Pdt. Bigman Sirait
Reformata Tabloid – MENGAWASI diri sendiri? Sebuah kegiatan yang tidak populis. Kita terlatih untuk mengawasi orang lain, bukan diri sendiri.
Lihatlah betapa pengamat terus muncul menjamur tanpa solusi yang mencerahkan. Sementara mereka yang diamati tak pernah mampu mengolah apalagi mensyukuri nilai baik yang ada dalam sebuah pengamatan. Alih-alih memeriksa diri, semua dengan segera memasang kuda-kuda bertahan dan sedapat mungkin melakukan serangan balik. Sebuah kenyataan yang sangat memprihatinkan, itulah realita panggung kehidupan yang dengan mudah kita temui dalam keseharian. Lihatlah perilaku pengamat yang sering cenderung terus mempersalahkan tanpa sedikit pun ruang pengakuan atas setitik keberhasilan. Tapi lihat pula, pembelaan kebakaran jenggot oleh para pemimpin tanpa pernah bisa memperbaiki apalagi membuktikan kualitas diri.
Panggung Indonesia tercinta serasa makin penuh noda oleh perilaku tak terpuji. Jika terjadi banjir, alam yang dipersalahkan. Menghadapai kemacetan yang semakin menggila perilaku pengemudi yang jadi diskusi. Sementara sistem lalulintas, peraturan, penegakan disiplin, tak pernah kelihatan, apalagi perbaikan dan peningkatan infrastruktur. Semua sibuk memaki, atau membela diri. Mentalitas yang menyedihkan.
Kita butuh pengamat yang cermat dan punya hati yang murni. Kita juga butuh pemimpin yang tegas, jelas, yang bisa bicara tapi cakap bekerja. Yang ada sekarang sekarang hanya kemampuan bicara dan keranjingan membangun citra. Lihatlah iklan banyak petinggi negeri yang kurang bernurani. Kata- kata yang menusuk hati. Citra yang tak bertepi. Mengapa? Karena semua tampil wah, hebat luar biasa, padahal di kenyataan, yang luar biasa adalah ketidakhebatannya. Sangat munafik. Oportunis, itu istilah kerennya.
Realita ini ternyata mewarnai areal agama juga. Kata kata suci terus meluncur lancar, tapi tindakan yang keluar sangat bertolak belakang. Kasih dikumandangkan, pemerasan yang tampak di permukaan. Tuhan Yesus Kristus pernah mengkritik Farisi dengan ucapan: “Persembahan perpuluhan kalian bicarakan, tapi keadilan kalian abaikan”. Ya, imam paling suka berbicara perpuluhan untuk mempertebal pundi-pundi sendiri. Tapi tujuan perpuluhan untuk menciptakan keadilan diabaikan. Janda miskin, orang asing, tak kebagian tujuan perpuluhan, inilah yang disebut Tuhan Yesus sebagai tidak adil. Ironis, tapi itulah faktanya.
Gereja ternyata gagal untuk tampil beda dengan panggung dunia. Kualitasnya sama saja. Yang berbeda hanya pada tataran ritualnya. Karena itu peringatan Paulus kepada muridnya Timotius sangat penting untuk menjadi perhatian kita. Paulus berkata: “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengarkan engkau” (1 Timotius 4:16). Sebuah kata-kata bernilai mutiara yang tak terhingga.
Pengawasan terhadap diri adalah penyelamatan yang gemilang, karena menyelamatkan diri dan orang lain. Persoalannya adalah, siapa yang mengawasi diri sendiri. Sebuah pertanyaan penting yang harus digumuli oleh setiap pribadi. Mengawasi diri! Ya mengawasi diri, berarti membuat diri tetap terkendali, selalu berada di jalur yang benar. Apakah saya hidup benar dan bertindak benar. Pertanyaan yang harus terus berulang diajukan kepada diri. Dan diri harus menjawabnya dalam kejujuran kepada diri dengan mengingat Tuhan tak mungkin diabaikan. Mengawasi diri berarti menguasai diri. Penguasaan diri adalah buah Roh yang harus tampak nyata dalam kehidupan orang percaya. Ini harus menjadi karateristik diri setiap orang percaya. Orang percaya harus dikenali dan terkenal sebagai orang yang bisa mengendalikan diri karena terus-menerus mengawasi diri. Ini betul-betul menjadi pertolongan bagi diri. Karena sudah semestinya setiap orang percaya terus-menerus belajar mengawasi diri sehingga tidak salah dalam melangkah.
