Jangan Salah Pilih Pasangan

Pdt. Bigman Sirait

Bapak Pengasuh yang kami hormati, saya  ingin bertanya dan mungkin Pak Pendeta yang paling pas menjawabnya: 1) Apakah dosa jika orang Kristen bercerai, dengan istri  sering dianiaya suami, dan karena berzinah?
Di Akitab dikatakan “tidak ada yang dapat memisahkan suami-istri kecuali kematian”,  dan di firman yang lain dikatakan “Tuhan tidak menghendaki perceraian”. Ada banyak alasan suami-istri untuk bercerai seperti: suami selalu menyiksa istri, suami tidak memberi nafkah, dan lain-lain sehingga tidak ada damai sejahtera. 2) Bagaimana menurut Bapak? Apakah seorang istri harus tetap bertahan ketika suaminya terus menyiksa dan tidak  memberi nafkah?   Apa yang harus dilakukan dalam menyingkapi persoalan seperti ini?          
Pasaribu 
pasaribu3d@gmail.com

Reformata.com – PERTANYAAN menarik, dengan jawaban yang sudah pasti beraneka ragam. Untuk perceraian tidak semua pendeta satu kata. Boleh atau tidak, hingga alasan-alasannya. Saya peribadi terus menggumuli hal ini dan tetap berusaha memahami apa yang menjadi kehendak Allah, namun di sisi yang lain juga belajar untuk mengerti apa yang sedang terjadi dalam realita kehidupan manusia.
Pasaribu yang dikasihi Tuhan, Alkitab berkata: Apa yang telah dipersatukan Allah (pernikahan pria dan wanita), tidak boleh dipisahkan oleh manusia (Matius 19: 6). Jelas di sana dikatakan konsep pernikahan kristiani, yaitu: dirancang oleh Allah untuk dijalani oleh manusia. Ini menjadi dasar kehidupan pernikahan Kristen, yaitu harus berjalan sesuai apa yang menjadi peraturan atau ketetapan Allah sendiri. Jadi pernikahan kristiani itu sakral, dan harus bersifat “kekal” (tidak terpisahkan kecuali oleh maut).
Bagaimana dengan perjinahan sebagaimana dikatakan Yesus sendiri pada Matius 19: 9: “Barangsiapa menceraikan istrinya kecuali zinah, dia berbuat zinah”. Sehingga ini menimbulkan komentar pada murid murid-Nya sendiri, betapa beratnya pernikahan itu. Mengapa? Karena pada waktu itu manusia hidup dalam kedegilan, sehingga hukum kawin-cerai berlangsung umum, termasuk poligami (Matius 19: 8). Dan pada waktu itu juga berlaku hukum rajam bagi pezinah (Imamat 20: 10). Jadi, kita harus membaca kalimat Yesus dengan jelas sesuai konteks waktu itu, bercerai karena zinah sama saja dengan bercerai karena mati (ingat berzinah, berarti hukum mati). Artinya perkataan Yesus tentang alasan perceraian sangat konsisten, dan itulah yang menimbulkan reaksi hebat para murid yang sangat mengerti konsekuensi zinah pada waktu itu.     Konteks kita sekarang memang sangat berbeda, itu harus dipahami. Ada hal yang menguatkan fakta ini, yaitu, kisah tentang Nabi Hosea yang disuruh menikahi pelacur sebagi simbol, Allah sebagai mempelai pria menikahi Israel sebagai pelacur. Israel memang berzinah dengan berhala. Tapi lihatlah kasih Allah yang mengampuni dan menerima Israel, sehingga ada bagian Israel yang diselamatkan. Jika tidak, sudah pasti Israel terhapus dari muka bumi ini. Bukankah semangat yang sama seharusnya juga hidup pada tiap pasangan Kristen. Saling mengasihi, saling mengampuni untuk saling melayani?
