Raymond Lukas
SEBAGAI pemimpin kita semua mengetahui, bahwa komunikasi merupakan alat yang terpenting untuk mengetahui perkembangan perusahaan kita. Salah satu bentuk komunikasi yang paling populer sampai saat ini adalah melalui memo, baik hardcopy memo maupun elektronik memo. Sebagai seorang pemimpin, Anda tentu menyadari banyaknya memo sampai ke meja Anda. Semua memo itu tentunya memerlukan perhatian Anda. Seringkali, penyelesaian hal yang disebut dalam memo tersebut tidak dapat langsung dilakukan oleh Anda sendiri, namun memerlukan tindakan dari bawahan ataupun tindakan beberapa orang/bagian di bawah Anda. Bahkan seringkali harus dikoordinasikan dengan bagian lain, di divisi yang berbeda. Tetapi intinya, Anda harus menggerakkan itu semua. Acapkali Anda harus mengirimkan kembali memo tersebut beserta catatan, atau yang biasanya disebut “disposisi” kepada bawahan atau bagian lain yang terkait. Nah, bagaimanakah cara mendisposisikan memo dengan baik?
Saya tertarik dengan sebuah artikel yang beredar secara elektronik tentang bagaimana Bapak Dahlan Iskan (sekarang Meneg BUMN) mendisposisi memo-memonya. Dalam artikel tersebut dikatakan, biasanya Pak Dahlan mendisposisi memonya dengan cara sederhana. Beliau hanya meneruskan memo-memo tersebut ke pihak/orang yang tepat dibawah koordinasi beliau. Artinya, beliau hanya menuliskan nama penerima diatas memo tersebut, tanpa banyak memberikan instruksi/perintah dalam disposisinya. Hal ini dilakukan, karena beliau yakin betul akan kemampuan bawahannya atau pihak penerima disposisi. Beliau percaya bahwa penerima disposisi, pertama adalah orang-orang yang tepat dan memiliki kemampuan untuk menangani hal yang disebutkan dalam memo. Jadi, kata beliau, untuk apa menuliskan instruksi macam-macam. Sebuah pandangan yang sangat moderat, tepat dan ‘encouraging’.
Namun tidak semua pemimpin memilih cara demikian. Seorang rekan saya yang bekerja di sebuah lembaga keuangan mengeluhkan cara atasannya mendisposisi sebuah memo. “Saya sering menerima disposisi memo yang sangat ‘discouraging’ Pak”, katanya. “Coba jelaskan maksud Anda”,
tanya saya. “Begini Pak, Seringkali memo disposisi yang saya terima berisi pertanyaan-pertanyaan atau tuduhan-tuduhan yang menakutkan.” Saya mengernyitkan dahi. “Coba ceritakan komentar atasan Anda”, Saya menggali lebih lanjut. “ Atasan saya bisa saja berkomentar “Angka yang diajukan terlalu besar, apakah ada yang mau mencuri dari perusahaan?” Hal lain misalnya, terkait hal yang kurang
beliau sukai, misalnya gambar desain iklan yang tidak cocok dengan selera beliau, maka komentarnya bisa, “desainnya jelek dan norak, harap lihat iklan-iklan majalah luar negeri. Jangan cuma lihat majalah lokal”. “Komentar seperti itu kan sangat ‘discouraging’ Pak. Kami tidak dijelaskan kekurangan desain tersebut dari sudut mana, hanya dikatakan ‘norak’ saja”. Saya menganggukkan kepala.
Memang menarik apa yang dilakukan pak Dahlan Iskan diatas. Menurut saya, itu cara terbaik. Namun tentunya tidak semua orang memiliki optimisme, kepercayaan dan semangat positif seperti Pak Dahlan Iskan. Banyak atasan, di berbagai perusahaan, misalnya di beberapa perusahaan keluarga, masih
menaruh curiga besar kepada bawahannya. Sulit memberikan kepercayaan, menganggap semua bawahan memiliki tendensi sebagai pencuri dan akibatnya perlu terus menghabiskan energi untuk mencurigai karyawannya. Jadi, kalau Anda belum memiliki semangat Pak Dahlan, maka
sebaiknya disposisi Anda dilakukan sebagai berikut:
1. Memberikan komentar dalam disposisi Anda secara spesifik. Artinya, Anda berkomentar secara khusus untuk hal yang menurut Anda perlu diberikan komentar. Anda tidak perlu menulis komentar yang panjang, namun pastikan bahwa Anda mengerti apa yang Anda komentari. Dalam contoh komentar biaya yang terlalu besar diatas misalnya, komentar Anda bisa dituliskan sbb: “Biaya masih terlalu tinggi. Harap sesuaikan dengan. Budget”. Komentar ini tentunya akan membuat penerima mengerti dengan jelas apa yang Anda mau dan membuat pembaca lebih nyaman.
2. Pastikan komentar Anda adalah mengenai hal yang sedang dibicarakan. Anda tidak perlu menyimpang dari topiknya. Hal ini akan menunjukkan relevansi komentar Anda dengan topik, tentunya akan memudahkan semua pihak untuk melakukan action.
3. Berikan komentar yang positif. Apabila Anda tidak setuju dengan sebagian atau bahkan seluruh isi memo, jangan pernah memberikan komentar dengan bahasa yang menyerang atau bahkan melecehkan seseorang. Kata-kata menyerang tidak akan membantu memecahkan atau menambah nilai dari isi memo atau masalah yang harus diselesaikan. Anda boleh saja memberikan kritik, tetapi lakukan dengan sopan.
4. Buatlah komentar yang singkat. Komentar yang singkat, padat dan tepat akan memudahkan pihak yang menerima, juga memudahkan yang bersangkutan dalam membuat action plan.
Rekan pengusaha dan pemimpin Kristiani yang saya cintai, tentunya Anda sependapat dengan saya, bahwa dalam tindakan-tindakan ataupun komentar-komentar, kita tidak perlu melakukannya dengan arogan. Komentar yang angkuh hanyalah akan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Seperti yang ditulis dalam 1 Yohannes 2 : 16 “Keangkuhan ….bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia”.