
PEMIMPIN KRISTIANI:
REFORMATA.com – PERNAHKAH Anda bertemu dengan sekelompok eksekutif berwajah ‘Poker Face’? Mungkin Anda bertanya, “Apa sih maksudnya ‘Poker Face’? ‘Poker Face’ merupakan istilah yang dikenal dalam permainan kartu di mana para pemainnya menunjukkan wajah ‘blank’, seolah-olah tidak mengetahui apa pun tentang posisi kartunya dan tidak menunjukkan suatu emosi tertentu. Istilah ini kemudian banyak dipakai di luar permainan kartu, termasuk dalam dunia bisnis.
Seorang teman konsultan saya menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan kelompok-kelompok ‘Poker Face’ ini. “Memangnya ada kelompok yang seperti itu?” tanya saya kepada teman saya tersebut. Karena sulit sekali membayangkan suatu organisasi yang para eksekutifnya memberikan ekspresi ‘Poker Face” dalam pertemuan-pertemuan atau dalam melakukan deal bisnis dengan mereka. Saya bisa membayangkan kalau hanya ada beberapa orang di dalam sebuah organisasi yang eksekutifnya menunjukkan ekspresi seperti itu, tetapi kalau semuanya? Wow,…sulit membayangkannya. “Ya memang ada,” teman saya menjelaskan.
Teman saya menceritakan bahwa dia diminta menjadi konsultan di sebuah perusahaan dan harus berbicara dengan sekelompok kepala unit kerja dan manajer inti. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan tentang beberapa inisiatif yang perlu dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kinerja melalui perbaikan beberapa proses dalam organisasi tersebut, namun sewaktu hal tersebut dibicarakan, kelompok pemimpin tersebut menunjukkan wajah-wajah ‘blank’, kurang responsif, tidak menunjukkan emosi tertentu dan cenderung kelihatan enggan mengambil inisiatif memimpin proyek yang akan dilakukan. Semua yang diminta memimpin inisiatif menjawab, “Wah, itu bukan tugas saya, jangan saya deh yang ditunjuk”. Setelah beberapa kali pertemuan hasilnya selalu demikian, akhirnya tidak ada kemajuan dan proyek cenderung mandeg di level tersebut.
Akhirnya, teman saya melanjutkan pembahasan dengan level manajemen yang lebih tinggi. Para pejabat yang sebelumnya sudah menolak, diajak juga ikut serta di pertemuan tersebut. Nah, di sini baru ada sedikit kemajuan, walaupun ekspresi ‘Poker Face’ masih kelihatan, namun akhirnya direktur tertinggi bisa mendelegasikan tugas-tugas memimpin proyek perbaikan kepada beberapa senior officer ( yang sebelumnya sudah menolak ) dengan beberapa cara pemaksaan dan ancaman. Kali ini karena penugasan langsung oleh Presiden Direktur mereka tidak bisa mengelak lagi.
“Jadi, ternyata mereka cuma mau menerima penugasan dari pemimpin tertinggi, itu pun harus disertai ancaman. Jadi sistem yang bisa jalan bukan berdasarkan inisiatif karyawan dengan semangat dan kemauan untuk maju dan mencoba sesuatu yang baru, namun harus dipaksa,” kata teman tersebut.
Selanjutnya ada juga beberapa usulan proyek yang inisiatifnya memang ada di level direksi. Sebagai konsultan, teman saya mengadakan meeting dengan dewan direksi. Ternyata hasilnya sama, di level ini pun semua anggota direksi menunjukkan wajah ‘Poker’ mereka. Teman saya tersenyum dan akhirnya mengambil inisiatif mengadakan pertemuan dengan pemilik perusahaan. Dalam pertemuan tersebut hal yang sama terjadi. Pemilik berhasil mendelegasikan beberapa tugas tersebut ke anggota dewan direksi tertentu setelah disertai beberapa pemaksaan dan sedikit lelucon berbau ‘pelecehan’ kapabilitas dan kredibilitas, akhirnya semua tugas memiliki penanggung jawabnya.