Ah, betapa indahnya kehidupan keluarga Kristen, inilah yang seharusnya kita sadari sebagai panggilan untuk bersaksi, menjadi garam dan terang dunia ini. Tak ada alasan untuk melawan ini. Jadi tidak ada alasan untuk sebuah perceraian kecuali oleh kematian. Sekarang mari kita lihat realita kehidupan manusia di dalam dunia ini. Adalah fakta perzinahan yang dilakukan pasangan bahkan menjadi hobbi yang menyakitkan. Tidak mendidik, dan bisa membahayakan anak-anak. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti penyiksaan, baik dengan kata-kata, tekanan psikologis, ekonomi, atau pukulan yang bisa membahayakan keselamatan.     Betapa beratnya semua kenyataan ini. Tapi apakah perceraian menjadi jaminan perbaikan? Ini sebuah pertanyaan serius. Mari kita pikirkan secara tenang. Kalau untuk mengatasi semua hal ini pasangan boleh bercerai, maka, bukankah itu berarti pertempuran terhenti tanpa ada pemenangnya (menjadi kesaksian hidup, menang bersama Yesus). Lalu apa artinya percaya pada pemeliharaan Tuhan, jika keputusan bersifat sepihak yaitu saya, namun mengabaikan kehendak Yesus untuk sangkal diri dan pikul salib sebagaimana yang dituntut-Nya atas pengikut-Nya. Mari kita urut perlahan-lahan.
Pertama, yang memilih pasangan kita adalah keputusan kita, maka menurut hemat saya sebagai orang dewasa sudah seharusnya kita bertanggung jawab atas pilihan kita. Itu sebab pernikahan hanya untuk orang dewasa yang bisa memilih dengan tepat. Kesalahan pilih (menikah) harus kita tebus dengan memperbaikinya, bukan membubarkannya (bercerai).
Kedua, kalaupun kesalahan sudah terjadi, itu tidak berarti perceraian adalah pilihan satu-satunya bukan? Pisah sementara dimungkinkan oleh Alkitab, sebagaimana dianjurkan oleh Paulus terhadap keluarga bermasalah (1 Korintus 7: 5). Tujuannya adalah untuk menenangkan diri, sehingga keduanya menjadi tenang dan menyadari kesalahan yang ada dan berani memperbaiki. Di sini dibutuhkan peran konselor sebagai pendamping bagi keduannya. Banyak persoalan bisa diselesaikan. Pada umumnya yang tidak terselesaikan adalah kesalahan sejak awal. Di sinilah kita sebagai orang percaya tidak rela bertanggung jawab atas pilihan yang kita buat. Ada orang berkata “saya tidak kuat, pasangan saya tidak takut Tuhan, selalu menganiaya, saya mau cerai”. Padahal seharusnya kalimat yang diucapkan seorang Kristen yang baik adalah, “Tuhan aku salah memilih orang tidak takut pada-Mu, ampuni aku, kuatkan aku untuk memperbaiki rumah tanggaku”. Dan tentu saja, dia juga akan berkata, “sadarkan suamiku, jadikan aku alat-Mu untuk membawanya mengenal-Mu ya Tuhan”. Inilah kehidupan kristiani yang bertanggung jawab.
Ketiga, ada situasi di mana istri harus memainkan peran ekstra, yaitu berjibaku untuk anak-anaknya ketika suami tidak menunjukkan tanggungjawabnya tentang ekonomi. Istri tak perlu menggugat cerai, tetapi menjadi alat bukti dengan kerja baktinya untuk anak-anak. Saya melihat banyak istri berhasil dalam hal ini dan sangat direspek oleh anak-anaknya. Yang lebih mengagumkan saya, si istri tidak pernah mengajarkan pada anak-anak untuk membenci ayah mereka, bahkan sebaliknya. Betapa hebatnya dia, dia telah menjadi sebuah kesaksian yang hebat, lebih hebat dari khotbah kebanyakan pendeta yang hanya mampu berteori tetapi tidak menjalani.
Dan terakhir patut direnungkan, persoalan hidup memang sangat hebat, tetapi apakah Tuhan kurang hebat atas persoalan kita, atau kita yang kurang hebat percaya dan menjalani perintah-Nya. Bukankah Alkitab berkata: “Tidak ada pencobaan yang melebihi batas kemampuan kita?” (1 Korintus 10: 13). 
Jadi, Pasaribu yang dikasihi Tuhan, jawaban ada tersedia, tinggal keberanian kita untuk melakoninya. Tak mudah tetapi bukan tak mungkin. Selamat belajar taat dan tegar melewati badai kehidupan ini. Tuhan memberkati.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *