Ketika Nabi Pun Bisa Stres

Pdt. Bigman Sirait

Reformata.com – NABI Elia boleh dikatakan sangat hebat dan spektakuler. Dia memberi makanan yang cukup bagi janda di Sunem, membelah Sungai Yordan. Dia membunuh ratusan nabi Baal. Banyak sisi kehidupannya diwarnai hal-hal yang luar biasa. Tetapi justru di tengah kemenangan itu muncul persoalan, ketika Isabel, ratu yang sangat kejam dan bengis mengancam dan bersumpah bahwa Elia akan bernasib sama seperti para imam Baal yang dibunuhnya. Elia yang ketakutan melarikan diri. 
Tragis, seorang nabi besar ketakutan. Kejayaan yang pernah diraih dan menandakan dia seorang pemberani, tidak berbekas. Dia justru  mengalami tekanan luar biasa, dan lari. Elia stres, dan berkata: “Tuhan aku ingin mati!” Dia tidak kuat  menanggung beban hidup akibat ancaman Isabel. Kenapa Elia seorang nabi sampai stres gara-gara diancam? Mestinya kan nabi tidak takut mati. Di sini muncul pertanyaan yang justru menjadi misteri. Dan jawabannya ada pada 1 Raja-raja 19: 1-4, khususnya ayat ke-4: “Cukuplah itu, sekarang ya Tuhan ambillah nyawaku sebab aku ini tidak lebih baik daripada nenek moyangku”. Ternyata di sinilah letak permasalahan. Elia membandingkan diri dengan nenek moyangnya.
Beberapa penafsir berpendapat bahwa ini lebih mengacu kepada bagaimana dia membandingkan dirinya dengan Musa, yang memiliki reputasi dan prestasi luar biasa dalam membebaskan umat Israel dari Mesir. Elia berpikir kenapa tidak seperti Musa yang bisa menyelesaikan semua persoalan membawa bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Perjanjian. Sementara Elia baru bekerja sedikit saja sudah muncul masalah, diancam Ratu Isabel! Masak di tengah jalan harus rontok?
Musa menghadapi Firaun sampai umat Israel dibebaskan. Elia merasa baru separuh pekerjaan yang dia lakukan dia sudah diuber, diancam, dan sepertinya tidak melihat lagi pertolongan, pengharapan. Semua mendadak kusut. Bayangan tentang sebuah keberhasilan membuat Elia membuat satu ukuran tersendiri. Dia ingin seperti Musa, mengukir prestasi, tetapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan tidak suka kita bikin ukuran menurut kita. Tuhan mau ukuran yang kita pakai itu ukuran Dia. Tuhan tidak mau kita mempersulit diri dengan cita-cita yang Tuhan tidak pernah taruh dalam diri kita.

Keinginan sendiri
Mari kita melihat Elia. Dia membuat ukuran sendiri. Dia membuat kesimpulan sendiri, membandingkan diri dan berharap seperti Musa. Awalnya semua OK. Tetapi ketika muncul perlawanan dia tidak kuat dan melarikan diri. Pasti saat itu dia melihat tidak ada peluang lagi, semua sudah tertutup. Karena itulah di tengah puncak stresnya Elia ingin mati saja, karena malu tidak bisa memenuhi target. Ia ingin berprestasi dengan cara yang luar biasa, tetapi dia lupa apa yang menjadi kehendak Tuhan. Ia ingin mati, pasti itu bukan keinginan Tuhan? Ia lari, pasti bukan perintah Tuhan. Keinginan siapa? Jelas keinginan dia sendiri.
Maka kita melihat betapa salahnya Elia. Waktu dia membandingkan dirinya dengan Musa, dia jadi pusing sendiri, karena Elia adalah Elia, bukan Musa dengan target yang sudah Tuhan taruh di dalam dirinya. Mereka jelas beda job. Lain  ukuran. Setiap nabi itu beda-beda. Hosea dipakai Tuhan berbeda dengan Elia dipakai Tuhan. Hosea lebih berbicara tentang moral dan cinta kasih Tuhan yang luar biasa itu. Apa yang mau disampaikan Hosea beda dengan Elia, dan Hosea tidak perlu sama seperti Elia. Elia adalah Elia, dan Hosea adalah Hosea. Bila dipakai Tuhan seperti itu, ya seperti itulah. Pada edisi lalu sudah saya bilang bahwa stres itu seringkali muncul karena kita tidak mengenal diri, lalu membuat satu ukuran yang melampaui batas kemampuan. Sesuatu yang memang tidak Tuhan taruh dalam diri kita, yang kita ciptakan dan menjadi persoalan bagi kita.
Jika stres datang, jangan salahkan Tuhan dan mengatakan bahwa persoalan ini terlalu berat. Bukan masalah persoalannya yang terlalu berat, daya tahan kitalah yang lemah. Itulah yang mesti diperbaiki. Jadi masalahnya ada pada diri. Saudara menganggap sesuatu persoalan itu berat ukurannya apa? Misalnya, selama ini bisa hidup dengan penghasilan Rp 500 ribu. Jika sekarang cuma 200 ribu, jangan buru-buru menganggap itu berat dan tidak cukup. Padahal kalau belajar, bisa saja cukup dengan 200 ribu. Jadi tidak berat kan? Maka ini menyangkut persepsi kita tentang nilai hidup, pergumulan-pergumulan kita. Jadi stres itu datang karena kita sendiri yang membuat ukuran itu berlebihan.
Belajar dari kasus Elia kita melihat bahwa bahkan di dalam pelayanan pun dia bisa stres. Dengan pemikirannya sendiri, dia kecewa dan berkata, “Ternyata akau tidak lebih baik dari nenek moyangku”. Kalimat itu menyibak misteri tentang kenapa Elia jadi frustrasi. Karena dia sudah menyamakan diri dengan nenek moyangnya, dan dia mau melakukan seperti apa yang telah dilakukan nenek moyangnya. Dia lupa bahwa dia punya keunikan pada dirinya. Mestinya dia melakukan bukan seperti apa yang dilakukan nenek moyang-nya, tetapi apa yang Tuhan mau dia lakukan.
Mari belajar dari Nabi Elia untuk tidak ter-jebak lagi, untuk tidak membuat satu cita-cita atau format mau seperti siapa kita. Pertama, tempatkan diri dengan cermat dan dengan jujur menilai diri sejauh mana tingkat kemampuan dan daya tahan kita. Yang kedua, jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain, ingin melakukan seperti apa orang lakukan. Itu boleh menjadi inspirasi kita, tetapi tanyalah Tuhan apa yang mau Tuhan kita lakukan sehingga tidak menjadi stres atas keputusan yang kita buat. Yang ketiga, sadari bahwa kita memiliki keunikan pada diri kita diciptakan Tuhan lain dari yang lain. Maka dia juga pasti akan memakai kita sesuai cara Dia. Nikmatilah keberadaan saudara. Berjalanlah bersama dengan Tuhan dan belajarlah terus mencari apa yang Tuhan mau.

v (Diringkas dari kaset khotbah oleh Hans P.Tan)

 

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *