
Pdt. Bigman Sirait
Reformata.com – Vandy yang dikasihi Tuhan, senang mendapatkan pertanyaan anda, apalagi jika bisa menuntaskannya dengan baik. Pertanyaan tentang iman Kristen dan spritualitas, mana yang menyelamatkan, agak membingungkan saya. Karena itu, yang pertama kita lakukan adalah merekontruksi lebih dulu makna dari iman dan spritualitas. Iman adalah apa yang kita percaya. Dalam hal ini tentu terbentuk sebuah pemahaman iman yang kita sebut secara umum sebagai doktrin atau dogma. Sementara spiritualitas, berbicara tentang hal yang berhubungan dengan kejiwaan atau kerohanian. Maka keduanya ada pada ranah yang sama, dan sudah tentu tidak pas jika kita pertanyakan mana yang menyelamatkan.
Iman harus diperbandingkan dengan perbuatan sebagai tindakan atas iman itu sendiri. Jika ini, tepat untuk kita pertanyakan, mana yang menyelamatkan iman atau perbuatan. Sementara spiritual lebih tepat kita perhadapkan dengan ritual, yaitu tindakan beribadah sebagai ekspresi dari manusia batin kita. Nah, ini yang pas untuk dipertanyakan, mana yang menyelamatkan. Mari kita urut lebih lanjut. Mengkonfrontasi iman dan perbuatan sejatinya kurang tepat. Hanya saja, fakta kehidupan menunjukkan banyaknya orang mengaku beriman tetapi tidak berbuat sesuai dengan apa yang diimaninya. Mereka mengatakan Allah itu kasih dan mengsihinya, namun manusia beragama seringkali tidak mengasihi sesamanya. Sehingga apa yang diimaninya tak sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Sementara kelompok lain berlomba berbuat kasih dan mengabaikan soal beriman, dengan meyakini perbuatanlah menjadi basis keselamatannya. Yakobus menuliskan hal ini dengan sangat lugas (Yakobus 2:14-26), namun banyak juga disalah pahami orang Kristen. Dalam suratnya, Yakobus dengan jelas mengkritik orang Kristen pada masanya yang seringkali pongah dengan keimanannya, namun lalai dalam berbuat. Kritik Yakobus sangat tepat, karena pernyataan iman kristiani harus menjadi penyataan dalam tindakan. Yakobus berkata; iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26). Artinya, bukan iman tidak berarti apa-apa, atau perbuatan lebih penting dari iman. Sebaliknya, Yakobus ingin mengingatkan umat bahwa jika mereka adalah orang beriman, pasti mereka akan berbuat. Dan, jika mereka tidak berbuat itu hanya menandakan bahwa sejatinya mereka bukan orang beriman.
Tuhan Yesus pernah berkata, bahwa pohon dikenal dari buahnya (Matius 7:16-17). Jadi, sangat jelas apa yang dikatakan oleh Yakobus, bahwa orang beriman pasti berbuat. Mengaku beriman tapi tidak berbuat, itu adalah palsu, atau sama saja orang tidak beriman. Mulutnya mengucap, namun perbuatannya membantah, itulah gambaran yang tepat. Jadi sekali lagi, Yakobus tak bermaksud membenturkan iman dan perbuatan, sebaliknya justru mengingatkan orang beriman agar berbuat benar. Oleh karena itu, beriman tapi tak berbuat adalah mati, sama saja dengan berbuat tapi tak beriman. Iman dan perbuatan tak terpisahkan. Keduanya bagaikan koin dengan dua sisi. Rasul Paulus berkata, kerjakanlah keselamatanmu, artinya hidup dan berbuatlah sebagai orang yang diselamatkan (Filipi 2:12). Untuk ini Tuhan Yesus dengan jelas berkata, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:29).
