Raymond Lukas
Reformata.com – Melanjutkan tulisan saya bulan lalu tentang dua buah slide presentasi seorang pengusaha nasional yang pernah memberikan seminar kepemimpinan yang kebetulan pernah saya hadiri. Slide pertama sudah kita bicarakan, dan sekarang mari kita lihat slide yang kedua.
Slide kedua tersebut berjudul ‘Leadership’ atau ‘Kepemimpinan’. Ada 3 bullet point dalam slide ini yaitu:
1. Lead by example
2. High standards
3, Care about your people
Menarik, apa yang beliau ungkapkan mengenai leadership.
1. Lead by example
Disini kita diberikan pengertian, bahwa kepemimpinan yang efektif bukan sekedar teori-teori kepemimpinan yang canggih, tetapi lebih kepada memberikan contoh yang baik dalam tindakan kita sendiri sebagai seorang pemimpin. Pemimpin yang baik bukanlah pemimpin yang berada dibelakang meja setiap saat. Namun dia adalah seseorang yang bersedia keluar dari mejanya dan terjun secara langsung ke lapangan. Dengan demikian dia akan lebih mengerti tentang apa yang terjadi dan dengan demikian akan menjadi lebih bijak dalam keputusan yang
diambilnya. Kita melihat hal ini dalam kepemimpinan Tuhan Yesus. Beliau tidak hanya berada dalam sebuah bait Allah atau sebuah rumah dan memberikan instruksi. Namun, Yesus adalah pemimpin yang berada dilapangan. Dia berada di bukit dan berkotbah. Dia berada di perahu, ketika murid-muridnya diserang badai di danau Galilea. Yesus juga berada dijalanan, saat menyembuhkan orang-orang sakit. Yesus bahkan mengunjungi rumah-rumah dan makan bersama dirumah seorang pemungut cukai.
Luar biasa! Kepemimpinan Yesus yang „hands-on“ menghasilkan hal-hal yang spektakular. Asal kita mau ‘turba’ alias turun kebawah, maka sebagai pemimpin kita akan menghasilkan hal-hal yang besar. Ya, sepanjang sejarah kita banyak membaca dan mendengar pemimpin besar dan inspiratif tidak menggerakkan tim dari meja kerjanya. Kita lihat antara lain Mahatma Gandhi, Winston Churchill, George Patton, dan Mother Teresa – mereka adalah orang-orang lapangan.
Sayangnya di jaman modern ini kita banyak melihat pemimpin-pemimpin yang kurang “hands-on” dan tidak memberikan contoh yang baik. Mereka tidak mengetahui secara langsung apa yang sedang terjadi dilapangan, karena mereka jarang sekali terjun ke lapangan. Mereka mengira bisa mengatasi semuanya secara ‘remote’ melalui e-mail, atau melalui ‘blackberry’ dan ‘Ipad’. Seorang pemimpin yang saya kenal mengeluhkan telinganya yang sakit karena radiasi telepon genggam. Tidak aneh, karena 95 persen waktunya digunakan untuk menelepon anak-anak buahnya melalui handphone. Dengan demikian, dia mungkin hanya mendapatkan informasi yang bagus-bagus saja,
namun tidak mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya.
Disebuah perusahaan dimana ‘climate’nya sudah sangat memburuk, namun para pemimpinnya masih tenang-tenang saja, bahkan sangat sibuk jalan-jalan keluar negeri dan tebar pesona. Meraka tidak mau mengukur situasi dalam perusahaannya dengan semacam “climate survey” dan mengetahui gejolak apa yang sebenarnya sedang terjadi didalam perusahaan. Mereka hanya sibuk memadamkan “kebakaran” yang terjadi dengan pemadam ampuh, termasuk kekerasan dalam tindakan untuk “membungkam” suara-suara yang merugikan mereka. Seringkali pemimpin tidak memberikan contoh yang baik.
2. High standards.
Standard yang tinggi. Salah satu ayat dalam Alkitab mengatakan: “Apabila kamu melakukan sesuatu, lakukanlah yang terbaik, seperti kamu melakukannya untuk Tuhan”. Hal tersebut menunjukkan betapa tingginya standard yang harus kita berikan dalam bekerja. Karena. Kita tidak mungkin memberikan hal yang ‚buruk‘ untuk Tuhan bukan?.
Nah, seringkali banyak orang bekerja tanpa standard. Asal-asalan saja, pokoknya selesai. Apa yang diminta, itulah yang saya lakukan, sekalipun hasilnya jauh dibawah standard. Padahal, dijaman ini banyak perusahaan menuntut hasil yang terbaik. Mereka menuntut ‘extra miles’, artinya kalau melakukan sesuatu hasilnya ‘A’, mereka menuntut pegawainya memberikan ‘A Plus’.
Contoh sederhana misalnya, dalam sebuah persekutuan doa disebuah perusahaan, dimana pengurusnya adalah pegawai perusahaan tersebut – seringkali saya melihat pengurusnya melakukan manajemen ‘asal’ saja, pokoknya ‘rutin’ saja, ya – setiap Jum’at harus ada persekutuan doa, dan itu sudah cukup. Namun mereka tidak melakukan ekstra miles. Misalnya, mereka tidak memberikan informasi lengkap dan jelas dimana lokasi ibadah Jum’at tersebut. Seharusnya pemberitahuan tempat ibadah kepada pihak lain, misalnya pengkotbah yang diundang disampaikan dengan tepat dan jelas sehingga pembicara tidak datang terlambat karena daerah sekitarnya macet. Ditambah sulitnya mencari tempat digedung parkir, atau salah dalam memilih lift ke lantai yang dituju. Jadi tidak cukup memberi tahu tempat ibadah kita di lantai 20 gedung A. Koordinator ibadah harus memberitahukan dengan jelas lokasi tempat ibadah, misalnya “Lokasi ibadah kami di Gedung A, jalan Jendral Sudirman Kav. 9. Lokasi disekitar gedung kami pada jam 12:00 sangat padat, jadi mohon sediakan waktu perjalanan yang cukup dari rumah Bapak/Ibu. Gedung parkir kami ada dibagian belakang gedung perkantoran A dan cukup padat juga. Sesampainya di lobby gedung A, pakailah lift bagian kanan yang bisa menjangkau lantai 20. Jadi, jangan gunakan lift yang disebelah kiri, karena hanya melayani sampai kelantai 10. Setibanya di lantai 20, ambillah jalan kelorong sebelah kiri. Ruang ibadahnya ada di ujung kanan lorong tersebut”.
Jadi, lakukanlah yang terbaik dengan standard yang tinggi. Kita tidak berbicara tentang ‘kesempurnaan’ disini, karena pastinya tidak ada hal ciptaan manusia yang sempurna. Kita hanya berbicara tentang melakukan yang terbaik.
3.Care about your people.
Disini kita berbicara tentang ‘kasih’. Tuhan mengajarkan kepada kita untuk mengasihi orang lain, seperti kita mengasihi diri sendiri. Namun, kenyataannya banyak pemimpin lebih mengasihi dirinya sendiri dan kroninya, daripada para pegawainya. Sebagai contoh, asuransi kesehatan disebuah perusahaan dibuat sangat minim sehingga para pegawainya mendapatkan fasilitas kesehatan dengan pelayanan yang kurang memadai. Padahal, notabene perusahaan memiliki keuntungan yang cukup dan sanggup membayar untuk mendapatkan jaminan kesehatan yang lebih baik. Ada juga perusahaan yang sangat pelit dalam kebijakan-kebijakannya bukan karena tidak mampu, namun lebih kepada tidak adanya niat untuk menghargai karyawannya sebagai asset dan bukan sebagai beban.
Rekan pemimpin Kristiani yang budiman, ketiga hal yang disebutkan pengusaha nasional tersebut dalam slidenya, sangatlah penting dan vital untuk kita perhatikan. Apalagi sebagai pengusaha kristiani yang seharusnya lebih handal dari pengusaha manapun. Itulah yang membuat sang pengusaha pembuat slide tadi sangat berhasil sampai saat ini. Saya yakin, para pengusaha kristiani pasti bisa. v