Rajut Nilai Kekekalan Di Kesementaraan

 Pdt. Bigman Sirait

Dalam jaman dan era apapun selalu saja ada orang yang terjebak dalam perilaku keagamaan (religiousitas), tetapi kehilangan spirit atau jiwa keagamaan (spiritualitas).  Ironis, orang-orang seperti ini, seperti dikisahkan dalam kitab Matius 6:1-4,  di dalam kesementaraan (berbicara tentang waktu di dunia) mereka mengerjakan segala sesuatu justru sebagai topeng.  Memberi dan berdoa dengan cara yang sangat mencolok, berharap orang akan melihat dan kagum karenanya.  Terjebak dalam ritual-ritual tertentu, atau malah sengaja menjebakkan diri agar dia disebut sebagai orang baik, orang hebat, atau orang saleh.  Menariknya, umumnya orang seperti itu bersedia dan mau melakukan itu di mana saja dan kapan saja,  sepanjang ada orang yang berkenan menyebut mereka ini sebagai orang beragama, atau orang yang baik.  Tidak tanggung-tanggung, melakukannya dengan memberi banyak waktu, tenaga, bahkan uang – tidak melakukan dalam rangka  memenuhi panggilan Tuhan, tapi ritual untuk sebuah status tertentu.  Ya.. sebuah status untuk kepuasan diri agar dikenal sebagai orang baik.  Orang yang seperti itu membeli kehormatannya dengan ritual atau tindakan keagamaan.   Itulah pekerjaan orang munafik yang melakukan tindakan keagamaan untuk mencari pujian. 

Jebakan Status dan Kepuasan Diri
Ciri lain pecinta status “orang baik” ini, dia getol betul melayani ke banyak tempat dan orang, tetapi tidak berani fokus pada satu pelayanan tertentu dengan konsekuensi risikonya.  Memang, bukan sesuatu yang salah melayani ke banyak orang, tetapi motifnya yang membuat dia salah.  Motif itu pula yang menghantarkan dia ke tempat “pelayanan” yang tak lebih dari obyek atau lokus pemuasan diri dan statusnya.  Jadi bukan karena orang itu sedang menjawab panggilan Tuhan yang membawa dia kemana saja.  Mirip orang benar memang, tetapi sesungguhnya tidak benar.  Hanya kebetulan rela memberi harta finansialnya dengan maksud dan harapan mendapat pujian dari orang. 
Di samping ingin pujian, orang-orang seperti ini juga mencari kepuasan bagi dirinya.  Tak heran jika orang-orang “pencari kepuasan diri” ini adalah orang yang sedang mengalami stress berat, banyak permasalahan, yang dengan cara itu dia coba lari dari kenyataan.  Dan tempat pelariannya adalah ke dalam ibadah gereja, atau tempat persekutuan.  Mungkin orang akan beropini, bahwa itu adalah pilihan bagus dan tepat bila dibanding melampiaskannya ke tempat-tempat seperti Night Club.  Betul, bagus, kalau dia memang bertobat, tapi persoalannya adalah, kalau dia kemudian bercokol di situ dan lantas menjadi bebal.  Karena itu, lebih baik orang jahat ada di tempat jahat, daripada orang jahat menjadi jahat di tempat kebaikan.  Orang seperti ini jahat sekali dan akan sulit untuk dirubah.  Acap kali mendengar hal baik, tapi tidak juga lekas berubah, malah menjadi bebal – mampu menyembunyikan diri, dan hati nuraninya mati. 
Realita seperti ini sangat banyak dalam orang, bahkan di kehidupan berjemaat.  Karena itu, setiap orang perlu jujur agar tidak terjebak dalam perangkap salah setan yang memang senang dengan kemunafikan.  Jika dalam kesementaraan saja orang sudah gagal dan tidak mendapat apa-apa, bagaimana dalam kekekalan.  Dalam kesementaraan orang tidak berhasil menemukan nilai tentang hidup yang baik, bagaimana dengan kekekalan kelak? Maka waktu-waktu yang dilewati menjadi waktu yang tidak bernilai. Karena semua berorientasi pada diri, kepuasan diri, dan bagaimana pengakuan orang yang diharapkan terhadap diri. 
Beda betul dengan sikap orang bijak.  Dalam kesementaraan, orang bijak akan berkarya secara luar biasa.  Seperti yang dikatakan dalam kitab Matius, jika memberi dengan tangan kanan, hendaknya tangan kiri mengetahuinya.  Memberi bukan mengharapkan pujian orang, bukan pula untuk kepuasan diri.   Memberi mempunyai kepuasan nilai dalam kesementaraan karena memberi dengan kejujuran dan ketulusan.  Menolong orang, membantu orang, dan melayani pekerjaan Tuhan dengan daya yang dimiliki menjadi sesuatu yang menyenangkan.  Ketika orang lain tahu hal itu, tentu mereka akan menaruh respect – orang akan menghargai apa yang dilakukan dengan kejujuran.  Tetapi penghargaan orang dan pujian orang tidak lantas membuat orang bijak menjadi besar kepala, karena kejujuran mendasari dan menjadi warna seluruh tindakan. 
Ketika orang merasakan keuntungan atas apa yang dikerjakan, tetapi diri tetap terjaga dan tidak hanyut dan lupa diri karenanya, bukankah waktu dalam kesementaraan telah dibuat bernilai.  Ya… itu adalah keuntungan ganda – waktu menjadi bernilai, banyak orang tahu apa yang sudah dikerjakan, lalu mereka belajar mengerti arti dari sebuah kebaikan dan cinta kasih.  Sebaliknya, bagi orang bijak, ketika orang senang, sendiri pun senang, tetapi tidak terbuai dan hanyut tenggelam dalam luapan-luapan kepalsuan.  

