Pdt. Bigman Sirait
Reformata.com – PERCAYA atau tidak, kebanyakan orang tidak sadar diri, dan akhirnya tidak tahu diri. Orang seperti ini selalu gagal menempatkan diri dengan tepat, bahkan seringkali menjadi titik masalah. Lihat saja perilaku orang miskin yang sombong. Atau sebaliknya, orang kaya yang kehilangan percaya diri sehingga selalu bersikap aneh. Belum lagi berbagai sikap yang menjeng-kelkan, yang muncul sebagai bentuk kompensasi.
Manusia seringkali berperilaku aneh, tak menyadari hakekat diri, dan akibatnya tak pernah mampu mengenal dirinya sendiri. Seringkali orang lain menilai dirinya lebih tepat, daripada dia sendiri menilai dirinya. Ironis, tetapi itulah kenyataannya. Realita itu tidak melulu soal psikologis, tetapi juga teologis. Ya, masalah ketika seseorang tidak menyadari, dan tidak mampu menempatkan dirinya secara tepat di hadapan Tuhan. Ada yang merasa tidak pernah layak, sehingga tidak pernah mau melayani Tuhan, dalam hal apa pun. Sebaliknya ada yang merasa sangat layak, sehingga cenderung tak santun dalam menghadap Tuhan yang terasa dalam bunyi doanya. Lagi-lagi ironis, karena ranah agama ternyata penuh dengan polusi tidak sadar diri.
Tulisan ini tak hendak merambah arena psikolis dengan berbagai teorinya, melainkan menjelajah areal teologis yang jarang tersentuh. Harus diakui bahwa jauh lebih mudah menemukan tulisan tentang kondisi psikis manusia yang tak kenal diri dengan baik dalam perspektif psikologi. Sementara dalam perspektif teologis lebih banyak mendiskusikan keunggulan keimanan, namun kurang menyentuh areal kepongahan dalam keberimanan itu. Adalah Petrus yang terbilang murid utama dalam pelayanan Yesus, yang menyadari dirinya, sehingga dengan tepat dia menempatkan diri di hadapan Tuhannya. Dalam Lukas 5: 1-11, dikisahkan pertemuan Petrus dengan Tuhan Yesus. Bermula dari kegagalan mereka menangkap ikan setelah berusaha semalaman, pertemuan dengan Tuhan Yesus menyadarkan Patrus dengan siapa dia berhadapan. Perintah Yesus untuk bertolak ke tempat yang dalam, di waktu hari semakin siang, guna menangkap ikan, sungguh tak lazim. Malam adalah waktu terbaik, dan mereka telah gagal. Siang hari sungguh tak bisa dipahami, jika berharap mereka akan menda-patkan ikan. Namun karena perintah Sang Guru, didasari rasa hormat terhadap seorang Rabbi, Petrus memenuhi permintaan Yesus. Kejutan besar terjadi, jala mereka penuh dengan ikan, bahkan hampir koyak. Sebuah peristiwa besar bagi Petrus. Yang menarik, Petrus tak tengelam dalam keasyikan mendapatkan hasil yang besar setelah semalaman gagal. Petrus langsung tersadar dengan Siapa dia berurusan.
Tersungkur di depan Tuhan Yesus sebagai wujud hormat sangatlah tepat. Petrus sadar, sesadar-sadarnya, bahwa dia berhadapan dengan Guru Agung, dan Petrus tahu bagaimana menempatkan dirinya, yaitu tersungkur hormat. Bukan saja menghormat kepada Tuhan Yesus, Petrus juga merasa tak layak, dia merasa diri sebagai pendosa. Sebuah pengenalan diri yang sangat baik, dan pengenalan Tuhan yang sangat tepat. Dalam perjalanan pelayanannya, Petrus memang pernah menyangkal Tuhan Yesus, ketika Yesus menjalani salib. Petrus tergoncang hebat dan kehilangan jati diri. Tapi itu tak berlangsng lama, dia kembali menemukan diri yang terhilang, dan kembali ke jalan Tuhan.
Menutup perjalanan hidupnya, tradisi gereja menceritakan Petrus yang mati disalibkan dengan kepala ke bawah, dan kaki ke atas. Petrus tak menyesal, bahkan berkata, bahwa dia tidak layak mati seperti itu. Petrus mengingat gurunya, Tuhannya, yang mati tersalib untuk dirinya. Dia sadar diri, dan sangat tahu diri. Kisah Petrus sungguh sebuah kemenangan dalam pengenalan diri. Semangat Kristen mengajarkan ajaran Yesus Kristus, agar dalam memohon apapun, hendaklah mengembalikan seluruh permo-honan doa ke dalam kedaulatan Allah. Bukan kehendakku kehen-dakMulah ya Bapa yang terjadi.