Perjalanan hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Ada terlalu banyak peristiwa mendadak di luar rencana. Selalu ada berbagai godaan berjalan di luar rencana. Belum lagi kehadiran bencana yang tidak pernah diundang namun seringkali datang. Berbagai peristiwa di luar dugaan membuat diri terkejut dan tidak terkendali. Kesalahan selalu disesali kemudian. Cukup sekejab kita lengah mengawasi diri, maka diri segera terancam. Lagi-lagi tak ada jalan lain, kecuali selalu mawas diri. Mengawasi diri membutuhkan disiplin yang tinggi. Terlatih dan disiplin bagaikan tentara yang selalu sigap dan cepat bertindak. Peka pada perubahan di sekitarnya dan mencium bau bahaya yang mengancam diri bahkan lingkungannya. Begitulah seharusnya kita melatih diri sebagai orang percaya. Yang ada seringkali umat kristiani terlalu percaya diri, menganggap remeh realita atas nama pemeliharaan Allah. Padahal firman Allah sendirilah yang meperingatkan kita untuk selalu mengawasi diri.
Dengan ungkapan yang sangat rohani umat kristiani seringkali berucap kita mengalir seperti air. Biarkan Roh Kudus yang memimpin. Padahal di sisi lain kita hidup tak berserah diri, karena selalu ber-orientasi pada diri. Pengatasnamaan ilahi sebagai bungkus rohani memang menjadi trend yang menyedihkan. Pantas jika Alkitab memperingatkan bahwa pohon dikenal dari buahnya. Karena itu pula menjadi sangat penting mengawasi ajaran. Ajaran yang salah akan menjadi kesalahan dalam menyikapi dan menjalani hidup ini.
Nah, di sini, lagi-lagi dengan mudahnya kita akan menemukan betapa umat kristiani tidak berdiri di atas ajaran yang benar. Ajaran tak lagi berpusat kepada kehendak Allah melainkan keinginan diri. Jelas Alkitab berkata: “Sangkal dirimu dan pikullah salibmu”, dalam mengiring Yesus Kristus Tuhan. Tapi ajaran yang dikumandangkan justru mengiring Yesus adalah berkat jasmani yang melimpah. Tidak ada pergumulan di sana kecuali tumpukan kemudahan. Akibat ajaran yang salah, maka pengawasan diri juga menjadi salah. Bukannya mengawasi diri, apakah tetap menyangkal diri, yang ada justru mengawasi diri apakah berkat materi ada. Bukannya mengawasi diri dalam memikul salib, yang ada justru membuat diri nyaman tenang dalam ukuran duniawi agar bisa menjadi kesaksian yang sensasional. Karena itu tidak heran pengawasan diri berlangsung salah, karena yang ada justru diri tidak lagi terawasi. Kesalahan ajaran mengakibatkan kekacauan yang menyedihkan.
Bagaimana dengan diri kita? Bacalah alkitab dan lihatlah sekitar diri. Memprihatinkan sekali, karena saat gedung gereja semakin penuh, justru ajaran yang salah semakin disukai. Maklum, ajaran salah sangat memanjakan diri, memenuhi selera diri dan sejalan dengan hasrat kemanusiaan. Sementara ajaran yang benar terasa berat dan sangat membebani. Tak populis, sehingga kurang disukai dan akibatnya gedung gereja yang coba menyuarakan kebenaran seutuhnya justru menyepi, karena pendengarnya terseleksi.
Apakah Anda masih berani mengawasi diri dengan benar dan sungguh-sungguh. Belajarlah mengawasi diri tapi bukan ecek-ecek. Mengawasi diri dengan teliti dan juga mengawasi ajaran. Awasi diri dan sekitar, agar kita bisa menyelamatkan diri dan sesama. Menyelamatkan diri dalam pengertian tanggung jawab kehidupan keseharian, bukan soal keselamatan surgawi yang merupakan wilayah anugerah Allah. Tapi sebagai orang yang telah diselamatkan Tuhan, maka panggilan hidup kita adalah tertib, terawasi, baik oleh diri dan selalu siap diawasi oleh lingkungan sekitar.
Awasi dirimu, karena itu jangan terlalu mudah untuk menjadi pengkhotbah. Akibatnya banyak ajarn salah. Awasi dirimu, karena itu jangan terlalu mudah menjadi pendeta. Akibatnya orang non-Kristen bingung: Anda pengusaha atau pendeta.
Awasi dirimu, karena itu jangan terlalu mudah berkata rohani namun tak terlihat di perilakumu. Sehingga orang berkata, kata-katanya manis tapi penuh tipu daya. Ah, betapa manisnya orang yang mengawasi diri sendiri dan mengawasi ajaran. Itu berarti kita harus menjadi orang yang terseleksi yang bisa dikenali semua orang. Selamat mengawasi diri dan mengawasi ajaran dalam ketekunan, bukan kambuhan. v