Raymond Lukas
Reformata.com -LETUSAN Gunung Merapi sudah meluluhlantakkan daerah pemukiman disekitarnya. Zona aman sepanjang 20 km sudah ditentukan pemerintah agar masyarakat menjauhi daerah bencana dan mengungsi ke daerah yang lebih aman. Untuk itu telah dibuat posko-posko pengungsian untuk menampung penduduk dari daerah yang terkena dampak letusan Merapi secara langsung. Dengan demikian aliran pengungsi berdatangan memenuhi lokasi posko-posko yang berada di sekitar Yogyakarta, mulai Sleman, Magelang, Muntilan, Boyolali, Klaten dan lain-lain.
Mengamati kegiatan sebuah posko pengungsi di daerah Kemusuk Lor, penulis benar-benar merasakan bahwa masyarakat Yogyakarta memiliki rasa solidaritas dan kesetiakawanan yang kuat. Keinginan untuk gotong royong dan membantu sesama sangat kental dalam pengungsian tersebut. Mekanis-me penanganan pengungsi berlangsung otomatis dan alamiah. SOP berjalan lancar dan semua pihak yang terlibat “menjiwai” SOP tersebut tanpa harus melewati birokrasi yang berliku. Tampaknya semua mengarah kepada tujuan yang sama yaitu “membantu pengungsi semaksimal mungkin melewati masa bencana yang cukup menguras harta benda, tenaga dan kesejahteraan jiwa pengungsi”, dan untuk itu pengelola posko dan masyarakat yang menampung siap untuk “memberikan yang terbaik, tanpa pamrih apa pun’.
Penangananan pengungsi tersebut dimulai dari datangnya pengungsi dari daerah bencana ke suatu posko tertentu. Mereka bisa saja datang sendiri menggunakan angkutan pribadi ataupun diantar petugas dan relawan yang sudah menyisir daerah bencana dan secara halus atau pun paksa meminta penduduk untuk segera mengungsi. Nah, kedatangan pe-ngungsi ke sebuah lokasi posko pe-ngungsian, segera disambut pengelola posko dengan sukacita. Pertama, mereka diberi makanan yang sudah dipersiapkan dari dapur umum yang tersedia. Kedua, mereka diberikan paket keperluan sehari-hari yang sudah ditata sedemikian rupa, cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi sehari-hari yaitu perlengkapan tidur seperti tikar, kemudian sarung dan selimut sampai peralatan mandi dari mulai sabun, odol, sikat gigi bahkan pakaian dalam pengganti pun sudah dipersiapkan dari berbagai donatur yang mengirimkan barang-barang tersebut ke posko-posko.
Mekanisme tersebut berlangsung wajar, flowing tanpa prosedur berbelit-belit, seperti persetujuan pengeluaran barang bantuan dari gudang/tempat penyimpanan kepada pengungsi. Prinsipnya, begitu ada keperluan atau ada yang meminta paket tersebut langsung keluar dalam hitungan detik dan yang meminta dapat segera memakainya sesuai keperluan. Jadi dalam benak pengelola posko, tidak ada birokrasi ataupun kecurigaan bahwa barang bantuan tidak sampai ke pihak yang memerlukan atau pun takut disalahgunakan, misalnya diambil dan ditumpuk pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab untuk kemudian dijual. Tidak ada pemikiran ‘curigation’ sejlimet itu, pokoknya kalau mereka melihat ada yang memerlukan bantuan, maka barang langsung diberikan dengan senyum, sukacita dan kata-kata menghibur serta menguatkan. “Iki loh mbah (ini lho mbah…), bisa dipakai ya buat tidur nanti malam, supaya mbah gak kedinginan” demikian kata-kata relawan di posko tersebut sambil tersenyum lebar dan menuntun seorang mbah pengungsi. Wah, luar biasa – pikir penulis.
