(harry.puspito@yahoo.com)*
ELAYANI bukan budaya kita atau yang kegiatan yang kita inginkan. Kita lebih ingin dilayani daripada me-layani. Banyak rumah tangga di-layani oleh sejumlah pembantu rumah tangga, tidak cukup satu. Jelas kebiasaan demikian tidak mendukung berkembangnya bu-daya melayani yang kuat di Indonesia.
Tapi melayani sebenarnya adalah ‘hidup’ kita karena bekerja adalah melayani, apapun yang kita lakukan. Kecuali kita adalah pengangguran atau pensiunan, memang kita sudah tidak melayani orang lain lagi dalam pekerjaan. Dalam kondisi demikianpun kita masih bisa melakukan sesuatu un-tuk orang lain. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja di kantor atau di tempat lain, tetap melayani, yaitu melayani anak-anak dan suamin-ya. Ini adalah suatu pelayanan full time yang berat jika dijalani den-gan tujuan yang jelas dan dengan tanggung-jawab.
Melayani adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh siapapun yang masih bernafas. Melayani adalah sesuatu yang penting karena itu adalah hakekat hidup manusia. Manusia hidup un-tuk melayani. Tidak heran di klasikasi industri ada satu yang disebut industri jasa (di Indonesia sekitar 10%) yaitu industri yang menghasilkan jasa atau layanan daripada sekedar produk yang kelihatan. Jumlah lay-anan yang ditawarkan sangat ban-yak macamnya. Contohnya adalah jasa konsultasi managemen, yang bisa dipecah lebih spesik lagi sep-erti tentang pemasaran, distribusi, iklan, akuisisi perusahaan, dsb. Jasa yang ditawarkan bisa relatif sederhana seperti membersihkan rumah, membasmi atau mengu-sir tikus dari rumah, dsb. Bahkan para ahli pemasaran mengatakan bahwa semua bisnis adalah bisnis jasa.
Ketika seseorang ‘memimpin’, itupun adalah melayani. Satu citra kepemimpinan Alkitab adalah apa yang dikenal dengan servant leadership. Seorang pengusaha dan pelopor industri motivator Kristen terkenal, Dr. Paul J. Meyer, men-gatakan: “The most important attitude is the attitude of a servant.”
Sikap versus Ketrampilan Melayani
Berbicara tentang pelayanan, kita bisa melihat dari dua dimensi, yaitu sikap terhadap melayani dan ketrampilan dalam melayani. Ke-tika seseorang memiliki keduanya, maka dia adalah seorang pelayan yang sukses Namun seseorang bisa memiliki sikap melayani yang positif tapi be-lum memiliki ketrampilan melayani yang execellent. Orang demikian memiliki potensi untuk dikembangkan. Dengan mudah orang seperti ini berkembang dalam pekerjaan atau pelayanannya. Ketika seseorang memiliki sikap melayani yang negatif walaupun trampil dalam pekerjaannya, maka orang tersebut termasuk kategori ‘orang pintar tapi sulit’. Orang sep-erti ini lebih sulit untuk dikembang-kan. Mengubah sikap seseorang bukan suatu pekerjaan yang mu-dah. Ketrampilan lebih mudah dilatih. Sedang karakter terben-tuk melalui proses yang panjang. Banyak orang yang terlalu lambat berubah atau bahkan tidak pernah berubah. Lebih berat lagi kalau dia berubah tapi semakin memburuk. Semakin umur semakin enggan melayani malah menuntut dilayani. Semakin berhitung dengan apa yang dia dapat dengan melakukan sesuatu bagi orang lain.
Bagaimana kalau seseorang ti-dak memiliki kedua-duanya: sikap melayani dan ketrampilan beker-ja. Orang demikian, jelas adalah orang yang tidak potensi dan gagal dalam hidupnya. Kebanyakan kita memiliki sikap dan ketrampilan yang belum optimal. Karena itu kita jadi orang yang serba tanggung. Namun demikian kita secara positif bisa melihat pel-uang untuk mengembangkan diri kita, baik dari sisi sikap maupun ketrampilan melayani. Alkitab me-nyatakan dalam semua hal kita ha-rus melakukan yang terbaik seperti untuk Tuhan bukan untuk manusia (Kol 3:17):
Kita mau membangun keduan-ya, baik sikap kita dalam melayani maupun ketrampilan-ketrampilan kita dalam melayani. Ada banyak buku ditulis tentang bagaimana ’melayani’. Namun Alkitab adalah utama. Alkitab dengan jelas meng-gambarkan bagaimana karakteris-tik seorang pelayan seharusnya. Kita perlu membangun karakter pelayan seperti rendah hati, rajin, sabar, patuh, punya komitmen, selalu siaga, menghormati atasan, bahkan bisa mengajar yang lain.
Kita memerlukan kasih karunia Tuhan agar kita memiliki hati yang melayani dan dilengkapi dengan kemampuan melayani. Roh Kudus memberi kuasa yang memampu-kan para murid untuk melayani.
Orang percaya seharusnya me-miliki sikap dan gaya hidup melay-ani bukan sikap dan gaya hidup bos yang menuntut dilayani. Inilah bagian dari panggilan kita seperti Tuhan kita Yesus sendiri datang ke dunia untuk melayani bukan untuk dilayani. Ketika kita hidup melay-ani maka kita akan menikmati ber-kat Tuhan di dunia dan pahala Tu-han di surga. Jika seorang pekerja Kristen memiliki gaya hidup me-layani, bisa dipastikan dia adalah seorang yang sukses.
Benar apa yang diungkapkan pengkotbah besar – DL – Moody – ”Ukuran seorang manusia bukan-lah berapa banyak pelayan yang dimilikinya, melainkan berapa ban-yak orang yang dilayaninya”