Merendahkan Diri, Meninggikan Diri

Pdt. Bigman Sirait

Reformata.com – BASA-basi hampir pasti menjadi warna yang tak terhindarkan dalam berbagai diskusi. Nuansa ketimuran, kata orang banyak. Bertanya yang perlu adalah info yang dibutuhkan, tetapi bertanya basa- basi membuang waktu yang bernilai. Harus dipahami bahwa basa-basi bukanlah keramahan, tetapi lebih kepada kepalsuan. Basa-basi hanyalah aksesoris yang bisa jadi menghanyutkan mereka yang mendengarkan. Berpikir, bahwa pertanyaan atau pernyataan itu sebagai yang benar, padahal sejatinya itu basa-basi. Bayangkan jika di sana dibangun pengharapan, pasti sangat mengecewakan. Begitu pula dalam aksinya, seakan mereka itu sungguh-sungguh merendahkan diri padahal sejatinya mereka palsu.

Hal-hal seperti ini ternyata juga mewarnai kehidupan beragama. Ini yang menyedihkan. Alkitab terus-menerus mengkritik sikap ini dengan meyebutnya sebagai kemunafikan, kepalsuan, atau seakan-akan merendahkan diri, padahal tidak. Cobalah simak apa yang dilakukan oleh para ahli Taurat. Mereka berpuasa dan sengaja tampil dengan wajah yang lusuh seakan menjalani perjalanan berat. Sehingga dengan tampilan-nya mereka berharap orang melihat, dan tahu betapa hebatnya perjuangan mereka dalam kehidupan rohaninya. Mereka mendemonstrasikan puasanya dengan tampilan yang palsu (Matius 6:16). Mereka melakukan ritual keagamaan untuk sebuah pujian. Sebuah kepalsuan yang diikuti dengan kepalsuan, dan ironisnya berbaju kerohanian.
Begitu pula kritik Rasul Paulus terhadap mereka yang tampaknya sangat merendahkan diri dalam beribadah, padahal itu hanyalah sebuah tampilan yang berisi kepalsuan (Kolose 2:18). Mereka memanipulasi ibadah demi keuntungan diri. Banyak jemaat terjebak dan masuk perangkapnya. Terlatih di sana, maka jemaat pun menjadi perpanjangan barisan kepalsuan. Terbiasa sehingga tak merasa itu salah, bahkan sebagai kebenaran. Sungguh mengerikan bukan? Tapi itulah kenyataan dalam dunia keagamaan.

Realita ini terus bergerak menggelisahkan dan justru cenderung menjadi kelompok mayoritas. Ya, merendahkan diri, meninggikan diri di saat bersamaan. Dalam masa pelayanan Tuhan Yesus, hal itu sangat kental, dan kepalsuan ini berhasil menggiring umat menjadi penyalib Yesus Kristus Tuhan dengan menggunakan tangan orang kafir. Dan itu pula yang dialami oleh para rasul. Aniaya hingga penjara, dan pembunuhan berencana, menjadi ancaman nyata yang terus-menerus mencoba membungkam mereka. Semua dilakukan atas nama kebenaran yang diputarbalikkan. Tetapi kebenaran harus terus-menerus dinyatakan, dan ini menjadi pertandingan berat yang tidak terhindarkan dalam menyuarakan kebenaran.

Basa-basi merendahkan diri lewat ibadah terus semakin mendominasi kehidupan beragama. Para pemimpin agama seakan telah menyangkal diri, bahkan menyalib-kan dirinya. Mereka seakan hidup hanya untuk melayani Tuhan. Padahal kenyataannya mereka mengeduk keuntungan yang sangat besar dari umat yang tak pernah menyadarinya. Mereka memakai jubah yang menampilkan nuansa kesucian padahal di balik jubah tersembunyi hati yang penuh kepalsuan. Mereka berbicara dalam “nada-nada Allah”, ucapan suci dan irama yang teratur, tetapi sesungguhnya itu hanyalah sebuah gaya yang bersifat situasional belaka.

Itu sebab memilih tema merendahkan diri, meninggikan diri, menjadi tepat dalam menggambar-kan kepalsuan ini. Tampaknya merendahkan diri, tetapi sejatinya meninggikan diri. Ya, dengan kelihatan merendahkan diri, mereka berharap meraup pujian, dan, tentu saja, saat yang bersamaan mereka meninggikan diri. Sebuah permain-an penampilan yang menyesatkan. Berbaju agama dengan berbagai ajaran yang tampaknya sangat rohani, maka pembodohan terhadap umat berjalan lancar. Umat akan mudah tertipu oleh baju rohani, ditambah penampilan palsu tadi. Karena itu tidak heran jika kemudian hari banyak keluh-kesah dari beberapa orang ketika sadar telah menjadi korban. Urusan uang, properti, pinjam meminjam, menjadi batu sandungan yang tercecer di sana-sini. Tak tersisa lagi keper-cayaan, yang ada hanyalah ke-kecewaan. Ya, korban wajah wajah palsu. Mereka sangat merendahkan diri, agar dapat memikat korban. Tapi ketika berhasil “menaklukkan”, tampak keaslian tak lagi tersem-bunyikan, mereka sangat meninggi-kan diri dengan berbagai prestasi hasil yang tak bersih. Mereka tak peduli etis atau tidak, atau bahkan soal benar atau tidak, yang penting tujuan tercapai, dan diri terpuaskan.

