
Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Reformata.com – MANUSIA adalah makhluk dengan emosi di samping kemampuan berpikirnya. Berbeda dengan ratio yang kita sudah lebih familiar dan bisa mengendalikannya, emosi adalah sisi manusia yang kurang dikenali, dan, daripada mengendalikannya kita sering dikendalikan oleh emosi sehingga melakukan hal-hal yang di luar pikiran. Ketika seseorang berbicara di depan umum, dia melihat orang-orang kurang perhatian, semangat bicaranya langsung pa-dam, marah dan dia memotong pembicaraannya dari semua per-siapan yang telah dilakukan lama.
Allah, walau pun adalah Roh, namun menyatakan diri kepada manusia dengan emosi. Ketika Allah melihat kejahatan manusia, dikatakan: “…..maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya” (Kejadian 6: 6). Ketika manusia hidup dalam dosa, Maka menyalalah murka TUHAN terhadap umat-Nya, dan Ia jijik kepada milik-Nya sendiri (Mazmur 106: 40). Ketika Dia berkenan kepada umat-Nya, Alkitab mengatakan: Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai….. (Zafanya 3:17). Dalam diri Allah yang kudus emosi-emosi Allah juga bersifat kudus.
Manusia diciptakan sesuai dengan gambar Allah dan sisi emosi Allah bisa kita lihat dalam diri manusia. Namun manusia sudah jatuh dalam dosa sehingga kita tahu sisi emosi manusia juga sudah d irusak oleh dosa. Emosi manusia yang seharusnya baik, bisa dipastikan juga sudah dicemari dosa.
Emosi manusia sebenarnya bersifat netral, sekali pun emosi itu bersifat negatif seperti marah. Efesus 4: 26 memberi kesempatan kepada kita untuk marah tapi tidak berdosa. Di bagian lain digambarkan orang yang takut Tuhan itu ‘membenci’ kejahatan. Ketika kita melihat orang melakukan kejahatan, seharusnya timbul emosi marah yang menggerakkan dia untuk melakukan sesuatu menentang kejahatan orang tersebut. Namun kemarahan manusia ketika berlarut-larut tidak lagi terhadap perbuatan jahat orang tapi sudah mengarah kepada pribadi orang tersebut. Padahal Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi manusia, bahkan musuh kita.
Emosi positif pun, seperti senang, bisa menjadi bagian dari dosa. Misalnya ketika kita merasa senang ketika melihat saingan kita dipecat. Kesenangan atas kesusahan orang lain, termasuk ‘musuh’, tidak berkenan kepada Tuhan. Kita diperingatkan untuk tidak bersuka atas kesusahan orang lain.
Emosi sangat mempengaruhi kita. Ketika kita ribut dengan pasangan di rumah, maka emosi kita di tempat kerja bisa sangat terganggu. Semangat kerja bisa terganggu. Kita bisa dengan mudah marah kepada orang lain tanpa alasan yang jelas. Ada orang-orang yang disebut ‘emosional’, yaitu orang-orang yang mudah dipengaruhi oleh emosi.
Hasil survei di antara masyarakat luas pada tahun 2010 menunjukkan mereka paling banyak merasa emosi-emosi positif seperti menyayang, gembira, cinta dan perhatian (55-70%). Berikut masyarakat sering merasa puas, bangga atau suka sesuatu (27-33%).
Sebaliknya walaupun mereka tidak banyak yang sering merasakan emosi-emosi negatif seperti khawatir, kesepian, marah, tidak bahagia, sedih, cemas, tegang, takut, tersinggung, malu, merasa bersalah, menyesal, tertekan dan jijik (4-12%) namun ada dan jumlahnya cukup signifikan. Orang yang sering merasa khawatir sebanyak 12% atau sekitar 1 dari 8 orang; dan mereka yang sering merasa masah adalah 9% atau sekitar 1 dari 11 orang. Jumlah yang cukup untuk mengganggu situasi suatu kelompok sosial.
Kita bisa sering dikuasai oleh emosi tertentu dan mengekspresikannya sehingga emosi itu menjadi karakter kita. Misalnya, kita bisa sering dan mudah marah kepada orang lain dan kita disebut sebagai pemarah. Ada orang, terutama anak-anak, yang mudah merasa takut-takut menghadapi situasi baru, tempat yang sunyi, dsb dan kita sebut dia seorang penakut. Sebaliknya ada orang yang memperlihatkan keberaniaan dalam menghadapi masalah, situasi atau bahaya dan ketika orang melihat ini kebiasaan dia orang akan menyebut dia seorang pemberani.
Emosi bisa dengan mudah menjadi pemicu dosa. Mengapa? Karena orang tidak banyak mengetahui emosi-emosinya; mengapa dia mengalami emosi-emosi tertentu. Emosi-emosi itu muncul secara mendadak dan secara mendadak pula menggerakkan orang yang mengalami melakukan sesuatu. Perasaan yang di luar kendali ini menghasilkan perbuatan-perbuatan yang di luar kendali. Dan perbuatan-perbuatan di luar kendali dari orang yang berdosa banyak yang adalah perilaku dosa. Asal kata emosi dalam bahasa Latin berarti ‘beralih’. Emosi dengan mudah mengalihkan kita dari melakukan kehendak Allah.
Jika ingin berubah dan bertumbuh kita perlu mengenali emosi-emosi yang sering kita alami atau menjadi karakter kita, menggunakannya untuk kebaikan dan belajar menguasai tapi tidak dikuasai emosi-emosi tertentu seperti marah, khawatir, takut yang destruktif. Tuhan memberkati.