Kejujuran Di Malam Natal

 Pdt. Bigman Sirait

Dalam kitab Amsal 14:2, dikatakan orang yang jujur adalah orang yang takut akan Tuhan. Sementara orang yang sesat adalah orang yang menghina Tuhan.  Seberapa pentingkah jujur di sini?  Masa sekarang adalah masa yang kritis. Orang kerap diperhadapkan pada nilai yang dijungkirbalikkan dan membingungkan.  Ada pameo yang menyebutkan kalau orang jujur tidak akan bisa kaya dan berhasil. Karena itu, kalau ingin berhasil tidak perlu terlalu jujur.  Ini tentu membuat kita menjadi bingung ketika kita ingin jujur. 
Anak-anak yang belajar di luar negeri diajarkan berintegritas, katakan “Tidak” untuk “Tidak,” dan katakan “Ya” untuk “Ya”.  Lalu, ketika pulang ke tanah air, lingkungan justru berpihak sebaliknya, katakan “Tidak” untuk “Ya,” dan katakana “Ya” untuk “Tidak”.  Itu yang membuat mereka bingung, kecewa, mengalami shock culture yang akhirnya membuat frustasi lalu minta kembali ke luar negeri.  Atau, mereka berubah sama sekali dan nilai-nilai baik itu hilang sudah.  Ini adalah kengerian yang luar biasa, karena anak-anak merasa kebenaran tidak lagi menyenangkan.  Kebenaran menjadi sesuatu yang membahayakan. Situasi krisis yang sangat mengerikan, lebih dari apapun. 

Orang Jujur Tidak Kaya
Apakah betul orang yang jujur itu tidak bisa kaya?  Ayub seorang yang dikenal saleh, orang yang jujur dan takut Tuhan ternyata hidupnya kaya-raya diberkati  Tuhan.  Orang jujur yang kaya, kekayaannya itu akan bersifat abadi dan kuat, karena dia kaya dalam kejujuran.  Kejujuran juga akan menambah persahabatan dalam sepanjang jalan hidupnya.  Ayub mengalami celaka, dia mengalami kengerian, itu karena Tuhan menginginkan itu terjadi dalam hidupnya.  Allah hendak menguji dia dan meng-upgrade kehidupannya.  Ini bukanlah bentuk kutukan dan sebagainya. Orang jujur diberkati Tuhan, Ayub mengalami hal itu.  Berkat diterimanya lewat proses peningkatan kualitas mutu keimanan.  Pengenalan akan Tuhan menjadi persitiwa spektakuler yang tidak biasa, yang tidak banyak orang bisa merasai. 
Belum lama ini, di Jawa timur, ada seorang murid tidak mau menerima contekan masal ketika UAN.  Lalu dia memberi tahu pada orang tuanya, dan orang tuanya dalam rangka menegakkan kejujuran sebagai budaya penting pada anak melaporkan apa yang terjadi.  Alih-alih mendapat dukungan dari banyak orang, orang sekitar justru memandang laporan itu berbahaya bagi kelulusan anak mereka.  Pasca insiden itu si ibu yang jujur terpaksa mengungsi.  Sementara si  anak, tentu saja mengalami kekecewaan atas kejujuran yang diajarkan oleh gurunya, tetapi dilanggar oleh guru yang sama.  Namun amat disayangkan, kendati persoalan itu dapat diselesaikan secara damai, namun ketidakjujuran tetap menang karena jumlah banyaknya orang. 
Moment Natal adalah kesempatan yang tepat untuk kembali merenungkan, berimajinasi seolah-olah kita sedang berdialog dengan Tuhan Yesus Kristus.  Dalam dialog imajiner itu kita dapat bertanya, Tuhan betulkah aku merenungkan Mu?  Betulkah aku mengasihi Mu? Sama seperti pertanyaan Yesus pada Petrus “Apakah engkau mengasihi Aku?” yang ditanyakan  sebanyak tiga kali.  Dijawab Petrus dengan spontan, tidak digumuli. Jawaban kedua sama spontannya, tak lebih dari  pembelaan diri.  Tetapi ketika tiba pada jawaban ke tiga Petrus atau bahkan jika kita  menjawabnya akan mulai sedih, diam, mulai berpikir, lalu jujur berkata kepada diri, sebetulnya akau mencintai Dia atau tidak? Sebetulnya aku mengasihi Dia atau tidak? Akhirnya batin kita menjadi terbuka, sobek dan kita menangis.  Jujur Tuhan aku ingin mengasihi-Mu sekalipun aku seringkali gagal.  Jawaban yang penuh dengan linangan air mata, jawaban yang datang dari sebuah penyesalan.  Jawaban jujur bukan jawaban yang spontan.  Jawaban jujur, digumuli, adalah jawaban yang disertai air mata.  Itulah jawaban petrus. 
 Permenungan ini penting untuk menyadari posisi diri.  Dan kalau kita mengasihi, betulkah kita sudah mengasihi Dia dengan jujur dalam hidup.  Bagaimana mungkin bisa berkata bahwa kita mengasihi Dia tapi kita tidak jujur dalam hidup.  Sebab tidak jujur berarti tidak mengasihi Dia.  Hanya orang yang tidak takut pada-Nya  yang berani tidak jujur.  Kalau kita mengasihi Dia, kita takut kepada Dia.  Oleh karena itu merindukan kejujuran di moment natal, sama seperti apa yang dikatakan dalam Alkitab, siapa orang yang berjalan dengan jujur  itulah orang yang takut akan Tuhan.