Lama saya tidak bertemu teman konsultan saya tersebut, sampai akhirnya beberapa minggu lalu saya bertemu teman saya lagi. Saya menanyakan bagaimana kelanjutan proyek konsultasinya di perusahaan yang disebutnya “Poker Face’. “Wah, saya sudah meninggalkan proyek tersebut”. “Hanya enam bulan bertahan di perusahaan tersebut, dan kemudian teman saya berinisiatif memutus kontraknya saja, karena menurut dia itu adalah keputusan yang terbaik. Terlalu lamban pergerakannya, “”It’s not moving,” katanya. “Dominasi ‘Poker Face’ menjadi beban perusahaan tersebut. Perusahaan dirugikan karena attitude ‘poker faces’. Setelah penugasan dilakukan pun, pada awalnya yang ditugaskan hanya mengatakan ‘ya’, namun dalam pelaksanaannya semua berjalan terlalu lamban dan birokrasi yang berlapis menghentikan segalanya. Ternyata semua persetujuan, sampai yang paling kecil pun harus kembali ke pemilik perusahaan yang notabene dalam satu tahun hanya 4 bulan berada di Indonesia. Jadi bayangkan saja bagaimana lambannya suatu inisiatif harus berjalan,” katanya sambil tersenyum. “Lebih baik waktu saya digunakan untuk membantu perusahaan lain yang benar-benar membutuhkan konsultasi saya,” lanjutnya.
“Menurut Anda, mengapa kasus eksekutif ‘Poker Face’ itu bisa terjadi?” tanya saya. Teman menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan mengapa hal itu bisa terjadi, antara lain: 1) Dominasi pemilik atau pemimpin tertinggi yang terlalu dominan. Di sini pemimpin dianggap sebagai dewa. Semua kemauan pemilik atau pemimpin tertinggi harus dilakukan, tidak ada ruang untuk menolak atau mengusulkan alternatif yang lebih baik. 2) Sistem ‘reward’ dan ‘punishment’ dalam perusahaan dikuasai hanya oleh pemilik atau pemimpin tertinggi. Di sini faktor penilaian, penghargaan, pengakuan dan remunerasi hanya bisa dilakukan oleh pemilik atau pemimpin tertinggi. Semua sistem di bawahnya semu atau kamuflase, kalau pun ada sistemnya hanya dilakukan sebagasi suatu ‘exercise’ namun hak untuk mengumumkan pemenang selalu ada di pihak pemilik atau pemimpin tertinggi. Dan sistem seperti ini sudah mendarah daging puluhan tahun dan dikenal para pelaku di perusahaan tersebut, jadi amannya ya tunggu apa kata otoritas tertinggi saja.
3) Sistem meeting atau pun pertemuan bisnis internal dilakukan dalam suasana tidak aman. Dalam organisasi modern kita mungkin mengenal bahwa meeting atau training bagi karyawan harus dilakukan dalam arena ‘aman’, artinya karyawan berhak bertanya, mengajukan keluhan bahkan usulan terbodoh sekalipun dengan aman, tanpa potensi pelecehan atau pemasungan kreativitas. Tidak demikian halnya di perusahaan tersebut, di mana setiap meeting adalah ‘arena pembantaian’. Apa yang ditampilkan harus benar dalam artian harus sesuai dengan keinginan pemilik atau pemimpin tertinggi. Di luar hal tersebut, semua dianggap salah, harus “dibunuh”. Jadi tidak heran, hal itu menjadi menakutkan dan jalan keluar yang paling aman adalah menunjukkan wajah ‘Poker Face” dalam setiap meeting atau pertemuan.
4)Yang paling parah, adalah perusahaan tidak mempunyai tujuan dan rencana kerja yang jelas. Kalaupun ada biasanya hanya pada segelintir orang di tingkatan tertinggi yang enggan/ sungkan membagikannya secara merata ke seluruh level dalam organisasi sehingga setiap orang bisa secara jelas membacanya dan bersiap memberikan kontribusinya.
