Banyak Ajaran yang Membingungkan

Pdt. Bigman Sirait Bapak Pengasuh yang terhormat, saya pendengar radio yang cukup setia. Semakin saya banyak mendengar ajaran-ajaran yang disajikan, saya semakin bingung. Apa yang salah dan yang harus saya perbaiki, supaya tidak harus bingung menerima semua informasi ajaran yang berbeda-beda ini? Seperti ada ajaran bahwa: kita, anak-anak Tuhan selayaknya menjadi kepala, bukan ekor. Sebutan nama Yesus dalam bahasa Ibrani lebih baik daripada dalam bahasa Yunani. Bagaimana saya dapat menghadapi kenyataan perspektif seperti ini? Tolong berikan solusi untuk mengatasi kebingungan saya. Ajaran mana yang harus menjadi tolok ukur saya? Kerinduan dan kehausan saya akan kebenaran semakin besar, namun sepertinya malah menyulitkan diri saya. Edward Depok, Jawa Barat

Saudaraku Edward yang  dikasihi Tuhan, yang ingin  maju tapi justru mengalami kebingungan. Tak mengapa, karena kebingungan yang muncul di awal penjelajahan untuk me-ngerti kebenaran adalah lumrah. Bahkan dapat saya katakan, kesa-daran kamu akan kebingungan bisa menjadi poin penting untuk lebih maju lagi. Soal banyak ajaran yang kamu dengar dan cukup membingungkan, itu adalah ke-nyataan yang tidak terhindarkan. Padahal kamu pasti berpikir, bukankah hanya ada satu Alkitab yang sama? Ya, betul, kita hanya punya satu Alkitab dan sama, namun jangan lupa, ada banyak penafsir atas Alkitab yang satu itu. Nah, tafsiran para penafsir inilah yang berbeda-beda.  
Perbedaan ini bisa saja perbe-daan yang tidak prinsip, tapi bisa juga perbedaan yang sangat prin-sip. Mari kita mulai dengan contoh. Ada seorang pendeta berkata bahwa memuji Tuhan harus berte-puk tangan dan melompat-lompat, itu tandanya orang dipenuhi Roh Kudus. Yang repot, dia tak ber-henti di situ, bahkan melanjutkan-nya dengan berkata, bahwa yang tidak bertepuk tangan itu tidak ada Roh Kudusnya. Pendeta lain berkata, “Kita harus memuji Tuhan dengan hormat, tertib, bukan melompat-lompat seperti orang kerasukan setan. Ini gereja bukan konser musik rock,” tegasnya.
Nah, Edward yang dikasihi Tuhan, dengan segera kita diper-hadapkan pada dua ajaran yang bertolak belakang. Bagaimana memahami hal ini? Seharusnya setiap pengkhotbah menyadari kebenaran Alkitab seutuhnya, sehingga tidak terlalu mudah untuk membuat sebuah kesimpulan yang kurang berdasar. Alkitab mengajar-kan bahwa kita harus memuji Tu-han, itu mutlak. Tapi soal bertepuk tangan atau tidak, itu relatif. Ba-nyak pujian dalam Mazmur meru-pakan balada pergumulan, bagai-mana mungkin bertepuk tangan menyanyikannya, kecuali kita sudah mati rasa. Tapi juga, tidak sedikit pujian di Mazmur diiringi dengan rebana dan tepukan tangan. Tepuk tangan atau tidak, adalah budaya bermusik umat Tuhan.
Untuk yang ini jangan lupa, bahwa umat Tuhan amat sangat multietnik, dan ada di seluruh dunia. Orang Jawa suka bersenan-dung (menembang), ini tidak pakai tepuk tangan. Ini berbeda dengan kolintang dari Manado, atau keroncong Jakarta, apalagi musik etnik Papua yang sangat energik. Umat Tuhan akan memuji Tuhan seturut dengan budaya mereka, namun dalam kebenaran yang sama, yaitu kebenaran yang diajarkan Alkitab.
Jadi, Edward yang dikasihi Tu-han, jangan terjebak pada kiri atau kanan saja, karena bisa jadi keduanya berlebihan, tidak sesuai dengan fakta Alkitab. Padahal ada kebenaran yang kita abaikan (baca juga Konsultasi Teologi Re-formata edisi 101). Belum lagi isu yang sangat prinsip, yaitu soal Yesus Kristus, Tuhan atau hanya manusia saja? Ini bisa dibaca dalam Konsultasi Teologi Re-formata edisi 40, 65, 85, 86, 99.