Ini adalah citra diri seorang kristiani. Di sini pula berakar seluruh integritas orang percaya. Dengan integritas seperti ini setiap orang Kristen tahu diri, mengenal diri dengan baik, dan tahu menempatkan dirinya seturut panggilan hidupnya. Betapa terbaliknya situasi kekinian umat kristiani. Dengan mudahnya kita akan menemukan orang Kristen yang berdoa dengan sikap seakan memerintah Allah untuk melakukan apa yang diinginkannya. Dengan dalih iman mereka memohon dengan keyakinan penuh tanpa harus bertanya apa yang sesungguhnya Tuhan inginkan. Yang ada, adalah apa yang dinginkan umat. Bahkan doa yang menyebut bukan kehendakku tetapi kehendakmulah yang jadi, dipandang sebagai doa yang kurang beriman. Power of mind, positive thinking, telah menjadi sugesti kuat menggantikan iman. Semua tentang Anda, apa yang Anda inginkan, apa yang Anda percaya, Tuhan akan melakukannya. Jangan takut meminta, mintalah karena Tuhan akan memberi. Semua kalimat ini menjadi dasar y”mintalah kepadamu akan diberi”, jelas di sana, dalam perikop lengkapnya, bahwa ada orang yang meminta, memperoleh tetapi ditolak Tuhan di surga mulia (Mat 7: 21-23). Karena ternyata yang menjadi poin utama dalam konteks itu adalah bagaimana hidup sesuai kehendak Allah. Pohon dikenal dari buahnya, kata Alkitab.
Pemerkosaan terhadap ayat ayat Alkitab yang dilepaskan dari kon-teksnya, telah menjadi trend penyesatan masa kini. Manusia kini berlaku sebagai power yang mengendalikan kehidupan ini, dengan meminta Tuhan melakukan apa yang mereka inginkan. Tak lagi pernah bertanya apa yang sesung-guhnya Tuhan inginkan untuk mereka lakukan. Hidup terus bergulir, umat Kristen tergerus dengan berbagai pola pikir dan semangat jaman yang menodai kemurnian iman Kristen. Terjadi sinkretisme yang sangat deras (pencampuran keyakinan atau pemahaman lain, dengan iman Kristen, sehingga melahirkan paham yang melenceng dari ajaran Alkitab yang sesungguhnya).
Orang Kristen tak lagi tahu diri di hadapan Tuhannya. Kok Tuhan diatur oleh doa umat? Seberapa hebatnya iman umat sehingga bisa menggerakkan Tuhan yang maha-hebat. Karena jika Tuhan sampai tergerak dan berubah pikir karena doa seseorang, itu hanya menun-jukkan betapa Tuhan tergantung pada kekuatan doa manusia. Tuhan tak lagi indipenden, tidak lagi mahakuasa, atau mahasempurna, karena dia bisa berubah. Apa yang dikatakan Alkitab bahwa Tuhan tidak berubah dulu sekarang sampai selamanya, ternyata berubah di titik tertentu, tergantung iman umat waktu berdoa.
Ah, sebuah ironi dari gambaran Tuhan yang inkosisten. Umat kristiani banyak yang telah ternoda oleh polusi keyakinan lain, yang yakin semuanya tergantung sikap kita, persembahan kita, ritual kita. Padahal Alkitab mengajarkan tentang kedaulatan Allah, kemurahan Allah dalam memberi. Bahkan Yesus Kristus sendiri mengajarkan kita mengembalikan seluruh permohonan kepada ketetapan kehendak Allah yang tak tersentuh manusia. Berintegritas dalam beriman, membutuhkan kesadaran diri yang penuh di hadapan Tuhan. Sadar diri, tahu menempatkan diri sebagai pemohon bukan pengatur. Mengenal siapa Allah dengan benar menjadi tuntutan yang tak bisa diabaikan. Banyaknya kesalahan yang muncul, terutama disebabkan oleh ketidaktahuan yang utuh akan hakekat Allah, tetapi sudah terlalu banyak bicara, bahkan mengajar. Patutlah Yakobus memperingatkan agar tak semua orang ingin menjadi guru, karena guru akan dituntut lebih berat. Tapi tampaknya, lagi lagi soal ini pun banyak orang yang berbicara tidak memahaminya.
Petrus tahu betul siapa dirinya hingga kesudahan hidupnya. Dia tak pernah merasa hebat, bahkan tak layak di hadapan Tuhannya, termasuk ketika mati tersalib. Petrus tak pernah pusing dengan kehidupannya dengan memperkaya diri, tetapi sebaliknya mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Ah, lagi lagi beda sekali dengan masa kini. Yang menjadi pertanyaan, sudahkan anda sadar diri, mengenal diri, dan tahu menempatkan diri di hadapanNYA. Sebuah perenungan penting. Semoga Anda dan saya menemukan jawaban yang benar benar, benar. Bukan sekadar merasa benar. v