Pdt. Bigman Sirait
Bolehkah pendeta memberkati seorang pria Kristen beristri, untuk menikah lagi dengan perempuan Kristen lainnya, dengan restu dari istrinya? Bahkan istrinya yang sah rela dan bersedia menjadi saksi dalam pernikahan tersebut. Semua berjalan normal karena dilandasi cinta.
Semua diawali dari perkenalan sang pria dengan perempuan itu lewat chatting. Si pria jujur dengan realita statusnya yang beristri. Ternyata si perempuan menderita dua penyakit trauma psikis berat yang akhirnya menggerogoti fisiknya, sehingga tiap bulan harus opname di rumah sakit minimal 3 hari. Perempuan tersebut seringkali mengalami pendarahan hebat ketika datang bulan. Menurut dokter, ini bisa diatasi hanya apabila dia hamil. Di sisi lain dia juga sangat labil dan memiliki kecenderungan bertindak nekat, seperti bunuh diri, sehingga sangat memerlukan kehadiran orang yang bisa dipercayanya.
Dari komunikasi yang intens, pelan-pelan trauma psikis yg diderita si perempuan membaik. Bahkan, akibat simpati yang tinggi, hubungan mereka berlanjut ke tahap pacaran, bahkan persetubuhan. Kepada sang istri, si suami juga menceritakan semuanya secara terbuka. Hebatnya sang istri, mungkin karena bersimpati juga terhadap perempuan tersebut, mendukung sepenuhnya, termasuk hubungan khusus suaminya dengan perempuan tersebut. Semuanya berlanjut, hingga ke titik rencana pernikahan yang disebutkan di atas.
Pria itu sangat mencintai kedua-duanya dan tak mau ada perceraian. Itu sebab sebagai orang Kristen mereka bertiga (suami, istri, dan perempuan itu) mau mencari pendeta yang mau menikahkan si pria dan perempuan itu, walau negara tidak melegalkan. Mohon Pendeta Bigman kasih tanggapan. JBU.
Hadi Kristanto
Semarang
hkristanto70@gmail.com
Reformata.com – HADI Kristanto yang dikasihi Tuhan, ini sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik. Kisah ini layaknya sebuah sinetron yang mengharu biru rasa, sehingga sulit bagi saya membayangkan ini terjadi di realita kehidupan. Tetapi bagaimanapun kita perlu menjawabnya. Mari kita mulai memahami bukan hanya situasi, tetapi juga hakekat kebe-naran. Jika hanya melihat situasi yang ada, seribu alasan telah ter-sedia untuk melegalisasinya. Misal-nya, rasa kasihan karena sakitnya yang tak akan kunjung sembuh. Belum lagi kelabilan jiwa, dan sa-ngat diperlukannya kehadiran orang yang dipercaya. Dan di situasi ini si pria bagaikan juru selamat bagi si perempuan. Ditambah lagi du-kungan sepenuhnya dari istrinya. Maka atas nama situasi bisa saja semuanya dilegalisasi. Tapi atas nama iman Kristen, ini sungguh sangat tidak pantas. Mengapa?
Mari kita telusuri kebenaran Fir-man Tuhan yang harus menjadi landasan satu-satunya (Mazmur 119: 105, 2 Timotius 3: 16-17). Jadi, apa pun yang ingin dilakukan seorang Kristen tentu harus sejalan dengan kebenaran Firman Tuhan, terlebih lagi keputusan se-orang pendeta. Sebagai pendeta tentu sudah seharusnya dia me-mahami sepenuhnya akan prinsip kebenaran yang sesuai firman Tuhan. Dan, sudah seharusnya pula memberikan penggembalaan, dengan memberikan saran yang tepat dan baik bagi tiap umat. Dari sudut sakit berat, apakah Tuhan tidak bisa menyembuhkan, se-hingga diperlukan tindakan ekstrim yaitu dengan menikahi pria yang sudah menikah, sekalipun istrinya menyetujui (ini jelas melanggar firman Tuhan, Keluaran 20: 14, Ibrani 13: 4). Apakah boleh seorang dokter membunuh pasien hanya karena ada persetujuan dari keluarga, atau bahkan pasiennya sendiri? (melanggar firman Tuhan, Keluaran 20:13). Jika Tuhan meng-inginkan dia sembuh, alangkah mudahnya. Sebaliknya, jika dia sakit, sebagai orang beriman sudah seharusnya belajar mengerti ren-cana Allah, dan mengingat segala pencobaan tidak pernah melebihi batas kekuatan kita menanggung-nya (1 Korintus 10:13).