Merajut Nilai Kekekalan.
Dalam kekekalan tidak ada hitungan waktu, sebab kekekalan melintasi waktu.  Waktu bernilai dalam kekekalan sebenarnya adalah waktu kesementaraan yang membawa orang pada kekekalan.  Di sana ada nikmat gairah dan kemenangan yang bergerak dari waktu yang sementara.  Karena itu, orang haruslah me-manage betul waktu kesementaraan agar sungguh-sungguh menjadi waktu yang bernilai dalam kesementaraan, yang pada akhirnya dapat memberi nilai ke dalam kekekalan. Sehingga, dalam kekekalan, orang menjadi hidup seperti hidup yang Tuhan kehendaki – sama seperti apa yang Tuhan ajarkan – janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.   Berbuat  bukan karena ingin orang memuji, bukan pula memuaskan keinginan diri, tetapi berbuat karena kepuasan yang sebelumnya Tuhan sendiri telah beri.  Berbuat karena memang itu perintah Tuhan dan dalam rangka menaati.  Berbuat dalam kerinduan sebagai orang percaya yang ingin memuliakan Tuhan.  Itu berdampak dalam kehidupan yang membawa pada kekekalan.  Alkitab dalam kitab Korintus, menyebutkan bahwa Karunia  dan Nubuat akan habis, tetapi Kasih tidak.  Ya… sesuatu yang bernilai dalam kekekalan itu adalah Kasih.  Kalaupun ada karunia, itu dalam rangka menegakkan kasih.  Sementara semangat jaman ini, karunia justru dalam rangka untuk memegahkan diri, itu berbahaya.  Belum lagi kehausan orang atas apa yang diinginkannya, ditambah hal-hal yang sensasional, menggoda orang terjebak dalam perangkap karunia – mengabaikan cinta kasih. 
Setiap orang harus memiliki waktu yang bernilai di kesementaraan untuk memberi nilai di dalam kekekalan, maka hal-hal yang bernilai dalam kekekalan yang perlu mendapat perhatikan adalah Kasih.  Dalam kesementaraan mari menumpuk kasih dalam pengertian melakukan kasih dan hidup di dalam kasih. Karena kasih selalu menembus pergumulan, perkutatan, persoalan di tengah-tengah kehidupan dunia ini.  Kasih akan menerobos masuk ke dalam surga, karena dia ada tempat di sana.  

(Disarikan Dari CD Khotbah Populer oleh Slawi)

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *