Ego Yang Besar Part 1

Kalau Allah memiliki EGO yang besar wajar karena didukung natur-Nya, Dia adalah Allah dengan segala atribut besar-Nya. Allah adalah yang memiliki dan memerintah seluruh alam semesta, bahkan surga yang kekal. Dia yang mengasihi, menyelamatkan manusia dari kematian, dan menyediakan hidup kekal di surga yang mulia. Oleh karena itu melalui ciptaan dan umat-Nya, Dia mau nama-Nya dimuliakan. Dia memerintahkan agar apa saja yang dibuat oleh orang percaya adalah untuk memuliakan Dia (1 Korintus 10:31).

Namun siapakah manusia sehingga mereka juga mau memiliki ego yang besar? Manusia adalah ciptaan Allah, dibuat dari debu. Allah juga menciptakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Memang manusia dicipta sesuai dengan gambar Allah (Kejadian 1:27), namun manusia tidak bisa membandingkan dirinya dengan Allah, Sang Penciptanya, yang keberadaan-Nya dari kekal ke kekal. Manusia diciptakan untuk mengenal Sang Pencipta, hidup dalam relasi dengan Dia, dan taat kepada segalah perintah-Nya.

Kehendak bebas yang dianugerahkan kepada manusia pertama telah menjadi masalah bagi Adam, manusia pertama, yang adalah representasi umat manusia di hadapan Tuhan. Memang Hawa yang makan buah pengetahuan yang baik dan jahat pertama, namun itu dia lakukan dengan kehadiran sang suami, karena mereka ingin menjadi seperti Allah (Kejadian 3:5-6). Alkitab mencatat hukuman yang dijatuhkan kepada manusia: kematian- keterpisahan dengan Allah, dengan sesama, dengan diri dan dengan alam.

Dalam dosa manusia hidup dengan egonya. Dalam bahasa Yunani 'ego' berarti saya, yang dipakai oleh Tuhan, seperti dalam Yohanes 8:24 – "Karena itu tadi Aku berkata kepadamu, bahwa kamu akan mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu." 'Akulah Dia' dalam bahasa Latin adalah 'ego eimi.' Dan ayat ini menyatakan kita akan mendapatkan kehidupan kalau kita percaya Yesus sebagaimana siapa Dia adanya, yaitu Tuhan, walau pun memperkenalkan diri dalam rupa manusia. Namun 'ego eimi' juga digunakan oleh manusia untuk menyatakan diri mereka, seperti digunakan oleh Petrus pada KPR 10:21 dan oleh Paulus pada KPR 26:29.

Jika demikian Alkitab tampak memandang 'ego' sebagai 'saya' yang netral saja dan obyektif sesuai dengan siapa penggunanya. Namun karena dosa yang merasuk dunia dan manusia, maka ego telah jatuh di dalamnya, dan kehilangan kemuliaan-Nya. Karena dosa ego manusia cenderung membesar, seperti Adam dan Hawa, yang sebenarnya manusia tapi ingin menjadi allah bagi dirinya, juga bagi orang lain, ciptaan, bahkan menjadi allah bagi Allah. Bukankah kita sering memerintahkan Allah melakukan apa yang kita mau, daripada melakukan apa Allah kehendaki? Kita menekan Allah melalui doa kita, agar Dia menyediakan berkat, harta, nama, dan kekuasaan yang kita inginkan.

Manusia mengganti tempat Allah itu dengan 'berhala' apakah itu patung yang mereka sembah, atau dengan berhala-berhala modern seperti pekerjaan, bisnis, posisi, kekuasaan, keluarga, kemakmuran, dsb lebih tinggi dari posisi Allah dalam ego mereka. Dan apa artinya menjadikan seseorang menjadi 'allah' mereka? Ini berarti menggantikan fungsi Allah sesungguhnya yaitu sebagai obyek penyembahan dan mengharap sebagai yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, sebagai sumber otoritas atas hidup mereka, sumber hikmat, yang memberi nilai diri mereka serta menjadi audien kehidupan mereka sehari-hari dan pengharapan mereka.

Di luar Allah yang besar, ego manusia cenderung besar, lebih besar dari yang seharusnya. Ketika ini terjadi, maka segera situasi ini merusak hubungan manusia dengan Allah. Tidak heran salah satu dosa yang paling dibenci Allah adalah kesombongan manusia (misal, Amsal 6:6-19), yaitu perasaan angkuh, melihat orang lain lebih rendah, bangga dengan dirinya – dengan penampilan, ketrampilan, hikmat dsb yang dia miliki; tidak menyadari semua adalah pemberian Allah.

Yesus juga menggambarkan perilaku orang demikian seperti pada orang-orang Faris dan pemimpin agama pada jaman-Nya. Cercaan Yesus kepada mereka yang paling keras adalah hidup yang munafik, hidup yang berpusat pada pembesaran ego di mata orang lain. Orang-orang demikian melakukan perbuatan-perbuatan religius mereka – bersedekah, berdoa dan berpuasa, bahkan untuk mendapatkan pemuasan ego dari pujian orang (Matius 6); bukan sungguh-sungguh untuk menyenangkan hati Allah. Kalau perlu mereka menggunakan standar ganda, artinya hukum berlaku untuk orang lain, tapi tidak untuk mereka (Lukas 14:2-6). Mereka bekerja hanya untuk kepentingan sendiri (Lukas 14:12-14), tidak memikirkan kepentingan orang lain; bahkan kalau perlu menindas orang yang tidak berdaya.

Tidak heran Alkitab menyatakan: "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (Yakobus 4:6). Sebaliknya Alkitab sangat mengutamakan kerendahan hati. Yesus sendiri menjadi model manusia dengan salah satu keutamaan-Nya adalah kerendahan hati-Nya (Lihat Filipi 2:1-11). Bagaimana dengan ego saudara dan saya? BERSAMBUNG.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *