Follow @bigmansirait
Trend gereja masa kini terasa berlomba menghadirkan kesaksian yang dinilai memiliki daya tarik tinggi. Maklum, kesaksian diyakini bisa meningkatkan jumlah jemaat yang hadir. Dan mirisnya, fakta membuktikan kebenaran asumsi ini. Kesaksian tentang mati tapi hidup lagi. Sakit dengan vonis mati dari dokter ternyata sembuh total. Pedagang kecil yang meroket menjadi pedagang sukses kelas atas. Juara dalam sebuah kejuaraan nasional, dan lebih lagi internasional. Jabatan tinggi yang diberkati Tuhan. Semuanya punya harga jual. Ada apa dengan pola pikir jemaat masa kini?
Rasul Pulus dengan jelas mengingatkan kepada Timotius betapa gereja akan dipengaruhi dan dikuasai jaman. Jemaat tak lagi suka ajaran sehat karena dianggap menghalangi gerak hidup berdosa mereka. Mereka memalingkan telinganya dari kebenaran, dan membukanya bagi dongeng. Dan untuk itu jemaat akan mencari guru sesuai dengan selera (2 Timotius 4:3-5). Dan, tak bisa dipungkiri, apakah yang dikatakan Rasul Paulus terus semakin menggila. Karena itu, tak heran jika kesaksian bombamtis sangat disukai. Jemaat hanya suka cerita sensasional dalam ritual agamanya, sementara kehidupan yang dijalani tampak kehitaman dosa disana. Karena itulah, istilah kesaksian atau aksi-aksian, terasa pas menggambarkan trend masa kini. Yang bersaksi terasa aksi ketika kesaksiannya bisa mendatangkan banyak orang. Dan, semakin banyak orang yang mendengarkan, semakin terasa bumbu pada kisah yang disampaikan. Tak kurang mereka yang hidup dalam kegelapan dosa, juga turut serta mewarnai panggung gereja dengan kesaksian yang sangat aksi. Tak perlu berdusta, semua kita tentu sangat ingin dihormatai dibidang keagamaan, tapi saat bersamaan sukses besar di keuangan. Tak peduli cara mendapatkan, yang penting warna rohaninya. Aksi-aksian terus semakin menggila. Terlebih lagi ketika mimbar gereja berubah menjadi ajang hiburan. Maka pengisi acara yang bersifat menghibur akan lebih disukai dan menjadi utama. Khotbah menjadi pelengkap disana, kecuali khotbah yang juga menghibur dan menyenangkan telinga. Kata melayani Tuhan sangat kerap terdengar, namun ujungnya adalah transaksi biaya yang dikeluarkan. Semuanya serba punya tarif. Ah, profesional entertaiment. Tak ada yang salah ketika itu adalah profesi, yang jadi masalah ketika melabelisasi diri sebagai pelayan, tapi pelayan bertarif. Yesus Kristus dalam kesaksian pelayanannya, tak disukai Israel yang disebut sebagai umat pilihan. Karena Dia bersaksi tentang kejahatan manusia (Yohanes 7:7). Dan, jika Dia bersaksi tentang kebenaran surga, tak ada yang mau percaya (Yohanes 3:11). Sejak era Tuhan Yesus Kristus kebenaran tak disukai, bahkan oleh umat Israel. Apalagi Farisi yang selalu merasa paling suci dengan ritual agamanya yang panjang, dan jadwal puasa rutin yang ketat. Mereka paling benci mendengar kesaksian Tuhan Yesus, karena memang sangat menusuk hati yang munafik. Sementara gereja masa kini, kalaupun berteriak tentang kebenaran, kebanyakan hanya diujung bibir sebagai pemanis belaka. Ayat suci menjadi baju pelindung untuk menutupi aib. Aksi-aksian memang semakin menggila, laris manis. Sementara kebenaran terpinggirkan, itulah kenyataan yang dikatakan Tuhan Yesus; Bahwa, kita seperti domba ditengah serigala. Hidup benar ditengan dosa. Tak mudah, namun itulah kenyataannya. Tinggal, apakah pilihan tetap setia pada kebenaran, atau menjual diri dengan memanipulasi kebenaran, sekedar menjadi baju tapi tanpa isi. Kita harus memilih. Dimasa para Rasul hal yang sama terus bergulir. Banyak yang bertobat, tapi tak sedikit yang