Memang ada kasus menarik, misalnya seperti penyamun yang disalibkan disamping Tuhan Yesus, dia percaya dan diselamatkan. Penyamun itu disebut tidak berbuat. Nah, ini harus dipahami dengan jeli. Pertama, dia berbuat! Yaitu mengaku percaya, menyatakan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus. Yang kedua, berbuat lebih lanjut dalam kehidupan, bukan tidak dilakukannya, karena memang tak ada waktu bagi dia. Nah, orang yang diselamatkan dan memiliki waktu melakukan apa yang Tuhan perintahkan, tak boleh berdalih dengan memakai peristiwa ini. Disisi lain, Alkitab berkata, bahwa kita diselamatkan adalah anugerah dan bukan usaha (Efesus 2:8-10). Itu betul. Artinya kita diselamatkan karena beriman kepada Yesus Kristus, tetapi jangan lupa, orang yang beriman akan berbuat dalam kehidupannya. Jangan lupa juga, bahwa surat Filipi dan Efesus ditulis oleh orang yang sama, yaitu rasul Paulus. Jadi, sekali lagi, iman dan perbuatan tak terpisahkan. Perbuatan adalah produk iman, dan bukan sebaliknya.
Nah, Vandy yang dikasihi Tuhan, semoga anda bijak dan tidak terjebak, fenomena kehidupan orang beriman (baca; Bergama). Sementara soal spiritual dan ritual, senada dalam bentuk yang sedikit beda. Ritual lebih mengacu kepada ibadah, artinya orang ke gereja, rajin berdoa, bahkan semalaman. Tak pernah absen beribadah, dan juga tak pernah absen persembahan persepuluhan. Sering memberi kesaksian, dan terlibat dalam banyak kegiatan kerohaniaan. Namun ternyata, kehidupan kesehariannya tak sejalan dengan ritual yang dijalaninya. Ini kita sebut sebagai orang yang memiliki ritual tapi minus spiritual. Manusia batiniahnya tak teruji. Ritual menjadi alat memanipulasi sekitarnya. Dalam suratnya di 2 Timotius 3:5-7, Paulus berkata supaya berhati hati pada mereka yang menjalankan ibadah (ritual), tetapi memungkiri kekuatannya (spiritual). Orang seperti ini tampak sangat rohani dalam baju ritualnya, namun sejatinya mereka sangat berbahaya. Singa berbulu domba itu kiasannya. Kejahatan mereka tercecer dimana-mana, tak cocok dengan perilaku ritual yang mereka punya. Jadi ritual hanyalah kamuflase belaka.
Pada masa sekarang ini dengan mudah kita akan menemukan orang Kristen yang seperti ini. Bukan hanya dilevel aktifis, bahkan rohaniawan sekalipun. Saat ini ada banyak kisah tak sedap tentang penggelapan pajak, uang, kasus homo, hingga PIL dan WIL, yang melanda rohaniawan “kelas dunia”. Simaklah kabar duka dari Amerika, Singapura, Korea, dan Indonesia juga. Belum lagi dari Afrika dengan sejumlah kisah yang memilukan gereja. Para pengkhotbah terbelenggu kasus amoralitas, padahal mereka adalah tokoh ritualitas yang “hebat”. Nah, Vandy yang dikasihi Tuhan, ini perlu lebih ekstra hati hati lagi,dan jangan sampai membuat kekecewaan mendalam. Karena itu, pertanyaan kamu memang sangat perlu agar kita bisa mawas diri. Spiritual dan ritual harus sejalan, disanalah tampak keselamatan itu.
Ritual adalah ekspresi yang keluar dari sebuah spiritual yang sehat. Awas, jangan terjebak perangkap ritual yang akhir-akhir ini sangat marak dan menggoda. Tampaknya benar, padahal sangat berbahaya. Bahkan dalam ritual masa kini, gereja seringkali berubah fungsi menjadi pusat “entertainment rohani”, dan para pengkhotbah menjadi motivator dengan kemampuan “menyihir” pendengarnya. Umat suka melahap produk murahan yang ternyata beracun. Kebenaran memang seringkali terasa menyakitkan. Sementara umat suka yang menyenangkan telinga. Tapi disanalah spiritual akan teruji. Mari mencintai kebenaran melebihi apapun, dan menjadi orang Kristen yang seimbang dalam iman dan perbuatan, spiritual dan ritual.