Pdt. Bigman Sirait
Bapak Pengasuh yang terhormat, bagaimana Bapak, sebagai Hamba Tuhan dan pemimpin gereja memandang dan memikirkan keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus, sebagai bagian dari tanggung jawab gereja? Bagaimana mengajarkan mereka tentang iman? Program pembinaan yang tepat seperti apa? Mengapa gereja saat ini terkesan tidak peduli mereka. Contoh, fasilitas yang disediakan sangat jarang bahkan tidak ada khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus, seperti Alkitab dengan huruf Braille?Fasilitas bermain dan belajar untuk anak berkebutuhan khusus, atau fasilitas khusus yang membuktikan gereja peduli pada mereka?
Sepertinya, sudah waktunya jemaat dan pengurus gereja memikirkan hal ini. Minimal dengan mempersiapkan pembinaan khusus, sarana khusus yang membuktikan kepedulian gereja terhadap keberadaan mereka.
Saya menantikan respon Bapak, dan biarlah hal ini membuka mata gereja untuk memikirkan dan peduli terhadap anak berkebutuhan khusus.
Monika
Kelapa Gading
SEBUAH pertanyaan yang cukup menarik untuk dikaji. Monika yang dikasihi Tuhan, tentu saja apa yang kamu pikirkan soal pelayanan kepada anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah penting. Alkitab mengajarkan kepada kita dengan jelas dan tegas, bahwa kita adalah bait Allah (1 Korintus 6:19-20). Itu berarti, setiap manusia, siapa pun dia, tua atau muda, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, sehat atau cacat, semuanya adalah ciptaan Tuhan. Dan sebagai orang percaya, semua adalah gereja. Dalam kesamaan ini meliputi semua aspek hakekat diri, sebagai gambar dan rupa Allah. Jadi sangat jelas tidak boleh ada perbedaan kelas atas dasar apa pun. Semua harus dilayani sesuai dengan keberadaan dirinya.
Mari kita mulai dengan gereja dalam pelayanannya. Kita mengenal adanya pelayanan komisi berdasarkan gender, seperti : komisi wanita atau komisi pria. Lalu ada juga komisi berdasarkan usia, seperti, komisi anak (sekolah minggu), komisi remaja, komisi pemuda, komisi pasutri, komisi lansia. Dan jika ada kebutuhan juga bisa dikembangkan komisi pelayanan khusus, yang bukan saja meliputi orang dengan kebutuhan khusus, tetapi juga pengembangan bakat, seperti komisi musik, pujian, dramaturgi, dan lainnya. Ini semuanya bergantung pada situasi dan kebutuhan gereja setempat.
Soal bagaimana mengajarkan iman Kristen, sangat tergantung kebutuhan yang ada. Seperti mengajarkan doktrin dasar kepada anak sekolah minggu misalnya. Ada cara mengajarkan doktrin agar mereka memiliki dasar yang kuat. Begitu juga selanjutnya dengan tahapan usia yang berbeda. Untuk anak dengan kebutuhan khusus bukanlah hal yang terlalu sulit, karena sudah cukup banyak sekolah luar biasa untuk anak dengan kebutuhan khusus. Artinya metode telah tersedia cukup banyak, sementara soal materi dapat disusun sesuai kebutuhan yang ada. Penyediaan fasilitas dapat disesuaikan dengan anak yang dilayani. Tetapi yang jelas ini bukanlah hal yang terlalu sulit.
Dalam dunia pendidikan umum-nya, kita melihat saran-prasarana dan sistem serta materi yang cukup memadai, sehingga pelayanan ge-reja hanyalah soal kebutuhan dan kemauan saja. Tentu akan menjadi sangat mubazir jika gereja sekadar mengadakan kelas dan sarana dan prasarananya namun tidak ada anak yang membutuhkan. Tetapi sebaliknya, memang amatlah menyedihkan jika gereja mengabaikannya, padahal ada kebutuhan riilnya.
Jadi pelayanan khusus seperti ini tergantung situasinya, tetapi memang sangatlah penting. Sehingga ada atau tidaknya prasarana, tidak dengan segera membuktikan hakekat gereja. Misalnya, setiap gereja memiliki ko-misi pelayanan, semuanya ada, tetapi dalam pelaksanaannya sangatlah tidak memadai. Ada sekolah ming-gu, namun para pengajarnya tidak pernah dipersiapkan apalagi pem-binaan rutin doktrinal. Tidak ada kelas persiapan mengajar. Atau, kalau pun ada serba tak siap, atau asal. Sehingga kehadiran sekolah minggu mirip tempat penitipan anak, sementara orang tuanya beribadah. Ada banyak gereja yang seperti ini. Jelas keberadaan sekolah minggu tidak membuktikan kepedulian gereja, bahkan sebaliknya ini menjadi pelecehan terhadap hakekat sekolah minggu itu sendiri.
Monika yang dikasihi Tuhan, sebuah pelayanan memilki banyak aspek yang harus diperhatikan dengan seksama, tak sekadar ada. Cobalah lihat kebaktian yang berjalan tiap minggu di berbagai tempat. Belum tentu ada tema jelas yang menjadi arah gereja. Semua serba bebas, asal kebaktian terlaksana. Belum lagi pembicara yang asal bicara, sehingga lebih mirip pelawak atau motivator, ketimbang sebagai pengkhotbah yang menyampaikan doktrin yang benar. Sementara jemaat sendiri, terbiasa dengan suasana seperti ini, asal beribadah, tidak ada komitmen untuk bertumbuh dan mengenal kebenaran yang seutuhnya se-suai Alkitab. Bukankah ini juga merupakan pelecehan, alias tidak membuktikan kehadiran gereja yang semestinya. Ada banyak faktor yang perlu diperhatikan sebagai wujud bukti kepedulian gereja yang sehat.
Monika yang dikasihi Tuhan, mari terus kita pikirkan berbagai aspek yang mungkin dikerjakan oleh gereja sebagai tanggung jawab pelayanan kepada Yesus Kristus kepala gereja. Perlu dipikirkan pelayanan yang serius dalam berbagai aspek, terlebih lagi mereka yang memerlukan pelayanan khusus. Tapi, perlu juga disadari, karena pemahaman doktrin gereja tertentu, bahwa sakit, cacat adalah kutukan, maka jangan berharap gereja seperti ini akan menyelenggarakan pelayanan khusus. Yang ada justru sebaliknya, mereka akan menjatuhkan vonis yang menyakitkan. Dan ini adalah kenyataan pahit bergereja.
Akhirnya, mari terus kuman-dangkan pelayanan yang menyeluruh (holistik), sehingga semua orang, dalam semua keadaan, mendapat pelayanan yang semestinya. Jika ada gereja yang mengabaikannya, justru kita harus memulainya. Jangan sampai kita tertinggal dan ditertawakan dunia.
Sebagai pendeta, saya mengajak jemaat memperhatikan dan mela-yani mereka yang tertinggal yang ada di desa, begitu juga yang di kota. Masih banyak yang belum dikerjakan mengingat keterbatasan sumber daya. Tetapi daya yang ada terus dikerahkan semaksimal mungkin. Selamat melayani, Tuhan memberkati.v