Nah, untuk mengetahui kebenaran ini memang menjadi kesulitan tersendiri lagi. Namun ini bisa teratasi dengan mendisplinkan diri, membaca Alkitab secara teratur dan terpola. Untuk ini, saya sarankan kamu membaca buku “Santapan Harian” yang menolong kita bersaat teduh dengan baik dan efektif (ada pelatihan dari PPA sebagai penerbit “Santapan Harian” yang bisa kamu ikuti).
Sementara soal kita men-jadi kepala, bukan ekor, itu ada dalam kitab Ulangan 28. Itu tidak salah, yang menjadi masalah, seringkali diabaikan kata-kata “jika kamu taat”. Mengapa? Karena menjadi kepala bukanlah otomatis, karena kita Kristen yang ke gereja, yang beraktivitas. Kitab Ulangan dengan tegas mengata-kan umat Tuhan yang tidak taat bisa menjadi ekor, dihukum Tuhan. Demikian juga dengan bangsa Israel yang selalu mbabelo, selingkuh dengan berhala. Kerajaannya dirobek Tuhan menjadi dua (1 Raja-raja 11: 11-13, 1 Raja-raja 12). Mereka beribadah, berpuasa, tetapi berperilaku buruk. Para pe-mimpin memeras rakyatnya, imam menerima suap, membuat Tuhan menjadi jijik (baca Amos). Lalu di kemudian hari kerajaan utara Israel ditawan oleh Asyur, sementara selatan jatuh ke tangan Babel.
 Nah, ini adalah fakta, karena tidak taat, Israel telah menjadi ekor, bukan kepala. Sekarang ini memang dimunculkan kesan bombastis, sehingga kita pasti jadi kepala, namun dilupakan kewajiban untuk taat, dan menjadi kepala adalah berkat Allah atas orang yang taat kepada hukum-hukum-Nya. Nah, keseimbangan menggali be-rita seringkali diabaikan oleh banyak pengkhotbah karena kecenderu-ngan “asal pendengar senang”.
Alkitab harus dipahami secara menyeluruh agar kita memahami benang merahnya. Begitu juga soal bahasa, diperdebatkan tanpa kepentingan yang jelas buat umat. Bahasa adalah milik/ciptaan Tuhan, bukan manusia. Jadi semua bahasa datang dari Tuhan dan bisa saling memperkaya. Bahasa dipakai Tu-han untuk memisahkan umat yang sombong (lihat peristiwa Menara Babel, Kejadian 11). Tetapi bahasa juga dipakai Tuhan untuk memper-satukan umat (lihat peristiwa Pentakosta, Kisah 2). Ada berapa bahasa yang dipakai di sana (Kisah 2: 8-12), termasuk bahasa Yunani dan Arab, yang mengungkapkan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah. Bahasa justru mempermudah komunikasi antar manusia di mana dia ada.
Di Indonesia, kita kaya dengan berbagai bahasa suku, Puji Tuhan. Tidak ada yang salah dengan bahasa, apalagi jika dikatakan me-nyebut nama Yesus lebih baik dalam bahasa Ibrani dibandingkan Yunani. Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia yang juga milik Tuhan? Atau, jika memang diyakini seperti itu, maka berbahasa Ibranilah, jangan hanya soal nama, tapi semuanya. Di sisi lain, tentu akan sangat membingungkan, jika Tuhan bingung dengan bahasa Indonesia (ketika kita berdoa) yang juga adalah milik-Nya. Apakah Yesus Kristus Tuhan tidak akan mendengar kita jika kita menyebut nama-Nya dalam bahasa Indonesia? Mengiyakan hal ini, sama saja membuat Tuhan sebagai yang terbatas, ironis bukan?
Tuhan bukan manusia yang bu-tuh nama diri untuk mengerti jika Dia disebut. Soal nama Allah lebih lengkapnya, dapat dibaca di Kon-sultasi Teologi REFORMATA edisi 49. Akhirnya selamat mendalami Alkitab, saudaraku Edward yang dikasihi Tuhan, semoga ini menjadi berkat.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *