Membaca tulisan Pak Bigman pada rubrik “Mata Hati” edisi 147 lalu, saya jadi tergelitik untuk sedikit berkomentar, sekaligus bertanya. Pak Bigman menilai apa yang dilakukan Sondang sebagai sebuah “Perjuangan cara baru”. Untuk mendukung ide itu Bapak mengajak pembaca melihat persoalan itu dari kacamata sosial-politik, kacamata manusia, dan bukan kacamata teologis. Alibi untuk hal itu, menurut Pak Bigman itu berada dalam ranah misteri Allah, dan manusia tidak perlu turut campur di dalamnya. Berdasarkan itu Pak Bigman lantas mengajak memperbincangkannya dari sudut manusianya saja. Simpulannya, apa yang dilakukan Sondang Bapak sebut sebagai Mengorbankan Diri dan bukan BUNUH DIRI, meskipun caranya berkorban dipandang sebagai tidak lazim.
Saya tertarik membandingkan apa yang Bapak sebut sebagai “Pengorbanan Diri” itu dengan pernyataan Bapak dalam rubrik “Konsultasi Teologi” edisi 116 berjudul “Bunuh Diri Demi Anak, Diijinkan Tuhan?“. Keduanya sama berisi tentang “pengorbanan diri“, bedanya, yang satu katanya untuk bangsa (orang banyak), sementara dalam edisi 116 itu si ibu berkorban untuk anaknya.
Persoalannya, dalam kasus ibu bunuh diri untuk anaknya Pak Bigman melihat itu sebagai cara mati yang tidak diperkenan oleh Tuhan, maka dia harus bertanggung jawab atas tindakannya, dengan merujuk pada ayat Alkitab “jangan membunuh!” (Keluaran 20:13). Sebab Tuhan pemilik hidup, manusia tak boleh mengambil hidup orang lain, atau menghabisi hidupnya sendiri (bunuh diri). Bapak juga menekankan prinsip bahwa tidak ada orang bunuh diri dibenarkan dengan atau oleh alasan apa pun. Bahkan Bapak menganggap ide bunuh diri bukanlah ide yang baik, sebaliknya, ide yang sangat bertentangan dengan ketetapan Allah. Tak hanya itu, Bapak juga mengingatkan bahwa realita hidup bukanlah alasan untuk melawan ketetapan Tuhan.
Pertanyaan saya, 1. mengapa dalam kasus Sondang Bapak justru melihat sesuatu yang berlawanan dengan ketetapan Allah (bunuh diri) itu sebagai sesuatu yang positif, sementara dalam kasus ibu itu tidak? 2. Bukankah seharusnya bukan BERANI MATI yang patut dibanggakan, tetapi BERANI HIDUP, seperti yang sering Bapak ulas melalui tulisan, diwarnai dengan mengerjakan keselamatan. 3. Apakah benar pengamatan saya, bahwa dalam hal ini Bapak sudah inkonsisten, mengingat apa yang Bapak sebut sebagai pengorbanan diri cara Sondang itu sebenarnya sudah menjadikan realita hidup sebagai alasan untuk melawan ketetapan Tuhan, meskipun dalam konteks yang lebih luas 4. Dengan memberi ulasan cara Sondang mati sebagai sebuah tonggak perjuangan cara baru, dalam kapasitas Bapak sebagai Pendeta, bukankah ini berdampak, setidaknya ada indikasi bahwa: Bapak sudah setuju dengan bunuh diri sebagai cara heroik dalam berjuang, sehingga tidak ada cara lain; atau bisa jadi pembaca menanggapi itu sebagai sebuah “ajakan” untuk berjuang dengan alternatif cara baru (bunuh diri). 5. Sebagai Pendeta, bukankah memang Bapak seyogyanya memberi penerangan atau pencerahan secara teologis – seperti yang sudah sering Bapak lakukan, dan bukan menghindari atau membatasinya atas nama konteks tertentu – kepada pembaca, agar mereka memiliki dasar atau mampu memfilter dalam melihat setiap hal (fenomena) di dunia ini. 6. Apakah dibenarkan untuk tujuan yang baik, bahkan mulia, apalagi bagi bangsa, cara yang ditempuh justru mendatangkan dosa. Atau apakah ini berarti dampak sosial yang ditimbulkan oleh Sondang bagi masyarakat yang sangat besar, hingga dijadikan sebuah tonggak perjuangan itu dapat melampaui/menutupi/menghilangkan sama sekali konsekuensi dosa bagi dirinya, yang mungkin lebih kecil? Mungkin pikiran bodoh saya ini terkesan picik dan sempit, tapi kalau benar, orang pasti akan berbondong-bondong meniru dia – tak berani menapaki hidup, tak berani menghadapi masalah hidup, kesal melihat kebobrokan aparat negri ini tapi tak bisa berbuat banyak, lalu memilih cara instant mengakhiri hidup dengan jihad, bunuh diri di depan istana, agar dibilang berkorban, menjadi martir bagi bangsa. Orang akan segera mengenang jasanya kemartirannya. Apalagi, iming-iming buah surga pun sudah di depan mata.
Tuhan memberkati!
Tobi Winda Putra
Surabaya
Yang terkasih Tobi di Surabaya, terimakasih untuk interaksi anda. Ini akan semakin memperkaya wawasan pikir kita atas realita hidup yang tidak sederhana. Lebih lagi, dalam konteks sosial politik, di mana gereja memang sering “absen”, dengan alasan klasik, politik itu dosa. Karena itu tulisan berjuang “cara baru” yang memang sengaja dibuat provokatif, ingin mengajak kita memikirkan tugas dan tanggungjawab secara kongkrit dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sebagai pendiri, selain mendirikan media Kristen (Tabloid Reformata, On Line; www.reformata.com, pemberitaan injil melalui Televisi dan Radio), juga mendirikan sekolah Kristen unggulan di pedesaan. Saat ini kita telah mendirikan SD, SMP, SMA, dan membiayai secara penuh puluhan anak-anak kita ke perguruan tinggi. Sebagai pendeta memang saya sangat konsen terhadap tugas mengaktulisasi mandat biblikal dan mandat budaya secara holistik. Senang sekali atas perhatian dan pertanyaan kritis anda. Mari kita telusuri dengan teliti.
1.Membandingkan langsung tulisan di edisi 116; Konsultasi teologi dengan edisi 147; Mata hati, perlu hati-hati karena penulisan dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Karena ini memang beda rubrik, sekalipun bukan berarti jadi beda kebenarannya, melainkan pendekatannya. Dalam kasus Sondang, tulisan tak fokus pada bunuh dirinya melainkan tujuannya. Jadi sama sekali tak membenarkan bunuh dirinya. Jelas tertulis dibagian 2 bawah, tujuan perjuangan Sondang tak bisa dengan segera membenarkan cara yang dipilih (membakar diri). Tapi jelas pula tujuannya berjuang bukan untuk diri, ini yang diulas dalam tulisan. Juga dituliskan tindakan Sondang sebagai paradoks.
2.Berani hidup untuk mengerjakan keselamatan, itu pasti, dan harga mati. Hidup untuk kebenaran. Namun juga tidak perlu takut mati untuk kebenaran. Apa yang dilakukan Sondang adalah berani menyatakan sikap politiknya. Namun pengorbanannya, dalam cara mati nya, membakar diri, lagi-lagi tak serta merta menjadi benar. Yang perlu dan jadi tujuan tulisan, adalah umat memikirkan apa yang kita lakukan dalam kehidupan ini.
3.Nah, soal apakah saya menjadi inkonsisten dalam kasus ini, jelas sama sekali tidak. Sebagai seorang yang konsen pada aspek teologis dan praksis memang tak selalu mudah. Namun menjadi inkosisten itu sangat bahaya, apalagi melawan ketetapan Tuhan. Dalam bagian 2 atas, tertulis, kedaulatan Tuhan terhadap cara matinya, sepenuhnya ditangan Tuhan dan tak tergugat. Jangan lupa, tulisan berjuang cara baru adalah melulu soal perjuangan dan bukan pembenaran cara mati. Hanya saja, hiruk-pikuk yang terdengar justru melulu soal kematian yang dikomentari, dan kehadiran tulisan ini untuk mengajak kembali memahami perjuangan yang ada. Untuk itu dibagian 3, jelas pula tertulis; membakar diri bukan untuk ramai-ramai diikuti, melainkan gerakannya untuk kepentingan orang banyak, bukan diri, ataupun sekedar denominasi gereja.
4.Bahwa tulisan berjuang “cara baru” bisa berdampak pada “ajakan” untuk berjuang dengan alternatif bunuh diri, amat sangat jauh. Dan saya, sudah pasti tidak ada di sana. Bahwa pembaca bisa salah mengerti, itu soal biasa. Membaca Alkitab saja sudah banyak tafsir yang bisa jadi bertolak belakang. Apakah dengan demikian Alkitab menjadi salah karena tafsiran pembacanya? Jelas tidak bukan! Paling tidak ini yang sedang kita bahas, memahami tulisan berjuang “cara baru” yang sebenarnya. Jika saja umat Kristen membaca Alkitab dengan benar, pasti tak perlu ada berbagai denominasi yang saling “serang”. Ini bisa terjadi ketika membaca sepihak, dengan mengabaikan maksud dan tujuan penulis.
5.Betul sekali, sebagai pendeta sudah seharusnya memberi pencerahan, seperti yang sudah anda sampaikan sendiri. Namun menghindari dan membatasi kebenaran tidak saya lakukan. Justru sebaliknya, bagaimana terlibat dan hadir pada disetiap konteks hidup, dalam hal ini berbangsa dan bernegara. Ada banyak cara aman bagi saya pribadi berbicara seputar gereja saja, dan memalingkan diri dari keseharian. Sebagai pendeta, saya mengajak umat kritis kepada realita hidup, dan tidak terjebak di mercusuar. Menerangi perpolitikan tanpa harus terlibat politik praktis, itu juga jelas, tegas, tertulis dibagian 4, bawah.
6.Jelas diatas, sudah disampaikan, tak ada tujuan mulia dalam konteks apa saja, menjadi pembenaran terhadap cara salah. Dalam etika dikenal Deontologi (kewajiban, artinya jalankan kewajiban sekalipun akibatnya tak “benar”) dan Teleologi (tujuan, capai tujuan yang “benar”, apapun caranya). Saya bukan penganut salah satunya. Etika yang bertanggungjawab, harus dibangun dalam konteks yang tidak sederhana, dan harus diuji, dan tidak berlawanan dengan Alkitab. Soal ini sangat luas, dan bukan topik bahasan, namun untuk menegaskan pemahaman saya soal tindakan etis. Soal dampak dari tindakan Sondang terhadap persoalan kebangsaan, itu soal lain lagi. Mengukur besar-kecilnya sebuah perjuangan, itu sangat relatif. Karena tidak ada perjuangan yang langsung selesai, tetapi menginspirasi gerakan yang mengikuti. Dampak ini memang ada dan jelas. Ini yang kita belajar tentang tujuan matinya, bukan cara matinya, yang adalah kedaulatan Allah yang mutlak dalam memberi vonis. Tak ada seorangpun yang berhak menggugat itu. Tapi semua kita berkewajiban berjuang dengan cara yang kita pahami benar.
Akhirnya, soal Sondang, adalah soal bagaimana berjuang demi ke pentingan bersama, dalam hidup bernegara. Ini juga harus dilakoni gereja yang sering menggugat tapi gagap bertindak. Sekali lagi, bukan soal cara matinya. Saya akan terus berjuang, perjuangan Sondang yang bukan pendeta “menggelitik” saya, namun tak terbersit sedikitpun ide untuk membakar diri, atau yang sejenisnya. Saya berharap semua kita yang menyebut diri orang percaya, terutama gereja sebagai institusi, berjuang dengan cara elegan, benar. Mari hancurkan korupsi yang menciptakan pemiskin an, telanjangi kemunafikan para pemimpin, tegakkan hukum demi keadilan dan kebenaran. Ada banyak cara, pilih di mana kapasitas kita tepat untuk ambil bagian, dengan pertama-tama bisa menjadi model hidup benar. Kita tak boleh cengeng terhadap realita sulit kehidupan, dan persoalan kebangsaan. Tetapi juga tak boleh berpangku tangan atas nama “anak manis”. Yesus hadir di kehidupan orang banyak dan menghardik keras kemunafikan dan berpihak pada kebenaran (Matius 23: 1-36). Paulus berkata dalam Roma 13, jangan takut terhadap pemerintah, kecuali engkau berbuat jahat. Karena itu hiduplah dalam kebenaran dan bersuaralah. Berjuanglah bukan supaya disebut pahlawan, tapi karena sudah semestinya, hidup untuk sesama. Semoga ini menjadi bahan renungan bagi kita semua, dan sekali lagi terimakasih untuk interaksi yang sangat baik, dari Tobi di Surabaya. Tuhan memberkati pelayan kita semua, di bidang apapun, hanya demi kemuliaan nama Nya.