Dewasa ini media sosial banyak diisi berita-berita yang dikenal dengan 'hoaks,' berita bohong, berita tidak dengan sumber yang benar. Pikiran kita dengan mudah menerima berita-berita hoaks itu. Dan celakanya sekarang kita dengan gampang membagikan kabar hoaks itu melalui sarana-sarana komunikasi yang kita miliki.
Dalam skala lebih kecil, kita dengan mudah menerima gosip-gosip di sekitar lingkungan kita – apakah di kantor, tetangga, di gereja, atau di group-group media sosial dimana kita anggota, misalnya, dan ikut 'menggosok' berita-berita yang sering tidak jelas asalnya itu dan menyebarluaskan. Akhirnya kita menghakimi orang tanpa bukti-bukti yang jelas.
Mengenai jumlah orang yang hadir dalam acara Reuni 212, misalnya, diklaim oleh satu tamu penting mereka, calon presiden nomor 2, Prabowo Subianto adalah sebanyak 11 juta. Ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif, mengklaim jumlah yang hadir adalah 8 juta. Menurut juru bicara kepolisian, Argo Yuwono, jumlah yang hadir sekitar 100 ribu. Media asing seperti The Strait Times, Reuters, dan South China Morning Post, menyatakan jumlah yang hadir puluhan ribu. Jelas di antara beberapa angka ini ada jumlah yang jauh dari kenyataan sehingga tanpa metodologi perhitungan yang jelas dapat dikatakan sebagai hoaks.
Bagaimana orang-orang yang hebat itu bisa menyebutkan angka-angka itu? Menarik bahwa kebanyakan mereka tidak menjelaskan darimana angka-angka yang mereka klaim itu. Tapi mereka yang menentang mencoba menjelaskan angka-angka yang bagi mereka tidak masuk akal. Ketika Prabowo Subianto menyebut angka 11 juta, orang membandingkan dengan jumlah penduduk Jakarta 2017 yang menurut BPS tidak sampai sebesar itu, yaitu baru 10,37 juta. Apa masuk akal kumpulan orang dalam jumlah besar di satu titik lokasi Jakarta itu melebihi seluruh jumlah penduduk seluruh Jakarta yang tingga tersebar di area yang sangat luas. Ada juga yang membandingkan dengan jumlah peserta tari Poco Poco yang diselenggarakan menjelang Asian Games 2018 yang lalu, yang jumlahnya lebih terukur, yaitu sekitar 65,000 tapi memang dengan keadaan yang lebih renggang. Namun jika dikalikan angka itu dikalikan dengan faktor 10, berarti kumpulan orang-orang di Reuni 212 itu 10 kali lebih padat, jumlah itu baru 650,000.
Klaim-klaim seperti ini, menerima berbagai berita sebagai kebenaran tanpa dasar yang cukup, 'menghakimi' orang tanpa bukti-bukti yang cukup merupakan manifestasi dari intellectual carelessness atau karakter intelektual ketidak-hati-hatian. Ceroboh berpikir ini menyebabkan orang melompat kepada kesimpulan tanpa didukung oleh bukti-bukti yang cukup. Atau kita memilih bukti-bukti yang bias dengan keyakinan-keyakinan yang kita pegang dan mengabaikan bukti-bukti yang menolak keyakinan-keyakinan kita itu. Kesembronoan berpikir ini juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor emosi, gengsi atau persepsi ketika mengambil kesimpulan dan sikap daripada berpikir dengan hati-hati atau berpikir substansi.
Celakanya kecerobohan intelektual ini tampak tumbuh dengan mudah pada masa sekarang dan mendapatkan media yang subur dengan sarana media sosial yang marak. Orang dibombardir dengan berita-berita yang tidak jelas asalnya, sering menghasut emosi, mendorong untuk menyatakan 'like' dan membagikan berita-berita hoaks itu.
Sementara intelektual yang sehat yang perlu dibangun menurut Philip E. Dow's dalam bukunya 'Virtuous Mind', antara lain, memiliki karakteristik 'intellectual carefulness' atau kehati-hatian intelektual. Karakteristik ini adalah kecenderungan cara berpikir yang menyadari kemungkinan adanya jebakan-jebakan dan kesalahan-kesalahan dalam berpikir. Orang dengan kehati-hatian intelektual mau mengetahui kebenaran dan rajin mengejarnya. Dia sabar untuk memberi cukup waktu mendapatkan dukungan-dukungan bukti sebelum menarik kesimpulan-kesimpulan. Dia fokus kepada bukti-bukti yang tersedia dalam membuat kesimpulannya. Dia mencari informasi, pengetahuan dan menggunakan hikmat dalam kehidupan sehari-harinya ketika membuat keputusan-keputusan.
Kehati-hatian intelektual perlu ditumbuhkan dengan usaha. Seperti pada proses perubahan lain, kerja keras di awal dan konsistensi dibutuhkan jika mau memiliki karakter kehati-hatian berpikir ini. Dengan konsisten dan secara aktif belajar memilih memeriksa bukti-bukti pendukung dengan teliti dan menolak untuk melompat dalam pengambilan keputusan – bukan hanya dalam urusan-urusan 'besar' tapi juga dalam hal-hal yang sepertinya tidak penting. Sebagai orang percaya, kita sebenarnya mendapatkan dasar dari peringatan Firman Tuhan untuk bersikap demikian, seperti misalnya dalam Efesus 5:15-16 – "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." Iblis yang memiliki kuasa di bumi ini dan dalam waktunya yang semakin sedikit itu berusaha menghancurkan orang percaya melalui kecerobohan dan kebodohan kita. Untuk menghindari tindakan-tindakan bodoh itu, kita diperingatkan "Berjaga-jagalah dan berdoalah …" (Markus 14:38). Tuhan memberkati!