Rekan pemimpin yang budiman, kejadian seperti di atas menurut teman konsultan saya tersebut banyak terjadi di perusahaan terutama perusahaan keluarga. Hal itu juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang pemiliknya kristiani. Saya yakin sebagai pemimpin kristiani hal ini harus menjadi perhatian kita bersama, bagaimana kita memperbaiki sistem kerja perusahaan-perusahaan milik Allah ini, sehingga perusahaan milik Tuhan menghasilkan yang optimum. Saya yakin pengusaha kristiani pasti bisa.v
Seorang teman konsultan saya menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan kelompok-kelompok ‘Poker Face’ ini. “Memangnya ada kelompok yang seperti itu?” tanya saya kepada teman saya tersebut. Karena sulit sekali membayangkan suatu organisasi yang para eksekutifnya memberikan ekspresi ‘Poker Face” dalam pertemuan-pertemuan atau dalam melakukan deal bisnis dengan mereka. Saya bisa membayangkan kalau hanya ada beberapa orang di dalam sebuah organisasi yang eksekutifnya menunjukkan ekspresi seperti itu, tetapi kalau semuanya? Wow,…sulit membayangkannya. “Ya memang ada,” teman saya menjelaskan.
Teman saya menceritakan bahwa dia diminta menjadi konsultan di sebuah perusahaan dan harus berbicara dengan sekelompok kepala unit kerja dan manajer inti. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan tentang beberapa inisiatif yang perlu dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kinerja melalui perbaikan beberapa proses dalam organisasi tersebut, namun sewaktu hal tersebut dibicarakan, kelompok pemimpin tersebut menunjukkan wajah-wajah ‘blank’, kurang responsif, tidak menunjukkan emosi tertentu dan cenderung kelihatan enggan mengambil inisiatif memimpin proyek yang akan dilakukan. Semua yang diminta memimpin inisiatif menjawab, “Wah, itu bukan tugas saya, jangan saya deh yang ditunjuk”. Setelah beberapa kali pertemuan hasilnya selalu demikian, akhirnya tidak ada kemajuan dan proyek cenderung mandeg di level tersebut.
Akhirnya, teman saya melanjutkan pembahasan dengan level manajemen yang lebih tinggi. Para pejabat yang sebelumnya sudah menolak, diajak juga ikut serta di pertemuan tersebut. Nah, di sini baru ada sedikit kemajuan, walaupun ekspresi ‘Poker Face’ masih kelihatan, namun akhirnya direktur tertinggi bisa mendelegasikan tugas-tugas memimpin proyek perbaikan kepada beberapa senior officer ( yang sebelumnya sudah menolak ) dengan beberapa cara pemaksaan dan ancaman. Kali ini karena penugasan langsung oleh Presiden Direktur mereka tidak bisa mengelak lagi.
“Jadi, ternyata mereka cuma mau menerima penugasan dari pemimpin tertinggi, itu pun harus disertai ancaman. Jadi sistem yang bisa jalan bukan berdasarkan inisiatif karyawan dengan semangat dan kemauan untuk maju dan mencoba sesuatu yang baru, namun harus dipaksa,” kata teman tersebut.
Selanjutnya ada juga beberapa usulan proyek yang inisiatifnya memang ada di level direksi. Sebagai konsultan, teman saya mengadakan meeting dengan dewan direksi. Ternyata hasilnya sama, di level ini pun semua anggota direksi menunjukkan wajah ‘Poker’ mereka. Teman saya tersenyum dan akhirnya mengambil inisiatif mengadakan pertemuan dengan pemilik perusahaan. Dalam pertemuan tersebut hal yang sama terjadi. Pemilik berhasil mendelegasikan beberapa tugas tersebut ke anggota dewan direksi tertentu setelah disertai beberapa pemaksaan dan sedikit lelucon berbau ‘pelecehan’ kapabilitas dan kredibilitas, akhirnya semua tugas memiliki penanggung jawabnya.
