#SUP “SUMPAH PEMUDA PRIBUMI”
28 Oktober 1928 kita kenang sebagai Hari sumpah Pemuda. 28 Oktober 2017 ada banyak acara untuk memperingatinya. Tapi bagi Jakarta, ini terasa lain, karena isu pribumi yang terasa mengejutkan dari pidato Gubernur Jakarta terpilih Anis Baswedan. Menunjuk era kolonialisme, pribumi terjajah, dia mengatakan, kini kita pribumi merdeka dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berbagai tanggapan bermunculan, tak hanya di dalam negeri, tapi juga luar negeri ikut ramai dengan berbagai isu.
Sebagai pribadi saya merenung, namun, total gagal paham atas isu ini. Sekalipun bukan S3, saya ini manusia pembelajar. Bagaimana tidak! Republik tercinta bernama Indonesia telah merdeka 17 Agustus 1945, atau 72 tahun silam. Sementara Gubernur Jakarta sejak kemerdekaan, asli Indonesia. Namanya juga sudah merdeka. Jelas saya gagal paham, tahun 1945 saya belum lahir, tidak ikut berjuang, apalagi berdarah. Jadi, mau ngaku-ngaku malu sepenuhnya. Apalagi merasa pahlawan. Namun sangat jelas, para pahlawanku yang mewariskan kemerdekaan tidak pernah berjanji ketika berjuang, seperti janji kampanye. Tekad mereka hanya satu, merdeka atau mati untuk Indonesia yang Satu.
BACA JUGA:TRINITAS DAN PANCASILA
Jauh di belakangnya 28 Oktober 1928 para pemuda pejuang bangsa dengan lantang mengumandangkan sumpahnya, yaitu: Kami putera-puteri Indonesia, mengaku Bertanah air satu, yaitu tanah air Indonesia. Berbangsa satu, yaitu bangsa Indonesia. Dan berbahasa satu, yaitu Bahasa Indonesia. Satu, yaitu Indonesia! Tidak pernah ada versi lain bertanah air, berbangsa, dan berbahasa pribumi. Ingat, jangan sampai lupa apalagi melupakan; Satu Indonesia! Inilah yang diperjuangkan dan terwujud 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka, dan menjadi tuan di negeri sendiri. Maaf, jangan salah baca, bukan pribumi merdeka dan menjadi tuan di negeri sendiri. Indonesia tak mengenal lagi istilah pribumi dan non pribumi, bahkan dilarang oleh UU. Yang ada WNI; Warga Negara Indonesia. Saya tak ingin melukai sumpah para pemuda dan perjuangan para pahlawan kemerdekaan demi Satu Indonesia, bukan demi pribumi. Saya tak ingin seperti Yudas yang berkhianat menjual Yesus Kristus Sang Benar, Sang Kasih, demi tiga puluh keping perak. Saya tak akan berani bermimpi menjual Indonesia ku demi “kursi” atau demi “pribumi”. Semuanya harus demi Indonesia yang Satu, bukan SARA! Semoga cita-cita kita sama.
Jika menganalisa Pilkada DKI yang banjir isu SARA, dan dinilai efektif, maka tampaknya isu ini akan terus digaungkan hingga Pilpres 2019. Tidak ada UU yang mengaturnya dengan jelas, namun sangat jelas persatuan dan kesatuan NKRI di-usik. Apakah benturan keras sepadan dengan kekuasaan yang akan didapatkan? Atau ini hanya dianggap sebagai sebuah permainan, sekalipun membahayakan? Entahlah, cobalah tanya pada rumput yang bergoyang, seperti lirik lagu Ebit.G.A. Cinta luhur pada tanah air, bangsa Indonesia, terasa semakin langka. Kebanyakan adalah cinta gombal belaka.
BACA JUGA: #SUP – MENJAWAB ZAKIR NAIK (SERI.5)
Kini bola sudah bergulir, siapa yang bisa mengendalikannya? Hanya pemilik Republik ini, yaitu seluruh rakyat Indonesia yang cinta pada Satu Indonesia. Belajar dari proklamasi kemerdekaan Catalonia yang berujung pada pencabutan otonomi khususnya. Dan, rakyat pro persatuan Spanyol di Catalonia yang mengaku terlambat bergerak. Sebuah survey mengatakan, bahwa rakyat Catalonia pro kemerdekaan berjumlah 42.5%, kalah banyak dengan yang kontra kemerdekaan berjumlah 43.4%. Tapi sikap terlambat telah menimbulkan guncangan keras dan dibayar dengan harga mahal. Apakah hal yang sama juga akan terjadi di Indonesia, di mana pecinta NKRI terlambat bergerak? Semoga tidak, dan kisah hangat Catalonia Spanyol harus menjadi pelajaran berharga. Marah dan fitnah yang tumpah ruah di ladang HOAX sungguh tak pantas. Bertandinglah dengan elegan, jangan terlambat dengan alasan berdoa dan puasa. Ora Et Labora harus berjalan seiring, Pilkada 2018 di berbagai kota harus jadi perhatian cepat, bukan lambat. Toh pemilik Republik ini adalah kita semua rakyat Indonesia, bukan sekelompok orang. Semoga dengan keluar dan bergerak penuh tanggungjawab kita bisa memilih pemimpin daerah yang cinta Satu Indonesia. Menabung hingga Pilpres 2019 untuk panen damai dengan pemimpin yang tulus mencintai NKRI. Soal siapa orangnya, silakan bijaksana mengenali dengan “memelototi”.
BACA JUGA:SAYAPANCASILA (SERI 3)
Silakan nikmati #SUP-nya, dapatkan energinya, dan jangan lupa bagikan ke semua elemen anak bangsa agar tak terlena dalam doa dan puasa, tapi lupa bertindak nyata. Jangan berhenti di rumah ibadah, buat seminar, dan berdebat dengan sesama, tapi lanjutkan melangkah ikut Pilkada dan Pilpres. Semua kita berhak dan bebas menentukan pilihan demi masa depan bangsa Indonesia. Jangan terjebak cinta buta pada personal atau parpol yang suka gombal, tapi cinta pada yang mencintai Satu Indonesia. Belajarlah dari Catalonia Spanyol. Ora Et Labora ya!