Masyarakat di Yogya ini memang memiliki semangat menolong dan semangat gotong royong yang tinggi. Dengan situasi kondusif tersebut, penulis melihat bahwa pengungsi di tempat tersebut serasa berada di rumah sendiri dan dengan sendirinya menciptakan rasa damai dan keteraturan yang nyata, alamiah dan tidak dibuat-buat. Tidak ada kata-kata mencurigai, tidak ada SOP berlebihan bahkan pengawasan ketat yang mengawasi orang seperti mengawasi terpidana maling ayam. Padahal, kalau dipikir-pikir datangnya pengungsi yang notabene adalah orang asing di rumah pemilik/penampung atau pun balai penampung seharusnya menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemilik rumah, karena ruang tamu atau gudang atau garasi atau pun aula yang biasanya dinikmati sendiri sekarang harus di-‘share’ dengan orang-orang yang belum dikenal. Namun, nuansa tersebut tidak tampak. Bahkan, Bu Wito, pemilik aula yang biasanya berfungsi sebagai gudang padi tersebut melayani langsung para pengungsi, menegur sapa mereka dengan ramah bahkan memasak langsung menu makanan pengungsi bersama ibu-ibu warga desa lain yang membantu dan kemudian menata prasmanan makanan tersebut bak ‘catering’ lengkap dengan piring dan gelas ‘beling’ yang tertata diatas meja ber taplak putih bersih. “Setahun saya bisa membeli sampai 100 lusin gelas Pak, karena kami membutuhkan untuk berbagai kegiatan di desa antara lain membantu pengungsi ini,” kata Bu Wito.
Antara makan pagi dan makan malam, Bu Wito masih mengolah hasil kebunnya menjadi pisang goreng, atau singkong rebus yang diberi gula jawa, serta pengganan kue-kue kecil seperti dodol atau bolu yang dibuat oleh tim relawan didapurnya. Wah, benar-benar semangat ‘memberi yang terbaik’ tercermin dari manajemen Bu Wito, seorang ibu rumah tangga biasa yang sudah ditinggal suaminya menghadap Sang Pencipta. Dan keistimewaan itu bukan hanya buat segelintir orang, namun buat ratusan pengungsi termasuk tim relawan dan warga desa yang membantu. Pokoknya, semua yang terlibat bahkan tamu seperti penulis sekalipun bisa bebas menikmati fasilitas tersebut. Bebas mengambil piring, mengisinya dengan makanan dan mereguk secangkir teh manis hangat yang selalu siap tanpa diawasi mata-mata yang mencurigai.
Saya jadi terkesima dengan manajemen ala Bu Wito, seorang ibu rumah tangga biasa, namun memiliki pengaruh demikian kuat. Ada ratusan pengungsi yang dikelolanya (tercatat 825 orang) dengan bantuan puluhan tim relawan dan warga desa, namun bisa diatasinya dengan baik sekali sehingga posko pengungsi tersebut terlihat damai dan teratur. Bahkan Bu Wito juga menyiapkan hiburan buat pengungsi.
Penulis jadi berangan-angan kalau saja manajemen Bu Wito dengan prinsip “memberi yang terbaik” bisa diterapkan diperusahaan-perusahaan kristiani atau perusahaan mana pun juga. Prinsip untuk “memberi yang terbaik” kepada pelanggan, pegawai dan semua stakeholder nyata-nyata akan memberikan hasil terbaik bagi perusahaan. Karena dengan membebaskan hidangan dinikmati semua pengungsi, relawan, warga desa dan tamu, Ibu Wito sudah memetik hasilnya yaitu kesuksesan posko yang dikelolanya. Jadi hasil maksimal tersebut bisa diperoleh bukan dengan menekan biaya operasional (walaupun biaya ini memang harus dikelola dengan cermat), mengurangi hak-hak karyawan sehingga menjadikan perusahaan kita “Not The Best Place to Work”, padahal banyak perusahaan lain mencanangkan misi menjadi “The Best Place to work” dengan rajin meriset dan membandingkan benefit untuk karyawan dengan ‘peers’ company, atau dengan SOP yang kaku dan menyulitkan.
Namun, hanya dengan pikiran yang benar dan sehat, menghargai teamwork dan membuat segala sesuatu menjadi mudah terkendali maka bukan tidak mungkin sebuah perusahaan akan menjadi lebih berhasil dan bermultipikasi. Seperti firman Tuhan dalam I Petrus 4 : 10, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah”, dan firman diperkuat I Korintus 10: 31 yang mengatakan, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu yang terbaik untuk kemuliaan Allah”.
Dengan semangat menyikapi ayat-ayat tersebut, niscaya kita sebagai pengusaha Kristiani pasti akan melakukan yang terbaik untuk pihak-pihak yang kita layani termasuk pelanggan dan karyawan kita.v
Trisewu Leadership Institute
Founder: Lilis Setyayanti
Co-founders: Jimmy Masrin, Harry Puspito
Moderator: Raymond Lukas
Trisewu Ambassador: Kenny Wirya
Untuk pertanyaan, silakan kirim e-mail ke: seminar@trisewuleadership.com. Kami akan menjawab pertanyaan Anda melalui tulisan/artikel di edisi selanjutnya. Mohon maaf, kami tidak menjawab e-mail satu-persatu.”