Ardo Ryan Dwitanto*
BELUM lama ini, kita telah mendengar keberhasilan dari tim pendaki gunung Indonesia mencapai puncak tertinggi di Afrika, yaitu Puncak Kilimanjaro atau Uhuru (5.895 meter) di Tanzania. Mereka mempunyai misi untuk mencapai tujuh puncak tertinggi dunia. Puncak Uhuru merupakan puncak tertinggi kedua yang mereka capai setelah Ndugu-Ndugu atau Carstensz Pyramid (4.884 meter)di Papua, Indonesia.
Seperti yang dikutip dari laporan Ambrousius Harto di Kompas (3/8/2010), perjalanan mereka menuju puncak tidaklah mudah. Mereka harus bergumul dengan suhu udara yang sangat dingin, curamnya medan pendakian, dan tipisnya oksigen. Semakin mereka mendekati puncak, suhu udara semakin dingin dan angin yang kencang. Ketika mereka sampai di puncak, suhu udaranya mencapai minus 7 derajat Celcius dan angin yang kencang membuat mereka makin kedinginan. Bahkan, salah satu pendaki, Gina Afriani, harus berhenti mendaki sekitar 600 meter sebelum puncak dan kembali ke tempat aman karena terserang penyakit gunung dan hipotermia. Namun, dua hari kemudian, dia kembali bangkit dan meneruskan pendakian dan akhirnya mencapai puncak Uhuru.
Ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita petik dari prestasi tim pendaki gunung ini dan dapat bermanfaat untuk menolong kita dalam mengarungi kehidupan ini. Pertama, mereka menetapkan sasaran yang lebih sulit. Kedua, mereka pantang menyerah. Ketiga, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.
Sasaran yang semakin sulit
Puncak Uhuru seribu meter lebih tinggi dibandingkan dengan puncak yang mereka capai sebelumnya, yaitu Puncak Ndugu-Ndugu. Sasaran yang semakin sulit pastilah mempunyai kendala-kendala yang lebih sulit. Kendala yang lebih sulit menuntut pengorbanan yang semakin besar. Memang pen-capaian yang lebih tinggi dapat merupakan suatu ambisi yang ditimbulkan oleh sikap hati “tidak pernah puas”, namun pencapaian yang lebih tinggi merupakan proses menuju kedewasaan yang penuh.
Pencapaian sasaran yang lebih tinggi merupakan suatu perubahan yang besar. Sasaran yang lebih tinggi akan membawa kita kepada tingkat yang lebih tinggi dan tentunya juga kepada pengalaman-pengalaman yang baru dan lebih menggairahkan, serta membuat kita menjadi lebih bijak. Kedengarannya menarik, bukan? Namun, hal ini tidak dapat diterima semudah itu.
John. C. Maxwell mengidenti-fikasikan alasan-alasan mengapa orang enggan untuk berubah. Menurut Maxwell, perubahan dapat dipahami orang sebagai hal yang dapat menuntut perubahan kebiasaan, menimbulkan masalah-masalah baru, menimbulkan rasa takut kegagalan, dan membuatnya keluar dari “zona kenyamanan”-nya.
Alasan-alasan tersebut pasti terlintas dalam pikiran ketika kita hendak berubah: memper-timbangkan untuk sasaran yang lebih tinggi. Sayangnya, banyak orang akhirnya menerima alasan-alasan tersebut dan tetap berada di “zona kenyamanan” sambil berpikir bahwa mereka sedang menikmati hidup.
Hidup akan terasa nikmat jika ada pertumbuhan di dalamnya. Justru dengan puas berada di “zona nyaman”, akan membuat hidup tidak bergairah dan terasa hampa. Jika kita membeli tanaman kecil dan merawatnya supaya bertumbuh, dan setelah berhari-hari, tanaman itu tidak tumbuh, tetap kecil, apakah kita melihatnya sebagai sesuatu yang hidup? Tentu tidak! Lebih baik tanaman itu dibuang.
Pantang Menyerah
Kondisi medan pendakian berupa padang pasir dan berbatu, tingkat kemiringan medan pendakian lebih dari 45 derajat, suhu dingin hingga minus 7 derajat Celcius, dan angin yang kencang adalah tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh tim pendaki. Semakin mereka mendekati puncak, angin semakin keras, semakin dingin, dan semakin curam pen-dakiannya. Dengan kata lain, se-makin mendekati sasaran/tujuan, tantangan semakin hebat.
Ketika kita mengalami tan-tangan-tantangan yang semakin hebat, mungkin terlintas keraguan di hati kita apakah kita hendak terus atau berhenti. Mungkin berhenti kedengaran lebih masuk akal ketika itu. Namun, jika kita terus, kita membutuhkan kemauan yang kuat untuk maju.
Ada prinsip yang dapat teruji kebenarannya, yaitu jika tantangan untuk mencapai suatu tujuan semakin berat, maka tujuan tersebut layak untuk diraih. Mencapai puncak dengan cara demikian akan membentuk kita menjadi pribadi yang tangguh.
Kegagalan, kesuksesan yang tertunda
Sikap yang pantang menyerah tidak hanya diperlihatkan oleh tim pendaki yang berhasil mencapai puncak, namun juga diper-lihatkan oleh Gina Afriani. Gina bukan saja berhenti mendaki, tetapi juga kembali ke tingkat yang lebih rendah lagi untuk memulihkan dirinya dari penyakit gunung. Namun, setelah dua hari Gina bangkit dan kembali kepada titik di mana dia berhenti dan melanjutkannya hingga ke Puncak.
Kita akan mengalami keadaan seperti yang dialami oleh Gina Afriani. Di satu titik dalam kehidupan, kita berhenti untuk retret memulihkan fisik, mental, dan rohani kita untuk kembali bangkit dan meneruskan kembali perjalanan hidup kita menuju tujuan. Kegagalan bukanlah isu utamanya, melainkan bagaimana kita dapat bangkit dari kegagalan tersebut adalah isu utamanya.v
*Dosen Tetap UPH Business School