Jujur Pada Diri dan Pasangan
Dalam hidup di keseharian, kita diperhadapkan pada pertanyaan, jujurkah aku terhadap diriku dan pasangaku?  Ada orang bilang, orang yang sering-sering romantis itu kebanyakan tidak jujur.  Dalihnya, keromantisan seringkali sekadar untuk menutupi kesalahan mereka di luar sana.  Betul ada orang berusaha romantis untuk menutupi kesalahan, tetapi, yang tidak romantis juga tidak sama dengan jujur.  Kejujuran dan ketidakjujuran bukan sekadar sikap romantis atau tidak romantic terhadap pasangan.  Karena orang bisa jujur dalam romantisnya, dan bisa tidak jujur dalam ketidakromantisannya.  Karena itu kejujuran bukan soal packaging dan aksesorisnya.  Kejujuran adalah soal sikap dalam batin yang  mendalam, sehingga menjadi tindakan yang terukur dan teruji.  Kejujuran inilah yang harus dilakoni. 
Jujur menjadi sesuatu yang penting untuk ditelaah dan teropong, lalu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, jujur kah aku?  Ironis jika kita terlalu jauh berdiskusi, berbicara tentang jujur pada Allah, tetapi pada pasangan sendiri tidak jujur.   Atau jangan-jangan kejujuran kita pada diri, pada apa yang dikatakan, dan yang diekspresikan pun masih perlu dipertanyakan.  Jujur terhadap diri dan jujur terhadap pasangan adalah bentuk  jujur satu langkah keluar, dan satu langkah kedalam.  Dia ada di sekitar kita, di keseharian kita. Orang yang takut Tuhan itu jalan dalam kejujuran.  Bukan hidup yang penuh dengan kepalsuan, kamuflase, penuh dengan lapisan-lapisan.  Dengan itu sejatinya, orang tidak ada dalam kejujuran. 
Malam natal menjadi malam yang penting dalam perenungan pribadi tentang apakah kita jujur terhadap diri,  jujur terhadap Tuhan.  Masalahnya ketika kita memulai penilaian, perenungan tentang kejujuran diri, acap kali itu pun diwarnai dengan ketidakjujuran, menambah ruwet dan kacau lagi.  Sulit menemukan kejujuran, karena kejujuran sebatas asesories. 
Jujur yang lain adalah, apakah kita jujur terhadap lingkungan, entah itu didalam gereja atau masyarakat di sekitar.  Jujurkah kita mengucap kata Tuhan dan mengucap firman.  Beribadah sebagai orang kristen itu soal mudah, itu bukan perkara sulit.  Jangankan soal kristen, berkhotbah pun itu soal mudah, sekadar persiapan diri soal teknis penyampaian.  Dengan berbagai bumbu dan trik kita bisa membuat pendengar kagum pada kita.  Tetapi, sesungguhnya apa yang kita ucapkan hanyalah tumpukan sampah yang kelak akan terasa baunya dan akan menyakitkan ketika orang menyadarinya.  Setumpuk masalah akan berbalik kepada kita.
Jujur adalah kata sederhana yang mudah diucapkan.  Jujur adalah gugatan yang mudah untuk dikatakan. Karena itu cobalah, lihatlah, ketika orang mengambil sumpah jabatan, semua bersumpah untuk bertindak jujur dan tidak melanggar hukum.  Apa lacur semua yang bersumpah itu nyaris semua tidak jujur dalam bekerja.  Nyaris semua melanggar, berbuat kesalahan.  Karena itu, Natal dan kejujuran sudah seharusnya menjadi kerinduan ditengah langkanya kejujuran untuk ditemukan. Ja-ngan lewatkan natal demi natal dalam rutinitas yang  mengerikan, kebaktian demi kebaktian, mulai dari kantor, keluarga, ikatan kampyung, gereja dan seterusnya, bergulir kita melakukan. Entah berapa natal kita jalani,  tapi saying kita tidak pernah jujur terhadap  semuanya betapa kita hanya terjebak pada kegiatan saja. 
Merindu kejujuran dimalam natal adalah pikiran orang yang takut pada Tuhan.  Orang yang rindu berjalan pada jalan Tuhan.  Orang tidak takut Tuhan sudah menunjukkannya dengan ketidakjujuran.  Karena orang tidak jujur hanya bisa tidak jujur kalau dia takut tuhan.  Dia berpikir Tuhan tidak tahu, dia berpikir Tuhan tidak melihat.   Itu sebab dia menabraknya, mengkamuflasenya, tidak jujur disana.  Selamat jujur terhadap diri, jujur terhadap pasangan, terhadap lingkungan, bahkan jujur terhadap kata-kata yang kita ucapkan.  
(Disarikan dari CD Khotbah Populer oleh Slawi)
   

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *