Kamus Wikipedia menjelaskan bahwa otoritas berasal dari bahasa Latin ‘auctoritas’ yang berarti kreasi, nasihat, pikiran, pengaruh atau pun perintah. Secara esensi otoritas dilakukan oleh pihak yang lebih tinggi (atasan) kepada pihak bawahan. Selanjutnya secara ilmu manajemen dikatakan sebagai pemberian otoritas secara formal dan sah kepada seorang manajer proyek untuk bertindak atas nama seorang ‘sponsor executive’ (atasan) mewakili organisasi.
Dalam Alkitab kita membaca misalnya dalam Matius 10 : 1 sbb: “Yesus memanggil keduabelas murid-Nya dan memberi kuasa ke-pada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan”. Selanjutnya juga dikatakan dalam Lukas 10 : 19 – 20 sbb: “ Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang memba-hayakan kamu. Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga”.
Dari ayat-ayat di atas kita melihat bahwa otoritas dan kuasa yang Tuhan Yesus berikan kepada murid-murid-Nya merupakan otoritas dan kuasa dari surga. Jadi otoritas dan kuasa tersebut datangnya dari Allah, oleh sebab itu harus dipergunakan sebaik-baiknya demi kemuliaan nama Allah. Bahkan ayat tersebut juga mengajar kepada kita bahwa walaupun kemudian karena otoritas dan kuasa yang diberikan tersebut kita mampu mengusir roh-roh jahat, maka kita tidak perlu bangga dan bergembira karena sudah menaklukkan roh-roh tersebut. Tetapi kita harus bergembira karena nama kita sudah tercatat di surga.
Bagaimanakah manifestasi penerimaan otoritas dan kuasa di dunia usaha saat ini?
Dalam dunia usaha dan pekerjaan, otoritas banyak dipahami sebagai sebuah kekuasaan yang dimiliki seseorang atas diri orang lain/pihak lain. Dengan otoritas yang diperoleh seseorang maka biasanya kekuasaan mutlak menjadi milik orang tersebut. Kekuasaan itu melingkupi kekuasaan untuk mengatur, mengawasi dan memutuskan sesuatu. Maka, dengan kekuasaan dan otoritas yang demikian besar, apabila otoritas tersebut tidak diberikan kepada orang-orang yang tepat, maka otoritas tersebut tidak akan berguna untuk membangun sebuah sistem yang baik, malahan akan menghancurkan sistem yang ada dan menciptakan suatu penjajahan baru manusia atas manusia lainnya. Hal tersebut biasanya dikenal dengan istilah otoriter atau kekuasaan yang semena-mena.
Pada mulanya otoritas yang dimaksudkan untuk dipergunakan secara baik, untuk tujuan terbaik bagi banyak orang, namun kalau otoritas tersebut jatuh ketangan orang yang tidak tepat maka akan menciptakan kekacauan baru. Kita bisa melihat praktek-praktek tangan besi yang sudah terjadi di banyak pemerintahan dunia atau pun dalam perusahaan-perusahaan di dunia. Dalam konteks sejarah misalnya kita lihat pemerintahan Hitler, Mussolini atau pun junta militer Myanmar yang mempergunakan otoritas mereka sebagai alat kekuasaan. Dalam konteks perusahaan, kita mungkin sudah terlalu sering membaca, mendengar atau pun melihat sendiri perusahaan-perusahaan yang didemo karyawannya karena praktek otoriter manajemen perusahaan-perusahaan tersebut. Terkadang protes-protes tersebut berakibat kerusuhan besar yang perlu penanganan serius untuk mengatasinya seperti yang terjadi baru-baru ini di Pulau Batam di mana tindakan supervisor asing yang semena-mena mengakibat-kan kerusuhan dan korban yang besar.
Seorang rekan yang sedang bersama-sama berolahraga dengan saya menceritakan pengalaman-nya sewaktu bekerja di sebuah bank. ”Saya diminta memproses dan menyetujui kredit fiktif yang tidak jelas untuk apa peng-gunaannya,” ceritanya. ”Se-waktu saya menolak, atasan saya mengatakan bahwa saya tidak bisa berkerja di bank dengan sikap saya yang seperti itu. Bahkan saya terancam dipindahtugaskan ke kota lain yang lebih me-merlukan keahlian saya, sebagai alasan untuk menyingkirkan saya yang dianggap tidak kooperatif”. ”Pilihannya saya harus mem-proses kredit tersebut dan menyetujuinya atau dipindahkan ke kota lain”. ”Itu adalah bentuk penyalahgunaan otoritas menjadi otoriter,” lanjutnya. ”Namun, saya memilih untuk keluar dari perusahaan tersebut daripada harus melakukan hal-hal yang tidak benar dan tidak sesuai dengan nurani saya. Setelah saya keluar, proses kredit tersebut disetujui oleh pengganti saya dan kemudian macet,” sambung rekan saya tadi.
Rekan pemimpin dan pengu-saha Kristen yang budiman, kejadian seperti di atas bukan tidak mungkin terjadi di perusahaan-perusahaan yang notabene dikelola pemimpin-pemimpin Kristen. Banyak cerita-cerita ”horor” yang diceritakan pleh pekerja-pekerja kristiani dalam ’sharing session’ dengan saya. Bahwa bos kristiani mereka tidak ’walk the talk’ sesuai dengan iman kristiani mereka, namun bahkan berlaku lebih parah. Seringkali otoritas yang dimiliki mereka digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi para pemimpin. Sikap ”Saya orang nomor satu dan saya berhak melakukan apa saja dengan otoritas saya. Anda harus mengikuti atau Anda keluar dari perusahaan ini ” menjadi hal yang lumrah.
Rekan pemimpin, mungkin ada baiknya kita menyimak lagi dari beberapa ayat-ayat di atas sewaktu Tuhan Yesus Kristus memberikan ’otoritas’ dan ’kuasa’ kepada murid-murid-Nya. Kita tahu bahwa ’otoritas’ dan ’kuasa’ tersebut diberikan untuk satu tujuan mulia yaitu membagikan kasih Kristus, memberikan kabar baik bagi seluruh dunia sebagai kesatuan karya keselamatan bagi seluruh umat manusia. Dengan menyelami tujuan yang jelas dari otoritas dan kuasa yang kita terima akan memudahkan kita sebagai pemimpin kristiani untuk memahami bagaimana kita harus mempergunakan setiap otoritas dan kuasa yang kita terima. Saya yakin, pengusaha dan pemimpin kristiani pasti bisa menerima otoritas dan tanpa harus menjadi otoriter.v
Founder: Lilis Setyayanti
Co-founders: Jimmy Masrin, Harry Puspito
Moderator: Raymond Lukas
Trisewu Ambassador: Kenny Wirya
Untuk pertanyaan, silakan kirim e-mail ke: seminar@trisewuleadership.com. Kami akan menjawab pertanyaan Anda melalui tulisan/artikel di edisi selanjutnya. Mohon maaf, kami tidak menjawab e-mail satu-persatu.”