Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
MENURUT suatu statistik
salah satu negara maju
hampir separuh karyawan marah secara periodik di kantor mereka, di lingkungan sosial yang terbuka, yang relatif tertib dan terkendali. Bagaimana ketika suami atau istri di rumah bersama dengan anak-anak yang tidak berdaya dan tertutup dari padangan masya-rakat? Bisa dipastikan perilaku marah akan lebih sering terjadi dan terjadi pada tingkat yang lebih hebat. Tidak heran kita sering mendengar terjadinya ‘piring terbang’, pemukulan terhadap anak atau istri, dsb.
Tidak heran ketika kita diminta menjelaskan ciri seseorang khusus-nya bos atau pemimpin, salah satu yang sangat umum adalah orang-nya pemarah. Karena itu dalam tulisan-tulisan tentang orang yang ‘sulit’, salah satu yang penting dan banyak dibicarakan adalah tipe pemarah. Ketika sudah dilabeli demikian, maka ini sudah menjadi satu karakter negatif orang tersebut.
Marah atau anger bermula dari satu emosi manusia yang juga memiliki sejumlah emosi lain seperti takut, senang, kaget, sedih, jijik dsb. Psikologi mengenali marah sebagai suatu emosi negatif dan kuat. Penelitian menunjukkan emosi marah semakin dilampiaskan membuat seseorang merasa ma-rah. Emosi marah ketika dilampias-kan menjadi agresi. Peperangan yang banyak terjadi dimulai dari amarah satu atau sejumlah orang. Jika sudah demikian maka banyak nyawa akan dikorbankan demi pelampiasan amarah kelompok.
Akibat dari perilaku marah, yang tidak terkendali dan pro-porsional, menye-babkan rasa tidak nyaman bagi yang menjadi obyek ke-marahan dan lingku-ngan di sekitarnya. Kemarahan yang berlebih dilampias-kan potensial akan menyakitkan dan merusak hubungan. Rumah tangga banyak yang kemu-dian hancur karena pelampiasan kemarahan dan tidak jarang yang berakhir dengan perceraian. Riset juga menunjukkan orang-orang pemarah tiga kali lebih mungkin terserang penyakit jantung daripada orang yang berperangai tenang.
Alkitab berbicara banyak ten-tang marah, karena jelas ini masalah penting untuk kita perhatikan. Menarik, Alkitab tidak berbicara marah selalu sebagai dosa. Allah sendiri dikatakan ’murka setiap saat’ (Mazmur 7: 12). Tuhan Yesus ma-rah terhadap orang Yahudi yang berjualan binatang korban di Bait Allah (Yohanes 2:13-18).
Bahasa Yunani Alkitab mengguna-kan dua kata marah, yang satu ber-arti energi atau hasrat, dan yang lain, mendidih atau teragitasi. Marah adalah energi yang diberikan Allah untuk membantu menyelesaikan suatu masalah. Namun marah yang kudus itu tidak berpusat pada diri tapi pada prinsip. Paul marah ter-hadap Petrus ketika Petrus yang tidak mau makan bersama orang non-Yahudi ketika orang percaya Yahudi datang (Galatia 2: 11-14). Daud marah ketika mendengar cerita nabi Natan tentang orang kaya yang merampas satu-satunya domba seorang miskin untuk dijadikan santapan tamunya (2 Samuel 12). Sayangnya orang kaya itu ternyata adalah gambaran tentang dirinya yang merebut Batsyebah dari prajuritnya Uria.
Ciri lain marah yang benar adalah diarah-kan kepada suatu perbuatan salah seseorang, bukan kepada pelakunya – manusia yang dika-sihi Allah dan harus kita kasihi. Ia tidak eksplosif tapi terkon-trol dan tidak dibiar-kan berlarut-larut (Efesus 4: 26).
Namun jelas ma-nusia telah dirusak oleh dosa, termasuk emosi marah-nya sehingga amarah manusia lebih berpusat diri daripada kebenaran. Amarah yang semula mungkin berdasarkan alasan yang benar bisa dengan mudah berubah menjadi salah karena tidak menyelesaikan masalah dengan efektif tapi menyakiti pelaku kesalahan.
Alkitab mensyaratkan agar pemimpin gereja ’bukan pemarah’ tapi peramah (1 Timotius 3: 2, 3; Titus 1: 7). Dari bukti-bukti Alkitab penginjil besar Billy Graham mema-sukkan marah sebagai salah satu dari tujuh dosa maut. Tuhan Yesus menyamakan marah yang tidak kudus itu dengan membunuh dan karena itu merupakan dosa yang keji (Matius 5: 22). Karena itu ma-rah manusia haruslah dihindari (Maz 37: 8). Jelas sifat marah meng-halangi kesaksian kristiani karena sama sekali bertentangan nilai dengan misi kasih Allah bagi dunia.
Bagaimana menjadi ‘bukan pemarah’? Alkitab memberi prinsip-prinsip yang menolong, sebagai orang percaya harus terus ‘berubah’ melalui perubahan akal budi (Roma 12: 2). Dimulai dari pikiran kita harus menyatakan diri mau berubah, tidak mau menjadi pemarah tapi pera-mah. Kita perlu mendoakan agar kasih karunia Tuhan memampukan kita berubah (Filipi 2:13).
Kita perlu mengevaluasi bagai-mana kita menjadi marah, kapan kita marah dan apa yang men-trigger kemarahan kita. Kita harus bertobat dari perilaku marah yang tidak benar (1 Yohanes 1: 9). Buatlah strategi untuk berubah dari pemarah menjadi peramah. Latih perilaku sabar dan peramah. Minta Roh Kudus terus bekerja dalam hidup kita (Efesus 5:18). Tuhan memberkati.v
*Penulis adalah Partner di Trisewu Leadership Institute