Pdt. Bigman Sirait
Reformata.com – SEMUA orang, bisa stres, bahkan Alkitab menceritakan bahwa nabi pun bisa stres. Mazmur 42: 5-7 mengatakan, “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku dan gelisah di dalam diriku….”. Mazmur ini mengungkap-kan bagaimana seseorang me-ngalami pergumulan ketegangan yang luar biasa di dalam menantikan pertolongan Tuhan.
Siapa pun bisa stres, tetapi perlu kita ketahui bahwa orang-orang yang menderita stres tidak hanya tergantung pada stresnya, tetapi daya tahan. Kalau dia rentan terhadap tekanan, kecil saja tekanan dia sudah rubuh, karena dia rapuh. Tetapi kalau kuat, walau masalah berat, dia akan kuat. Ayub mengalami stres berat. Kalau kita yang mengalami, mungkin sudah gila. Tetapi Ayub mampu karena punya daya tahan unggul dan luar biasa. Dalam konteks kekristenan, ini tentu iman yang teguh.
Mengapa stres muncul? Bisa jadi karena tuntutan prestasi. Anak sekolah bisa stres karena tekanan orang tua yang menuntut dia menjadi juara. Sebaliknya kita orang tua pun jangan menggantung-kan prestasi yang sebetulnya jauh dari kemampuan kita. Sehingga ketika gagal kita kecewa dan marah kepada diri sendiri, dan akhirnya tidak bisa menerima diri kita. Ketika kita lemah, habislah kita. Kita sudah bunuh diri karena menghabiskan kegairahan dan kenikmatan hidup yang seharusnya menjadi milik kita, hanya karena ambisi-ambisi berlebihan yang tidak bisa kita gapai. Dan masih banyak kasus yang bisa memicu stres, seperti hubungan antarsesama, masalah pekerjaan, dsb.
Konsep keagamaan juga bisa membuat orang stres. Misalkan, umat yang beribadah di satu gereja mendengarkan khotbah pendeta yang menga-takan, “Kamu sudah kudus dan tidak mungkin lagi jatuh ke dalam dosa, dan kalau kamu jatuh dalam dosa, berarti setan menguasai dirimu!” Masak sih orang tidak mungkin jatuh ke dalam dosa? Maka satu kali dia jatuh dalam dosa, dia stres, karena berpikir dia sudah menjadi setan. Dia sudah tidak kudus lagi sebab setan ada dalam dirinya. Dia akan marah terhadap dirinya, dan jika dia tidak kuat menanggung itu, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. Maka banyak orang seperti itu yang tampaknya rohani, tetapi sebetulnya stres berat.
Bisa juga orang mengalami stres karena tuntutan-tuntutan gereja. Katakanlah gereja yang tidak membolehkan umat mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Misal, seorang ibu sudah punya dua anak, tetapi salah satu mengalami gangguan. Dia mau punya anak lagi, tetapi takut jika nanti cacat lagi, karena menurut dokter kemungkinan itu sangat besar. Mau ber-KB tidak berani, karena dilarang gereja. Dia yakin anugerah Tuhan tidak boleh ditolak. Jalan satu-satunya, dia minta suaminya pisah dari dia. Berhubung suami pria normal, dia bisa jatuh ke dosa perselingkuhan. Istrinya tahu, lalu stres, dan bingung, “Bukankah saya dalam rangka melakukan kehendak Tuhan?” Kehendak Tuhan menurut keyakinannya.
Dekat Tuhan
Jangan besar kepala dan berpikir tidak bisa stres karena merasa dekat Tuhan. Betul, dekat dengan Tuhan mengakibatkan ketenangan. Masalahnya, sedekat apa kita dengan Tuhan? Kedekatan itu menurut konsep kita atau Alkitab? Konsep seorang pendeta bahwa kita kudus dan tidak mungkin terjatuh ke dalam dosa, bisa membuat umat tidak karuan. Kalau sudah memuliakan Tuhan dengan rajin kebaktian, lantas menganggap sudah dekat dengan Tuhan? Nanti dulu. Yesus mengkritik tajam orang-orang Farisi: “Percuma bangsa ini beribadah kepada-Ku dengan mulut dan bibirnya, tetapi hatinya jauh dari pada-Ku!” Jadi kita mesti punya konsep yang jelas dan benar. Bagaimana kita mengukur diri, hati, kejujuran, bukan sekadar aktivitas.
Banyak kemungkinan pemicu stres. Situasi kota modern seperti jalan macet bisa bikin stres. Masalah seksual bisa mendatangkan stres. Maka oleh karena itu, bagaimana kita memahami tekanan-tekanan seperti ini sebagai sesuatu yang normal di dalam keterbatasan kita sebagai manusia. Jangan buru-buru juga mengatakan itu dosa. Siapa sih yang tidak stres? Bahkan Pemazmur, seperti yang kita baca tadi, tertekan jiwanya di dalam menantikan pertolongan Tuhan. Rasanya dia tidak kuat, tetapi bersyukurlah ketika pengharapan pada Tuhan itu masih ada di dalam batinnya.
Alkitab mengatakan bahwa tidak ada pencobaan melebihi batas kemampuanmu. Tetapi kitalah yang sering kali tidak bijak mengukur kemampuan, dan menciptakan persoalan melewati kemampuan kita. Karena itu bijaksanalah, jangan gelap mata. Lihat diri, Anda tidak sama dengan semua orang. Keberanian mengoreksi diri itu kita butuhkan supaya tidak menghimpit dan menjadikan stres. Tidak ada yang terhindar dari stres, tetapi banyak orang yang bisa mengatasi stres sekalipun banyak juga orang yang menjadi korban stres itu. Banyak orang mampu mengatasi stres, dan itu menjadi kemenangan bagi dia. Tetapi yang gagal, dan menjadi korban, karena tidak mampu mengukur diri, tidak mampu menempatkan di mana dia berada, dan tidak mampu menggantungkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Jangan atas nama iman Anda berlebihan. Berimanlah seperti yang Tuhan ajarkan. Bijaksanalah menikmati anugerah yang sudah Tuhan berikan sehingga kita tidak terjebak di tengah kehidupan modern, di tengah berbagai himpitan dan tekanan yang datang silih berganti.
Silakan bercita-cita, bikin target, asal mengukur diri, jangan pakai ukuran orang lain. Orang lain mungkin kuat menanggungnya karena punya daya tahan yang baik. Ukur diri, tahu diri. Orang yang tahu diri akan bisa menguasai diri. Orang yang bisa menguasaai diri itulah yang dipimpin Roh Kudus. Penguasaan diri adalah buah roh itu. Orang Kristen harus bisa menguasai diri. Karena itu kenali diri, tahu diri. Ukurlah apa yang layak kau gapai dengan kekuatan yang Tuhan berikan. Berserah pada Tuhan, bersyukur pada-Nya. Bangunlah daya tahanmu supaya kuat. v
(Diringkas dari kaset khotbah oleh Hans P.Tan)