadilan. Tak Cuma di luaran sana, bahkan di dalam gereja, dikalangan Kristen sendiri pun sepertinya semakin sulit menemukan hati nurani yang suci kudus, sesuai dengan kehendak Allah. Tentang dunia kita selalu mengeluh aneka keributan yang ada. Tapi nyatanya, di dalam gereja sendiri, keributan pun terjadi dan sepertinya muskil dihindari. Nyatanya toh gereja tak selalu aman damai, tenteram dan sejahtera. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin di sini pun ada. Tapi sepertinya tak nampak terang dari luar sana, karena kita sebagai orang Kristen sangat pintar mengkamuflase, menyampaikan khotbah-khotbah yang “bermutu”, yang menunjukkan seakan kondisi kita baik dari lainnya. Tetapi jarang khotbah yang dilayankan itu mengoreksi diri sendiri, atawa melakukan otokritik terhadap diri. Di manakah hati nurani? Tidak lagi adakah hati nurani? Ya, hati nurani semakin langka ditemui.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi arti hati nurani sebagai hati yang bercahaya atau perasaan hati yang murni yang sedalam-dalamnya. Sementara nurani terambil dari serapan bahasa Arab “nur” yang berarti cahaya. Sesuatu yang penting diunjukkan oleh setiap pribadi dan sangat dibutuhkan saat ini. Di sini dan saat inilah orang Kristen dipanggil untuk unjuk gigi dan unjuk diri mempertontonkan pada dunia betapa masih bersih nurani. Karena dunia begitu mendambakannya. Di sini, dan saat inilah diperlukan hati nurani.
Hati nurani akan menolong kita berbicara soal yang realita, bukan fenomena. Hati nurani membawa kita berkata apa adanya, bukan rekayasa. Hati nurani menolong kita jujur, bukan memanipulatif. Membawa kita untuk menyatakan kebenaran, dan bukan sekadar retorika atau kecanggihan gaya bicara. Siapa pun kita, perlu dikoreksi secara seksama, apakah sebagai orang Kristen kita sudah hidup suci dan kudus di hadapan Sang Ilahi?
Pembentuk Nurani
Nurani memang sesuatu yang sangat pribadi di diri ini. Tapi dia bukanlah suatu suara yang idependen berdiri sendiri. Kedewasaan dan pertumbuhannya sangat tergantung pada aneka faktor yang membentuk. Secara umum, pembentukan nurani ditentukan oleh beberapa faktor berikut. Masa lalu, cepat atau lambat akan berpengaruh besar pada pembentukan hati nurani. Begitu juga pendidikan dalam keluarga atau pola asuh dalam keluarga, sangat berperan dalam membentuk hati nurani seseorang. Misalnya, kalau anak kita berbuat suatu kesalahan, tapi kita tidak tegor, maka nanti, ketika dia mencuri pun tidak akan merasa bersalah, karena sudah biasa. Begitu juga dengan pola budaya atau adat-istiadat yang dianut. Misalnya, ada tradisi tertentu yang mengesahkan balas dendam, maka ketika dia berbuat seperti itu nurani tidak akan bersuara bahwa itu salah, malah sebaliknya, kalau tidak membalas itu justru yang salah. Hal-hal seperti ini akan membentuk hati nurani yang tidak murni, baik, tetapi rusak dan kacau-balau.
Tak berbeda jauh dengan pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah pun juga berpengaruh besar terhadap pembentukan nurani. Apa yang diterima di sekolah, baik melalui pelajaran atau pengalaman indera yang ditangkap akan juga membentuk nurani. Misalnya lagi, kalau semasa sekolah sudah terbiasa membayar untuk naik kelas, maka kalau nanti jadi pejabat, dia juga merasa biasa melakukan sogok. Korupsi, kolusi, nepotisme, dirasa tidak mengapa, yang penting jangan ketahuan. Kalau sudah begini, sesungguh nurani itu sudah mati. Itu yang dimaksud pembentukan nurani secara umum.
Selanjutnya kita membincangkan pembentukan nurani secara khusus, yakni melalui pertobatan. Pertobatan merupakan titik balik hidup seseorang. Ketika orang sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan juru selamat secara pribadi, maka dia akan mengalami suatu titik balik “pengondisian” dari sesuatu yang buruk menjadi baik. Di situ ada “guncangan” dahsyat di kehidupannya, yang mengantarkan orang pada suatu kehidupan yang seharusnya, semestinya, sesuai kehendak Allah. Akan berpengaruh pada perubahan kualitas seseorang, dari hati nurani yang jelek, bobrok, tidak karu-karuan, menjadi punya nurani yang dipenuhi oleh rahmat ilahi. Pembentukan hati nurani di pertobatan juga tidak otomatis terjadi, tapi erat dipengaruhi oleh seberapa dekat orang pada firman Allah, dan bergaul dengan Allah, akan sangat mempengaruhi pertumbuhan nurani. Sebab hanya Roh Kuduslah yang mampu mengolah, menolong, mengubah firman dari pengetahuan menjadi sebuah tindakan. Karena kita bisa menikmati dan menyimpan di dalam hati, dan mendorong kita melakukan tindakan atas firman. Itulah pekerjaan Roh Kudus. Maka pertobatan karena firman Allah dan Roh Kudus ini secara khusus terus membawa kita dalam pembentukan hati nurani, tetapi bukan sekadar secara teoritis, melainkan suatu pengalaman tindakan, karena kita hidup bergaul dengan Allah, berjalan dengan Allah. Maka pengalaman bersama Allah inilah yang membuat rohani kita makin matang. Kita makin terbentuk. Makin kokoh, dan di sinilah nurani itu makin peka. Maka hati nurani ini makin diperbaiki. Ini tidak berlangsung satu-dua hari, atau satu dua tahun. Semakin mendalami firman Allah, bergumul, kita makin hati-hati dalam melangkah dalam hidup. Bergaul dengan Tuhan membuat kita makin peka. Kepekaan membawa kita untuk mengerti apakah sesuatu itu baik atau tidak baik. Rasul Paulus berkata, “Segala sesuatu itu diperbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu itu berguna” (1 Kor 10: 23). Ketika hendak melakukan sesuatu, kita perlu kepekaan, ketajaman. Di sinilah pengalaman dengan Tuhan bertumbuh dan bertambah.
(disarikan oleh Slawi)