Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
SEPERTI sudah kita bicarakan dalam artikel sebelumnya, emosi adalah bagian dari diri kita manusia yang kurang dikenali, dan karena itu sering tidak terkontrol dan malah mengontrol kita. Berbeda dengan pikiran yang sudah lebih kita tahu dan bisa kendalikan. Tindakan-tindakan emosional di luar kendali itu sering merusak diri, orang lain atau relasi. Karena itu kita perlu mengenali emosi dalam diri kita agar kita lebih mampu mengarahkan emosi-emosi kita.
Kesulitan mengerti apa itu emosi tercermin dari banyaknya definisi dan teori tentang emosi. Garis besar definisi emosi berbicara tentang keadaan perasaan seseorang yang berhubungan dengan pikiran, perubahan fisiologis dan ekspresi atau perilaku yang ditampilkan. Namun mengenai bagaimana urutan terjadinya dan apa yang berperanan dalam terjadinya emosi, para ahli banyak berbeda pendapat. Kita akan membicarakan hal-hal yang lebih praktis tentang emosi.
Emosi manusia ada yang bersifat sesaat, seperti merasa takut ketika dia berada di suatu ketinggian, merasa marah ketika dikritik, dan merasa malu ketika diejek. Namun emosi yang merupakan tanda-tanda dari karakter lebih permanen. Misalnya kita sering mengatakan seseorang penakut, pemarah, pemalu, dsb. Pengalaman emosi dan reaksi yang berulang-ulang pada diri seseorang, mungkin ketika kanak-kanak, bisa menjadikan bagian dari kepribadian yang lebih permanen dan sulit diubah. Emosi juga ada yang bersifat sosial. Kita merasa sedih untuk orang yang bersedih, dengan orang yang berduka, ketika kita mendengar orang dekat kita berduka.
Emosi memiliki berbagai fungsi. Salah satu adalah memberi tanda-tanda tentang keadaan kita. Ketika kita ada di tengah situasi bahaya maka secara spontan akan timbul rasa takut. Emosi juga bisa berfungsi sekaligus memotivasi kita untuk bertindak. Rasa takut itu mendorong kita melakukan sesuatu, apakah melawan bahaya yang mengancam atau lari dari situasi yang kita hadapi. Ketika melihat hasil pekerjaan yang buruk, kita bisa merasa marah, dan ini mendorong kita campur tangan agar menghasilkan kerja yang lebih baik.
Emosi bisa mengindikasikan kerohanian kita. Kehidupan rohani yang baik akan didominasi oleh emosi-emosi rohani seperti kasih, suka cita dan damai sejahtera (Galatia 5: 22, 23). Namun pada kehidupan rohani yang buruk, atau kehidupan duniawi, emosi orang akan didominasi emosi-emosi negatif seperti amarah, malu, takut-takut, rasa bersalah, cemas, dsb.
Dengan demikian emosi yang kita alami dan tampilkan membantu kita mengekspresikan karakter Allah atau perintah-perintah Allah seperti mengasihi, bersuka-citalah selalu, dsb. yang tidak bisa ditampilkan dengan komunikasi rasional belaka. Sebagai ciptaan dengan gambar dan rupa Allah, emosi-emosi manusia seharusnya menjadi bagian penting. Namun seperti bagian-bagian lain, emosi manusia juga sudah dirusak dosa sehingga emosi manusia juga menandai keberdosaannya.
Dengan emosi kita menikmati kehadiran Allah (Mazmur 16: 8,9). Karena itu di dalam ibadah-ibadah kita bersorak, menyanyi, dan memuji Dia dengan suka-cita. Kita hadir di hadapan Allah dengan hati yang takut dan gentar kepada Dia yang adalah Pencipta dan Pemelihara kita dan alam semesta, yang memegang hidup dan masa depan kita.
Namun kita perlu menyadari emosi tidak bisa untuk berbagai tujuan. Misalnya, emosi tidak bisa menjadi dasar untuk bertindak. Misalnya, karena perasaan sedang tidak senang maka saya tidak akan bekerja hari ini. Karena merasa takut-takut saya tidak akan keluar rumah. Jika demikian maka kehidupan orang akan sangat terombang-ambing.
Emosi tidak bisa kita gunakan untuk pertimbangan pengambilan keputusan moral. Kita mungkin merasa nikmat dengan bergosip, tapi perbuatan meng-gosip secara moral tetap salah. Kita mungkin merasa takut-takut ketika mengaku telah berbohong tapi keputusan mengaku ini adalah benar. Sejalan dengan ini emosi juga tidak membuktikan benar atau salah. Fungsi menganalisis benar salah dan membuat pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan bukan ada pada emosi tapi pada akal budi yang memiliki pemahaman dan keyakinan akan kebenaran.
Ketika suatu keputusan diambil dan dilaksanakan berbagai emosi akan mengikut. Ketika keputusan yang kita ambil benar maka seharusnya emosi yang mengikut itu yang sehat. Misalnya, setelah membuat berbagai pertimbangan, seseorang memutuskan untuk mengaku bahwa dia telah berbohong kepada seseorang. Ketika pengakuan sudah dia lakukan, seharusnya kemudian dia mengalami kelegaan dan sukacita karena telah melakukan sesuatu yang benar. Karena itu menjalankan kebenaran akan memberikan pengalaman-pengalaman emosi yang sehat.
Ketika Allah memerintahkan manusia berubah, Dia memerintahkan perubahan mulai dari akal budi, tidak dari emosi kita (lihat Roma 12: 2). Emosi harus diletakkan di bawah pikiran. Kalau kita meletakkan pikiran di bawah emosi, maka pikiran akan dengan mudah melanggar norma-norma dan standar-standar yang ditetapkan Allah. Akibatnya kita bisa bertindak yang salah dan merusak, termasuk merusak emosi kita sendiri. Tuhan memberkati.v