Manusia Yang Benar, Hargai Sesama

Reformata.com DALAM Amsal 10: 21  dikatakan: Bibir orang benar menggembalakan banyak orang, tetapi orang bodoh mati karena kurang akal budi. Sementara dalam ayat 11 ditulis: Mulut orang benar adalah sumber kehidupan, tetapi mulut  orang fasik menyembunyikan kelaliman.
Ketidakbenaran yang ada pada kehidupan banyak manusia mengakibatkan kebodohan yang luar biasa. Manusia bisa saling caci dan saling bunuh atas nama agama, suku, ras atau bangsa dan atas nama yang lain. Aneh. Seharusnya manusia benar akan menjadi manusia yang menghar-gai sesamanya. Tetapi manusia menjadi bodoh karena dia berpikir mendapat kepuasan ketika bisa membunuh orang lain atas nama balas dendam atau apa pun. Amarah telah mengakibatkan kebodohan yang luar biasa. Te-tapi beruntunglah para pahlawan dan pejuang bangsa yang mencoba menegakkan kebenar-an dan keyakinan prinsipnya sekalipun mereka harus mem-bayar mahal: diciduk, dibunuh dan dibuang. Tetapi mereka menjadi korban karena kebe-naran yang mereka yakini bukan? Paling tidak  mereka tidak berdiri pada barisan pengkhianat yang merusak bangsa.
Jika kita mati, adakah kematian kita berarti, dan memberikan sebuah makna nilai yang bisa diwarisi anak-cucu? Jikalau kita mati apakah kematian kita berarti, memberikan sebuah makna? Sedih membayangkan kematian para jenderal dalam peristiwa G30S/PKI, apalagi karir mereka masih panjang. Sebagai-mana tercatat dalam sejarah, pada malam 30 September 1965 terjadi peristiwa penculikan dan pem-bantaian terhadap beberapa jenderal TNI AD. Peristiwa itu dikenal dengan istilah Gerakan 30 September (G30S).
Tetapi tidak ada mati yang cepat atau lambat di mata Tuhan. Dan ada banyak penjelasan terhadap kematian. Ada orang berumur panjang dan kita berkata dia diberkati Tuhan. Bisa benar, tetapi bisa juga tidak, mungkin dalam pengertian dia diberkati sangat limpah karena kebaikannya. Tetapi juga bisa karena Tuhan sedang menghukumnya untuk mengalami penderitaan dan kesulitan dalam hidupnya. Tetapi juga bisa, justru karena Tuhan masih memberi waktu supaya dia bertobat.
 Sebaliknya tidak ada orang yang mati terlalu cepat atau mati muda. Karena kalau mati muda pun di dalam Tuhan dan sampai ke sorga bukankah itu impian semua orang? Maka beruntunglah mereka tak perlu berlarut-larut hidup dalam dunia yang penuh kemunafikan dan penipuan ini, tak perlu melihat kepalsuan-kepal-suan. Maka orang yang mati dini bisa jadi Tuhan memanggilnya, ka-rena sudah cukup dan harus kembali ke pangkuan Bapa. Ada jutaan misteri yang bisa kita amati dari kemungkinan kematian, tetapi satu yang pasti kita tahu ketika mereka mati di dalam Tuhan, pengharapan kepada Kristus ada keselamatan.
Ada yang mati karena mencuri, tertangkap polisi dan ditembak. Ada yang diamuk massa, dibakar hidup-hidup. Sungguh kematian yang memilukan. Tetapi kita tidak tahu apa yang bisa kita pelajari dari sana.  Tetapi bila seorang mati sebagai pahlawan atas kebenaran yang dia yakini untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, betapa tinggi nilai yang mereka wariskan bagi anak cucu dan generasi muda. Karena mereka telah mengukir prestasi: kebenaran adalah pengharapan, kebenaran menciptakan masa depan sekalipun mahal.     Kebodohan memang menciptakan korban, kebodohan terus memakan korban, tetapi cepat atau lambat kebodohan dan ketidakbenaran akan terungkap kepalsuannya, tetapi kebenaran selalu ternyata dan nyata, karena tak ada orang yang bisa membantahnya. Ia bergema, sekalipun mula-mula tak terdengar karena dibekap dan ditutup, disumbat banyak orang. Tetapi cepat atau lambat ia akan keluar menampilkan sorak-sorai kemenangan yang limpah.

Belajar dari darah tertumpah
Peristiwa G30S menjadi goresan menyedihkan dalam perjalanan bangsa, tetapi apakah bangsa ini belajar dari darah yang tertumpah? Teringat akan pengorbanan para pahlawan ketika melihat Lubang Buaya, apakah kita hidup mengabdikan diri dan membangun kebanggaan dan keberhasilan bagi bangsa, atau sebaliknya? Orang bodoh tentu tak mampu menghargai kematian yang berarti itu. Jika kita yang masih hidup tak mempelajari sejarah, kebebalan dan kebodohan justru mewarnai generasi, sehingga kita mengulang kesalahan demi kesalahan, kepahitan demi kepahitan, lobang demi lobang. Bangsa yang tak belajar dari sejarah akan menjadi bangsa yang payah, habis dalam kehidupannya sendiri, tidak punya nilai apa-apa. Karena itu bangsa ini harus belajar dari sejarah, belajar mewarisi warisan yang diberikan para pejuang dan pahlawan bangsa.      Saudara, kepahitan dan kepedihan akan mewarnai hari-hari kita, tetapi kemenangan besama Tuhan menjadi gegap gempita pujian kita, asal kebenaran itu hidup dalam kita. Biarlah kita tetap menatap, di dalam kedukaan rasa ada kesukaan karena bangga orang yang kita cinta menggores sejarah dalam hidupnya. Mereka telah mati, tetapi mati yang berarti.
Bagaimana dengan kita generasi yang masih hidup, apakah juga kelak mati dengan berarti, yang menimbulkan atau menanamkan makna mendalam? Kita yang masih hidup apakah akan menjadi orang-orang bodoh yang tak mampu meng-hargai kematian yang berarti se-hingga kita men-ciptakan kebodohan dan kebebalan? Ini per-tanyaan penting yang perlu kita pikirkan dan renungkan supaya tidak terjebak dalam perangkap kebodohan yang menciptakan malapetaka dalam kehidupan. Tetapi sebaliknya, oleh karena kasih dan pertolongan Tuhan, kita membangun kebenaran menjadi sebuah kesaksian untuk kebe-saran nama Tuhan.    
Saudara, hiduplah dalam kesungguhan kebenaran itu sendiri, jadilah seperti yang Tuhan kehendaki supaya kita bisa melakukan ketetapan-ketetapan-Nya, sehingga dalam hidup kita nama-Nya dipermuliakan. Akhirnya jangan biarkan kenangan G30 S itu lalu begitu saja, lihat dirimu, bermaknakah sebagai anak bangsa. Ukirlah prestasi supaya mati menjadi berarti bagi Tuhan kita, yang pertama, gereja, keluarga, dan bangsa.v
(Diringkas dari kaset khotbah oleh Hans P Tan)

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *