Pdt. Bigman Sirait
“Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada.“ (Amsal 11:14)
Krisis Kepemimpinan menjadi topik utama yang perlu dipikirkan. Terpuruknya kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, tidak berdayanya gereja mengantisipasi rangkaian peristiwa yang ada, serta tidak munculnya semacam pengharapan atau pandangan baru, menunjukkan betapa rendahnya kemampuan kepemimpinan di bangsa ini. Betapa rendah dan krisis pola kepemimpinan yang ada – mengingat Indonesia adalah bangsa yang sangat besar dengan pulau yang begitu banyak, dengan keanekaragaman suku, bahasa dan agama. Agama-agama besar di seluruh dunia pun ada di Indonesia; ada ribuan bahasa; ribuan pulau, bahkan belasan ribu pulau lainnya belum diberi nama. Tidak dapat dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki pemimpin yang kuat.
Dalam Amsal 11:14 disebutkan, “Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada.“ Istilah “Penasihat“ harus dibedakan dengan “Provokator.“ Sebab banyak orang berbicara memberi nasihat, tetapi bukan sebagai penasihat, melainkan provokator. Harus dibedakan antara nasihat yang tepat, yang memberi keselamatan bagi suatu kelompok atau bangsa, dengan kata-kata yang seakan-akan nasihat tetapi sebenarnya tidak lebih dari provokasi, yang justru menimbulkan kerancuan dan dan kericuhan yang tidak berkesudahan. “Kalau tidak ada pemimpin, jatuhlah bangsa,“ arti tidak ada pimpinan, tidak ada pemimpin, tokoh yang memiliki kemampuan memimpin. Dalam hal ini yang perlu dipikirkan adalah pentingnya pemimpin.
Pentingnya Pemimpin
Mengapa harus ada pemimpin? Alasan Pertama, karena memang pemimpin harus ada. Sebab setiap orang harus menjadi pemimpin, minimum bagi dirinya sendiri. Orang harus mampu memimpin dirinya sendiri. Alkitab memberi pengertian yang menarik di dalam “Buah Roh,“ yang salah satunya adalah “Penguasaan diri,” mengendalikan diri atau memimpin diri. Dalam konteks kepemimpinan, orang tidak dapat mengatakan bahwa itu tidak perlu, dengan dalih “saya bukan pemimpin.“ Mengatakan bukan pemimpin hanya karena merasa sebagai jemaat gereja, cuma pekerja biasa di kantor, bukan manajer, bukan pula pendeta. Itu adalah cara pandang yang sempit. Setiap orang adalah pemimpin, karena harus memimpin diri sendiri. Kalau bukan diri yang memimpin, apakah mungkin seluruh aktivitas, seluruh kehidupan dan masa depan ditentukan oleh orang lain. Haruslah diingat, bahwa setiap orang adalah pemimpin, minimum, dia memimpin dirinya sendiri.
Kedua, setiap orang harus jadi pemimpin, karena dia memimpin keluarganya. Cepat atau lambat, orang akan berkeluarga, walaupun ada sebagian orang memilih untuk selibat atau tidak menikah. Tetapi memimpin keluarga atau kelompok tertentu tidak terhindarkan. Memimpin kelompok kecil, kalaupun tidak menikah, atau hidup selibat, dia harus memimpin adiknya. Jikalau dalam keluarga tidak ada satu orang pun memiliki kemampuan memimpin, maka keluarga itu akan hancur. Pertikaian dan keributan dalam keluarga akan sulit diselesaikan, karena tidak satupun yang menonjol, yang memiliki jiwa kepemimpinan, yang mampu menjadi pemimpin untuk semua. Keluarga terancam karena tidak ada kepemimpinan. Kepemimpinan diperlukan, karena orang harus memimpin keluarga untuk menuju cintakasih dan kedamaian. Karena, jikalau penasihat banyak, keselamatan ada. Apalagi kalau penasihat itu berkualitas, bermutu, dia akan bisa membawa cintakasih, damai sejahtera dan ketenteraman di tengah-tengah kehidupan keluarga. Jadi, pemimpin diperlukan, pemimpin harus ada, minimum untuk memimpin dirinya sendiri, memimpin keluarga atau kelompok kecil di lingkungannya, memimpin istri dan anak-anaknya, atau memimpin adik-adiknya. Atau dia adalah seorang istri yang ditinggal suami, sehingga harus memimpin di tengah-tengah kehidupan keluarganya. Jangan memikirkan kepemimpinan hanya ketika dibutuhkan, tapi harus dapat mengantisipasinya. Sebelum tiba saat memimpin hendaknya mempersiapkan diri, karena kalau tidak ada kepemimpinan jatuhlah bangsa.
Ketiga, pentingnya pemimpin karena setiap orang harus memimpin, terlibat dalam sebuah organisasi – entah itu setingkat RT, RW, Kelurahan, sampai Kecamatan, bahkan sampai ke Partai Politik, atau organisasi gereja – setiap orang terlibat di dalamnya. Sebab manusia adalah makhluk sosial yang harus beraktivitas, mengadakan kontak, mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya. Kalau gereja mempersiapakan setiap orang untuk mampu menjadi pemimpin, maka dunia ini akan tertolong, minimum di tempat, di lingkungan di mana umat tinggal. Dunia ini akan tertolong, karena ada pemimpin yang berwawasan cintakasih di tengah-tengah lingkungan di mana umat ada. Setiap orang harus memperhatikan hal itu, karena setiap orang harus menjadi pemimpin, besar-kecil, itu relatif. Tetapi suka atau tidak, orang akan terlibat didalam sana, entah dilapis atas, lapis dua, tiga dan seterusnya.
Gereja yang Memimpin
Dengan memimpin, umat akan membawa dunia ini dan mempersembahkannya pada Kristus. Dengan kemampuan memimpin, umat dapat menabur cinta kasih, mengajarkan kepada banyak orang untuk hidup berdampingan dengan tenang dan penuh kasih sayang. Tetapi karena tidak adanya kepemimpinan, semua hanya mampu memuaskan diri sendiri, tidak mampu mengendalikan diri, sehingga menimbulkan chaos, menimbulkan kekacauan di tengah-tengah lingkungannya. Sangat menyedihkan dan sangat memperihatinkan. Tapi itulah realita yang ada dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, bahkan, bergereja. Kericuhan, kekisruhan yang terjadi betul-betul sesuatu hal yang sangat menyedihkan. Betapa piciknya. Tetapi bagaimana bisa menggugat kekisruhan dan kerusuhan yang terjadi di dalam Negara, jikalau sebagai Gereja umat tidak mampu memberi teladan. Tidak mampu memberi contoh, pola atau model harus bagaimana dunia ini. Karena itu, orang Kristen jangan lari dari tanggungjawab dengan berkata masuk kamar lipat tangan dan berdoa. Umat harus menjadi model. Harus mampu menjadi teladan di tengah-tengah jaman ini. Karena Tuhan menuntut untuk menjadi “Garam dan Terang Dunia“ – untuk keluar. Bagaimana mungkin terang ditaruh di bawah gantang. Terang itu harus terang-benderang dilihat dan menerangi seluruh lingkungan di mana dia ada.
Kita harus mampu tampil, menjadi sasaran tembak, atau tumbal sekalipun, bila itu perlu. Sehingga di manapun ada, cintakasih itu dapat dibangun – wawasan masa depan menjadi sesuatu yang indah untuk diwariskan. Karena itu, setiap orang harus sadar untuk menjadi seorang pemimpin. Anda boleh saja masuk kamar, lipat tangan untuk berdoa, tapi yang perlu diingat adalah, orang juga harus keluar dari kamar untuk memimpin dunia ini. Harus keluar dari gereja, tembok-tembok pembatas gereja untuk memberi contoh pada dunia, karena kita, orang kristen, memang patut dicontoh, dan masih ada yang bisa dicontoh. Tapi, jika tidak ada yang dapat diteladani, seyogyanya tak perlu keluar karena hanya akan menjadi tertawaan dunia. Perlu dipikirkan baik-baik – pun harus jujur, jangan-jangan di rumah, kita adalah pemimpin yang tidak dihargai. Sebagai orang tua tidak dihargai anak, sebagai kakak tidak dihargai adik dan seterusnya, karena tidak mempunyai dan mempersiapkan diri sebagai pemimpin. Jangan teriak kencang-kencang, jadilah garam dan terang dunia! Kalau itu cuma slogan di dalam gereja, buktikan itu di luar sana.
(Disarikan Dari CD Khotbah Populer oleh Slawi)