Lama saya tidak bertemu teman konsultan saya tersebut, sampai akhirnya beberapa minggu lalu saya bertemu teman saya lagi. Saya menanyakan bagaimana kelanjutan proyek konsultasinya di perusahaan yang disebutnya “Poker Face’. “Wah, saya sudah meninggalkan proyek tersebut”. “Hanya enam bulan bertahan di perusahaan tersebut, dan kemudian teman saya berinisiatif memutus kontraknya saja, karena menurut dia itu adalah keputusan yang terbaik. Terlalu lamban pergerakannya, “”It’s not moving,” katanya. “Dominasi ‘Poker Face’ menjadi beban perusahaan tersebut. Perusahaan dirugikan karena attitude ‘poker faces’. Setelah penugasan dilakukan pun, pada awalnya yang ditugaskan hanya mengatakan ‘ya’, namun dalam pelaksanaannya semua berjalan terlalu lamban dan birokrasi yang berlapis menghentikan segalanya. Ternyata semua persetujuan, sampai yang paling kecil pun harus kembali ke pemilik perusahaan yang notabene dalam satu tahun hanya 4 bulan berada di Indonesia. Jadi bayangkan saja bagaimana lambannya suatu inisiatif harus berjalan,” katanya sambil tersenyum. “Lebih baik waktu saya digunakan untuk membantu perusahaan lain yang benar-benar membutuhkan konsultasi saya,” lanjutnya.
“Menurut Anda, mengapa kasus eksekutif ‘Poker Face’ itu bisa terjadi?” tanya saya. Teman menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan mengapa hal itu bisa terjadi, antara lain: 1) Dominasi pemilik atau pemimpin tertinggi yang terlalu dominan. Di sini pemimpin dianggap sebagai dewa. Semua kemauan pemilik atau pemimpin tertinggi harus dilakukan, tidak ada ruang untuk menolak atau mengusulkan alternatif yang lebih baik. 2) Sistem ‘reward’ dan ‘punishment’ dalam perusahaan dikuasai hanya oleh pemilik atau pemimpin tertinggi. Di sini faktor penilaian, penghargaan, pengakuan dan remunerasi hanya bisa dilakukan oleh pemilik atau pemimpin tertinggi. Semua sistem di bawahnya semu atau kamuflase, kalau pun ada sistemnya hanya dilakukan sebagasi suatu ‘exercise’ namun hak untuk mengumumkan pemenang selalu ada di pihak pemilik atau pemimpin tertinggi. Dan sistem seperti ini sudah mendarah daging puluhan tahun dan dikenal para pelaku di perusahaan tersebut, jadi amannya ya tunggu apa kata otoritas tertinggi saja.
3) Sistem meeting atau pun pertemuan bisnis internal dilakukan dalam suasana tidak aman. Dalam organisasi modern kita mungkin mengenal bahwa meeting atau training bagi karyawan harus dilakukan dalam arena ‘aman’, artinya karyawan berhak bertanya, mengajukan keluhan bahkan usulan terbodoh sekalipun dengan aman, tanpa potensi pelecehan atau pemasungan kreativitas. Tidak demikian halnya di perusahaan tersebut, di mana setiap meeting adalah ‘arena pembantaian’. Apa yang ditampilkan harus benar dalam artian harus sesuai dengan keinginan pemilik atau pemimpin tertinggi. Di luar hal tersebut, semua dianggap salah, harus “dibunuh”. Jadi tidak heran, hal itu menjadi menakutkan dan jalan keluar yang paling aman adalah menunjukkan wajah ‘Poker Face” dalam setiap meeting atau pertemuan.
4)Yang paling parah, adalah perusahaan tidak mempunyai tujuan dan rencana kerja yang jelas. Kalaupun ada biasanya hanya pada segelintir orang di tingkatan tertinggi yang enggan/ sungkan membagikannya secara merata ke seluruh level dalam organisasi sehingga setiap orang bisa secara jelas membacanya dan bersiap memberikan kontribusinya.
Rekan pemimpin yang budiman, kejadian seperti di atas menurut teman konsultan saya tersebut banyak terjadi di perusahaan terutama perusahaan keluarga. Hal itu juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang pemiliknya kristiani. Saya yakin sebagai pemimpin kristiani hal ini harus menjadi perhatian kita bersama, bagaimana kita memperbaiki sistem kerja perusahaan-perusahaan milik Allah ini, sehingga perusahaan milik Tuhan menghasilkan yang optimum. Saya yakin pengusaha kristiani pasti bisa.v