Nah, penyakit yang kita bicarakan di atas memang jadi terasa mengerikan, karena mengabaikan kebaikan pemeliharaan Allah. Ini yang bahaya. Padahal kita sedang berbicara tentang orang Kristen dalam persoalannya. Di sini, Hadi yang dikasihi Tuhan, tak cukup hanya mengerti persoalan yang dihadapi oleh mereka, tetapi juga harus menyadari bahwa Tuhan tak pernah terlambat menolong anak-anak-Nya. Secara medis, menurut saya, kesimpulan yang ada terlalu dini dan sangat disederhanakan, itu sebab saya katakan mirip sinetron. Dalam medis, jika seorang dokter tak bisa menangani suatu penyakit, itu bukan berarti semua dokter menjadi tak bisa. Terlalu banyak kesempatan dalam dunia medis.
Sementara soal kelabilan jiwa, kecenderungan bunuh diri, dan orang yang bisa dipercaya, kan bukan hanya seorang pria yang sudah menikah. Ada teman wanita, atau pendeta wanita, dan seterusnya. Ini tinggal bagaimana kita memba-ngun relasi. Karena itu, agak aneh juga jika sebagai orang Kristen yang sejak awal diskusi mereka terbuka, malah terperosok. Seha-rusnya keterbukaan bisa menjadi koridor, bukannya celah untuk ber-tindak salah. Apalagi keterbukaan tiga orang, artinya ada saling me-ngawasi dan saling menjaga. Bu-kannya malah masuk dalam ranah yang dilarang Alkitab yaitu perjina-han, lalu berlanjut ke ketakutan akan bahaya yang mengancam si wanita labil, sehingga si pria berniat menikahinya. Sampai di sini saja, motif pernikahan menjadi kabur, yaitu mau menolong atau melegali-sasi hubungan yang sudah terjadi. Bisa jadi di sinilah muncul motif ingin menolong karena sudah telanjur.
Di sisi lain, dukungan si istri juga membingungkan. Jika dia memang elegan dan coba menampilkan diri berjiwa besar, pasti dia akan mun-dur dan minta dicerai, dan berte-kad tak akan menikah lagi. Tapi ingat, ini pun bukan tindakan yang sepenuhnya benar. Yang benar, seharusnya sang istri mencegah dan menolong suami dan wanita yang lainnya agar tak terjerumus dalam dosa. Dan itu harus dilakukan sejak awal komunikasi. Si istri tak hebat di sini (sekalipun tampaknya berjiwa besar), bahkan sebaliknya sangat naïf, dan membuka peluang untuk hidup berdosa (melawan firman Tuhan).
Jadi, Hadi yang dikasihi Tuhan, ketiga orang (suami, istri dan wanita lainnya), ada dalam posisi salah, maka akan amat sangat salah jika ada pendeta yang mau mem-berkatinya. Saya bisa membayang-kan alasan kemanusiaan yang akan dikemukakan. Namun dengan jujur harus berani kita akui ini adalah tindakan salah, yang tak boleh dilegalisasi oleh gereja. Pendeta adalah alat Tuhan untuk menyua-rakan kebenaran, apa pun konse-kuensinya. Apalagi seperti yang Saudara Hadi katakan, negara saja melarangnya, bagaimana mungkin gereja melegalisasinya? Gereja dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, bukan sebaliknya. Menjadi model yang memberkati, bukan batu sandungan.
Dalam persoalan ini, diperlukan kehati-hatian dan sekaligus kete-gasan sikap akan kebenaran yang tak boleh dikompromikan. Jangan lupa, penyakit, kematian, dan semua persoalan kehidupan ada di dalam kendali Tuhan yang berkata, bahwa tak satu pun rambut kita jatuh yang tak diketahui-Nya, yang kita sendiri sering tak menyadari (Lukas 12: 7). Yakobus juga mengingatkan kita, bahwa penco-baan yang kita alami dalam hidup ini adalah kebahagiaan dan peng-ujian untuk pertumbuhan iman (Yakobus 1: 2-18).
Baiklah Hadi yang dikasihi Tuhan, semoga jawaban ini boleh menjadi berkat bagi kita semua. Selamat melayani.v