menghianat. Kesaksian aksi-aksian, juga mewarani perjalanan gereja mula-mula. Paulus mengkritik keras mereka yang hanya bersaksi demi keuntungan materi, untuk perut katanya (1Roma 16:18). Kesaksian isapan jempol, dongeng nenek moyang, ajaran salah tentang naik turun surga, jalan-jalan keneraka, ngobrol dengan Allah, menjadi jalan ampuh untk mengumpulkan keuntungan pribadi (2 Petrus 2:3, 1 Timotius 1:4). Padahal penjelasan mereka menimbulkan perdebatan panjang, dan menjadi sumber memecah jemaat. Kesaksian yang berakhir dengan perpecahan. Dan, seringkali perpecahan bukan sekedar antar jemaat, tetapi juga mengenai banyak rumah tangga. Perbedaan tajam yang merusak kebahagiaan rumah tangga. Suami dan istri berdebat tiada henti dan saling menyesatkan ajaran. Orangtua dan anak, juga bisa menjadi blok lainnya. Mengapa bisa terjadi? Karena umat kurang matang dalam memahami kebenaran. Tak pernah menginvestasi waktu yang cukup untuk belajar kebenaran Firman. Tak suka membaca dan menggali secara teliti ajaran kitab suci seperti jemaat di Berea (Kisah 17:11). Kebiasaan mendengar dan menerima tanpa sikap kritis menjadi penyebab utama kesesatan dan perpecahan.
Jemaat masa kini seharusnya belajar dari jemaat Efesus yang gigih menjaga kemurnian imannya, dan berhasil penuh menelanjangi kekacauan ajaran Nikholaus (Wahyu 2:1-7). Kegairahan belajar untuk mengetahui kebenaran, harus diikuti dengan kegairahan untuk melakukan dengan benar pula. Jemaat Efesus memang sempat tergelincir kehilangan kasih mula-mula. Mereka terlalu asik menguliti ajaran Nikholaus dan terjebak menjadi hakim. Kasih yang semula, memberitakan dan mengasihi sempat terganggu. Jemaat Efesus yang serius belajar saja bisa tergelincir, apa lagi jemaat yang malas belajar. Semoga kita menyadari semuanya, dan belajar menjadi gereja yang semestinya. Bagaimana memulainya? Mari hati-hati dan teliti pada tiap kesaksian. Kenali apakah ini bukan sekedar kesaksian yang aksi-aksian. Caranya? Pertama; Uji segala perkataannya apakah sesuai dengan Alkitab (1 Tesalonika 5:19-21). Kulitnya pasti mirip, berusaha untuk menyerupai. Tapi isi tak bisa disangkali, kecuali kita terlalu malas belajar sehingga mudah dikibuli. Disini kita akan mencium berbagai aroma tak enak dari kesaksian yang aksi-aksian. Kedua, analisa kisahnya, sekedar bombamtiskah? Setiap kisah yang benar ada alur dan sebab akibatnya. Ini seringkali dibungkus dengan kuasa Allah melampaui pikiran manusia sehingga sulit dimengerti. Jika betul demikian, maka berarti Alkitab yang ditulis para nabi dan rasul tak bisa kita mengerti bukan. Jelas ini logika asburd. Ketiga, apakah yang menjadi pusat kesaksiannya? Diri pribadi, kehebatan peristiwanya, atau kebenarannya nyata, sejalan dengan Alkitab. Keempat, sedikit perlu investigasi tentang kehidupan pribadi yang bersaksi. Bukankah dengan jelas Alkitab berkata; Pohon dikenal dari buahnya (Matius 7:15-18). Buahnya itu kualitatif; Melakukan kehendak Allah, hidup dalam buah Roh yang nyata. Bukan kuantitatif; Demostrasi karunia Roh, nubuat, mengusir setan, mujijat, tapi ditolak Allah (Matius 7:21-23). Kelima, agak mudah. Amati gaya hidupnya, borjuis sebagai seorang hamba Tuhan, atau sepantasnya. Ini bisa diperdebatkan, tapi sejatinya gaya hidup tak bisa membantah. Apalagi jika dia bicara melulu soal materi dalam kesaksiannya yang jadi terasa aksi. Hati-hati! Jelas sekali bukan. Jika semua umat mencintai kebenaran dan mau belajar dari Alkitab, maka akan banyak aksi-aksian yang bisa ditelanjangi.
Selamat menjadi bijak, dengan mencintai kebenaran Firman yang sejati, bukan imitasi.