
SERIBU satu cara akan dipakai untuk menggapai kursi kekuasaan. Itulah realita hidup manusia diberbagai panggung kehidupan. Tak peduli itu etis atau tidak, bahkan benar atau salah. Akibat apa yang ditimbulkan, besar kecil tidak lagi jadi bahan pertimbangan. Ah, nafsu kekuasaan memang mengerikan.
Nikmati Menu Lainnya: #SUP – MENJAWAB ZAKIR NAIK (SERI.2)
Di Pilkada Jakarta isu SARA merebak luar biasa, bahkan hingga taraf sulit dinalar oleh akal sehat. Saling ancam, saling pecah, bahkan yang masih sekeluarga bisa jadi musuh hanya karena berbeda pilihan. Padahal sejatinya pemilihan itu bersifat rahasia, pribadi, jujur, dan adil. Demokrasi memungkinkan perbedaan namun dalam persatuan, bukan saling meniadakan.
Di Indonesia, kehadiran Zakir Naik seorang penceramah yang dinilai kontroversial, yang ramai dimuat dimedia Indonesia, dicari di India dan ditolak di Malasyia, meneguhkan bahwa pemimpin itu harus seagama dengan pemilihnya. Isu yang sebelum kehadirannya merebak tajam seakan mendapat legitimisai. Dari orang yang legitimit? Anda harus jujur terhadap diri untuk mendapat jawabannya.
Dalam konteks muslim harus memilih pemimpin muslim, panjang barisan tokoh muslim mayoritas dari NU, Muhamaddiyah, dan lainnya yang mengatakan memilih pemimpin bukan harus berdasarkan agamanya, melainkan integritasnya, kejujuran, dan kemampuannya mensejahterakan seluruh warga tanpa pilih kasih, baik soal iman, warna kulit, hingga kelas ekonomi. Jika ada yang seagama, alangkah indahnya. Mari kita cari bibit dan orbitkan pemimpin yang benar dan baik yang seiman dengan kita. Itu tugas masing-masing umat. Namun jangan meniadakan yang berbeda keyakinan karena itu tidak demokratis dan jauh dari semangat UUD 45, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Nikmati Menu Lainnya: #SUP – MENJAWAB ZAKIR NAIK (SERI.1)
Kembali kepada pemikiran Zakir Naik. Mari coba pahami secara sederhana. Pertama soal tidak boleh memisahkan agama dengan politik yang dalam pidatonya Presiden Jokowi mengatakan sebaliknya jangan mencampur aduknya. Perenungan sederhana, realitanya di Indonesia bahkan seluruh dunia ada banyak partai berbasis agama. Di Indonesia minimal ada PKB, PPP, dan PAN, berbasis agama Islam. Apaka karena berbeda partai mereka juga harus berbeda agama, karena sifat agama menyatu dengan politik? Jika tidak, lalu partai mana yang sah mewakili umat Islam dan siapa yang melegalitasnya? Jika partai, legalitasnya jelas ada di Kemenhukam. Belum lagi partai nasionalis yang pengurusnya beragam agama. Apakah mereka menjadi salah karena memilih partai yang tidak berbasis agama? Jelas sekali logika menyatukan agama dan politik menimbulkan konseskwensi yang kacau, sekalipun selalu ada dalih membuat pengecualiian. Inilah yang terjadi jika agama dipolitisasi. Dalam hal ini presiden Jokowi membuktikan diri bijak merawat kesatuan bangsa yang berbeda suku, bahasa, dan agama. Presiden tak hanya bicara menenun, tapi menggunakan dan memperagakan. Ini teladan!
Nikmati Menu Lainnya: #SUP – PILKADA DAN ISU SARA
Di sisi lain, jika seorang pemilih harus memilih pemimpin yang seiman, ini bisa jadi aniaya bagi mereka yang tinggal dikota atau negara yang pemimpinnya tidak seiman. Apakah kita bisa menutup mata pada duka saudara kita di Suriah yang terusir dari negerinya sendiri akibat politik berbaju agama. Jutaan mereka harus mengungsi ke Eropa yang pemimpinnya bukan seiman. Belum lagi mereka yang migran dan telah menjadi warga negara, dan ikut memilih satu dari dua calon pemimpin yang keduanya tidak seiman. Betapa mudahnya seseorang berbicara demi keyakinan dan kepuasan dirinya, tanpa harus bertanggungjawab memikirkan sesamannya. Namun ini pun bisa dipastikan akan muncul lagi seribu dalih dan pengecualiaan. Nah, sampai disini selamat mabuk, karena kemutlakan bisa ada pengecualiaan. Padahal yang namanya mutlak itu sejatinya tidak ada pengecualiaan. Inilah pendapat dalam agama apupun ketika dipaksakan dan dilokalisasi, dan akhirnya ditunggangi.
Nikmati Menu Lainnya: #SUP – SATU PUTARAN YANG HILANG
Agama seringkali terasa kerdil, sempit, karena para pemimpin dan penganutnya, bukan karena agamanya. Mari berpolitik dengan hidup dan tanggungjawab bersama dalam bernegara. Mari juga beragama dengan menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan. Masak iya agama menjadi alat perpecahan. Bukankah Tuhan maha penyayang, pasti umat Nya juga begitu. Ayo buktikan!
Sambil menikmati SUP kita belajar berpikir sehat dengan jujur menguji diri dan menghitung konsekwensi. Pelan-pelan ya, jangan buru-buru, jadi bisa dihayati hingga suapan terakhir.