"Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." Roma 12:2.
Dalam beberapa tulisan terakhir kita membicarakan berbagai topik karakter intelektual termasuk berbagai karakteristik karakter intelektual yang bajik (baik), antara lain ingin tahu, berani, jujur, terbuka, rendah hati, dan hati-hati. Pada tulisan ini akan dibahas satu karakteristik intelektual penting lain, yaitu keuletan intelektual (intellectual tenacity atau intellectual perseverance).
Mengapa di era transparansi informasi ini banyak berita bohong alias hoaks? Mengapa perdebatan-perdebatan politik yang dipertontonkan di televisi dan media-media lain tidak masuk kepada substansi yang berarti? Mengapa banyak siswa dan mahasiswa yang menyontek? Mengapa tidak banyak orang yang menulis dan kenapa tidak banyak tulisan yang berbobot? Banyak akibat-akibat buruk lain, dimana aspek keuletan intelektual ini berpengaruh. Keuletan berpikir ini yang pada akhirnya menentukan keberhasilan, kualitas dan kepuasan terhadap hasil pemikiran.
Apa yang dimaksud dengan keuletan intelektual ini? Keuletan berpikir adalah kebiasaan berpikir yang datang dari kesukaan untuk belajar. Ia timbul dari keinginan untuk mendapatkan pengetahuan lebih banyak dan lebih dalam. Karakteristik ini adalah kecenderungan berpikir seseorang yang pantang menyerah dalam belajar ketika belajar menjadi 'sulit.' Sebaliknya dia bergumul dalam berpikir. Karakteristik mengatasi masalah-masalah yang dihadapi adalah fitur dari ciri ini dalam menyelesaikan suatu proses pemikiran. Halangan-halangan itu bisa bersifat internal misalnya kebosanan, frustasi, keinginan untuk gampangan, dsb; maupun bersifat eksternal, misalnya, penolakan, kritik, cemooh orang lain, dsb. Di tengah halangan-halangan itu dia bertahan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar. Dalam bahasa yang lebih ilmiah keuletan atau ketahanan intelektual ini adalah kecenderungan seseorang untuk mengatasi halangan-halangan untuk terus mengerjakan tindakan-tindakan intelektual dalam pengejaran sasaran-sasaran intelektualnya.
Di dunia akademis, keuletan berpikir akan menghasilkan pemikir-pemikir dan pembelajar-pembelajar yang hebat. Namun kita memerlukan karakter keuletan berpikir ini di semua bidang, baik dalam dunia akademis atau pembelajaran; namun juga dalam teknis profesi; dalam kepemimpinan dan manajemen; dalam keluarga dan pendidikan; dalam pengelolaan keuangan; dalam politik dan budaya; dan terlebih dalam keimanan Kristen kita.
Sebagai murid Kristus kita juga sering disebut sebagai prajurit Kristus, yang antara lain memiliki keuletan, ketahanan dan semangat untuk berpegang pada doktrin prajurit Kristus. Kita membangun keuletan berpikir dalam memahami Firman Tuhan sehingga kita bisa menggunakan Firman itu sebagai senjata dalam peperangan rohani yang kita hadapi. Kita terus mencari kebenaran dan mengerjakannya dalam hidup kita, sekali pun sering kita menghadapi halangan, kesulitan dan tantangan. Kita pantang menyerah dan terus berjuang dalam akal budi dan perjuangan perubahan diri melalui perubahan akal budi itu (Roma 12:2).
Ciri keuletan berpikir sudah barang tentu berhubungan dengan ciri-ciri berpikir yang lain. Karena itu untuk membangunnya kita perlu mengkaitkannya dengan karakter-karakter berpikir yang lain. Misalnya, kita perlu membangkitkan karakteristik 'curiosity' (keinginan-tahun) kita. Orang yang pikirannya ingin tahu mau berpikir bahkan untuk proses belajar dan memenuhi keinginan tahunya itu – tidak sekedar mengejar nilai ujian, misalnya. Rasa ingin tahu berkembang kalau proses berpikir itu dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kita melatih keuletan berpikir itu, antara lain, dengan memikirkan konsep-konsep dan solusi mengenai hal-hal praktis yang menjadi persoalan-persoalan pribadi.
Untuk ketahanan berpikir, kita perlu memikirkan hal-hal yang menghalanginya. Misalnya, masalah yang banyak dihadapi orang adalah kemalasan berpikir dan kecenderungan menunda-nunda. Oleh karena itu kita perlu melawan sikap-sikap itu dengan strategi yang efektif. Sikap berpikir tertutup juga menghambat keuletan berpikir. Karena itu sekaligus kita membangun pola berpikir terbuka.
Sebagai orang percaya perubahan adalah anugerah karena itu segala usaha perubahan dimulai dari doa. Perubahan dimulai dari perubahan akal budi (Roma 12:2), bagian dari diri kita yang memang Tuhan mau kita berubah. Oleh karena itu kalau kita berdoa untuk perubahan intelektual kita, perubahan yang Tuhan inginkan, kita bisa yakin Tuhan mengabulkan doa kita (1 Yohanes 5:14-15). Amin!