Merendahkan diri untuk meninggikan diri, karena dengan segera mereka memproklamirkan keberhasilan, sekalipun itu dari ketidakjujuran. Di samping keuntungan materi, mereka juga meraup keuntungan simpati. Bayangkanlah pemimpin agama yang selalu tersenyum dan menabur pesona dalam kata dan penampilan. Mareka memikat banyak orang yang dengan segera berkata betapa mereka orang yang menyenangkan. Penampilan yang teratur membuat mereka tampak bagaikan orang yang merendah. Pujian diterima, tujuan tercapai, bahwa mereka disebut orang merendah. Padahal pada saat merendah mereka sedang meninggikan diri sebagai pemimpin yang bernilai tinggi, dengan tujuan yang tersembunyi. Balutan kepalsuan seperti ini tidak akan pernah hilang, bahkan akan semakin menjadi mode yang diminati. Karena hal seperti ini terasa sangat efektif untuk membawa seseorang mencapai puncak kepuasannya.

Jika menelusuri Alkitab tentu saja ini adalah kesalahan yang banyak dikritik, bahkan langsung oleh Tuhan Yesus sendiri. Alkitab mengajarkan bahwa merendahkan diri bukanlah sebuah mode penampilan, melainkan buah Roh yang tampak nyata dan terukur. Sebagai orang yang sudah diperbaharui kita tak boleh terjebak dalam basa-basi penampilan. Kita harus berani “apa adanya”, “bukan ada apanya”. Dalam dunia pada umumnya, penampilan tak lagi sekadar estetika, tapi sudah merembet pada pencitraan diri. Di sini dengan mudahnya balutan kepalsuan dimasukkan, sehingga semakin hari kita semakin kehilangan makna kemurnian. Tetapi realita keberdosaan dunia tak terhindarkan, membuahkan dosa kepalsuaan.

Yang menjadi keprihatinan tinggi adalah fakta bahwa institusi keagamaan pun terbawa pada kepalsuan dengan mode pencitraan. Mencitrakan diri sebagai orang yang merendah padahal sedang berusaha kuat untuk menampilkan yang sebaliknya. Selalu mengambil keuntungan dan berujung pada kepalsuan. Kritikan para rasul di jamannya, seharusnya terdengar juga di kekinian masa. Hanya saja itu semakin terasa sulit karena para penyuara kebenaran yang seharusnya bersih ternyata juga ternoda. Mulut pemimpin agama telah tersumbat untuk menyatakan kebenaran karena seringkali digunakan untuk mengungkap kepalsuaan. Kegelisahan pada realita yang ada harus terus-menerus kita tumbuh kembangkan dalam kerinduan mengembalikan gereja sebagai suara kenabian yang murni. Mengatakan “ya” untuk “ya”, dan “tidak” untuk “tidak”. Tidak lebih dan tidak kurang. Tak populer tetapi benar.

Kita harus berani, agar gereja tetap punya identitas diri. Tak sibuk mencitrakan diri seperti penyakit pemimpin masa kini. Mari menjadi alat koreksi dengan rajin mencermati dan mengkritisi. Tak segan memberi masukan, bahkan teguran agar kemurniaan terus terjaga. Merendahkan diri tetapi meninggikan diri harus dilucuti. Ini menjadi tugas bersama. Ingat, jangan membiarkan hal seperti ini berkembang di sekitar kita. Telanjangi agar memberi efek jera pada mereka yang selalu tergoda ingin mencoba. Gereja adalah benteng terakhir kebenaran. Jika gereja ternoda, maka sulit membayangkan terang akan mendominasi gereja. Namun kenyataan memang tak terbantah, kegelapan semakin terasa. Terang pun hanya sebuah citra, bukan kekuatan nyata. Doa harus kita naikkan, dan berbuah harus menjadi kerinduan sebagai orang percaya. Jangan merendahkan diri untuk meninggikan diri. Sebuah pertarungan serius. Mari bersama kita terjun kegelanggang, sehingga ini tak sekadar sebuah harapan. Selamat datang di pertandingan kemurnian pelayanan.v

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *