Kontroversi Salib Katolik Dan Protestan

Pdt. Bigman Sirait

Bapak Pengasuh, Saya ingin menyampaikan pertanyaan seputar apa yang saya amati dari teman-teman di Katolik,yaitu:
1. Mengapa Katolik tetap memakai cara doa dalam tri tunggal seperti menyalibkan diri (tiga titik: kepala, bahu kiri dan kanan) sedangkan Protestan tidak.
2. Mengapa Katolik salibnya selalu ada patung Yesus, sementara Protestan tidak.
Demikian pertanyaan saya, semoga Bapak dapat menolong saya untuk memahami hal ini. Salam

Benyamin Tambubolon
Palembang

 

Benyamin yang dikasihi Tuhan, menyenangkan bisa berinteraksi dengan anda melalui Tabloid tercinta, Reformata. Saya berharap selama menjadi pembaca, anda mendapatkan banyak berkat dan percerahan atas kehadiran Reformata. Jarak yang jauh, antara Jakarta dengan Palembang tak menghalangi kita untuk saling menyapa lewat rubrik ini. Pertanyaan anda mengenai doa umat katolik yang Anda sebut sebagai doa dalam tri tunggal, lalu membandingkannya dengan ritual doa protestan, menurut Saya cukup menggelitik dan layak untuk kita ulas, dengan harapan, semakin memperkaya wawasan pikir kita bersama.  Karena menjadi sebuah perenungan yang penting, apakah jika protestan tidak melakukan, maka yang melakukan menjadi salah. Atau tidak lazim? Saya pikir sebuah cara doa bukanlah sebuah keharusan, tetapi berdoa, ya. Artinya, berdoa memang harus. Semua orang Kristen sudah seharusnya berdoa kepada Allah yang maha kuasa. Ini tidak bisa dibantah dan saya percaya, umat katolik dan protestan pasti sama sikapnya dalam hal ini.
Di dalam Perjanjian Lama (PL), tentang apa itu doa sangatlah jelas. Umat bergumul dalam doanya kepada Allah. Ada doa berupa permintaan (kebutuhan hidup, atau perlindungan), atau juga doa pengakuan dosa (pribadi atau bangsa). Sementara dalam Perjanjian Baru (PB) Tuhan Yesus bahkan secara khusus mengajarkan Doa Bapa kami (Matius 6:9-13). Rasul Paulus juga mengingatkan orang percaya agar berdoa senantiasa. Tidak berbeda, Yakobus juga berkata; Doa orang benar besar kuasanya (Yakobus 5:16).
Nah, sekarang soal cara berdoa. Di dalam PL umat Israel berdoa dengan mengangkat tangannya keatas. Dan, Yunus di dalam perut ikan (Yunus 2: 1), pastilah dalam posisi terlentang atau tengkurap. Hizkia berdoa dengan memalingkan wajahnya (2 Raja-raja 20: 2). Sementara Tuhan Yesus di gambarkan dalam kitab Matius berdoa dengan bersujud (Matius 26: 39). Artinya, ada banyak cara berdoa di dalam Alkitab. Tampaknya selalu berkaitan dengan suasana hati atau peristiwa yang ada di sekitar orang yang berdoa. Tuhan, tak marah atau mencela cara berdoa umat Nya. Celaan Tuhan terhadap doa lebih terkait dengan sikap hati yang munafik. Tampak berdoa tapi bukan dengan kerendahan hati, malah sebaliknya, agar dipuji orang. Orang Farisi seringkali dikritik Yesus Kristus soal kemunafikan ini.
Jadi jelas sekali, Alkitab mengajarkan kita harus berdoa, sementara cara berdoa adalah kekayaan ekspresi. Katolik berdoa dengan simbol Tri tunggal (atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus), bagi saya sangat indah. Iman terhadap Allah Tri tunggal diwujudkan dalam cara doa. Sebuah pengakuan atas kasih Allah yang menebus kita melalui Kristus dan dengan pertolongan Roh kudus, sehingga karya keselamatan sejati dari Allah Tri tunggal menjadi nyata dalam kehidupan ini. Tak ada yang salah dengan cara ini, sekalipun cara ini tak membuat doa menjadi luar biasa, melainkan sikap hatilah yang mutlak penting. Sementara protestan yang tidak melakukannya, ini lebih karena perjalanan sejarah. Ada benturan teologis yang memang prinsip pada waktu lampau. Namun persoalan teologis yang prinsip sering merembet hingga soal cara yang sesungguhnya tidak prinsip. Untuk itu alasan pembenaran pun dibuat. Sama seperti umat protestan, sama-sama menyanyi memuji Tuhan, tapi ada yang tepuk tangan dan ada yang tidak. Padahal, ini lebih soal kultural, bukan doktrinal yang prinsip. Jadi umat katolik berdoa dengan tanda Tri tunggal, dan protestan tidak, itu karena persoalan perbedaan di masa lalu. Dan itu meliputi banyak aspek, hingga pemakaian lilin dalam doa dan lain sebagainya. Semangatnya, pokoknya berbeda. Padahal, ini bukan persoalan yang prinsip, tapi dibuat menjadi prinsip.
Persoalan masa lalu janganlah kiranya mengganggu di masa kini. Dan sudah waktunya, kita saling belajar dan menikmati kekayaan yang indah dalam perbedaan yang ada. Bagi saya pribadi, berdoa dengan tanda Tri tunggal itu tak masalah. Hanya saja, sebagai seorang protestan saya tak perlu membuat masalah baru lagi diinternal protestan, dengan berdoa dan mengakhirinya dengan tanda Tri tunggal. Ingat, karena ini bukan soal yang prinsipil. Dalam lingkungan umat protestan sendiri pun cara berdoa sangat beraneka ragam, bahkan kontras, sekalipun tidak memakai tanda Tri tunggal. Di lingkungan umat protestan ada yang berdoa dengan tangan terangkat ke atas. Lalu ada dengan tangan yang menengadah. Ada yang berlutut, dan ada juga yang berdoa dengan mata terbuka. Juga ada yang selalu menangis setiap kali berdoa. Semua mempunyai alasan, namun bukan alasan yang prinsip.
Begitu juga dengan soal salib. Simbol Salib di kalangan umat protestan umumnya tidak dibuat gambar atau wujud Yesus dengan alas an, Yesus tidak tersalib lagi melainkan sudah bangkit. Dia tidak ada di salib, ini alasan yang dipakai. Alasan ini masih bisa diperpanjang. Sementara bagi umat katolik, Yesus tersalib memang adalah fakta yang ada dan bukti kasih dalam penebusan dosa. Lagi-lagi, sejatinya, tidak ada yang prinsip. Tapi kembali sentimen masa lalu yang memunculkan semangat, pokoknya harus beda. Memang masih ada perbedaan doktrinal yang tergolong prinsip yang masih menjadi PR bersama. Tapi jangan lupa, di kalangan umat protestan perbedaan denominasi juga diwarnai perbedaan doktrin yang cukup serius.  Karena itu soal perbedaan ritual dan doktrinal harus dibagi dengan jelas, dan jangan membuatnya menjadi rancu. Diperlukan kebesaran jiwa dan kerendahan hati untuk saling belajar, tanpa harus terkurung oleh bayang-bayang masa lalu. Tanpa disadari, sebetulnya perbedaan itu tampak sirna pada banyak sisi. Misalnya soal salib yang ada Tuhan Yesus, ada banyak gereja protestan yang menggunakannya. Apalagi jika berbicara soal lukisan, sangat banyak lukisan Yesus yang tersalib dilingkungan protestan. Jika konsisten dengan konsep Yesus sudah tidak tersalib lagi karena sudah bangkit, maka lukisan pun seharusnya tidak boleh. Nah, jelas sekali ini soal masa lalu dan bukan soal prinsip. Karena itu, lewat pertanyaan saudara Benyamin, mari kita jadikan ini momentum pembelajaran. Belajar berdialog dan bersahabat antara umat katolik dan umat protestan yang sama-sama mengaku pengikut Yesus Kristus. Tak lagi terjebak membesarkan perbedaan masa lalu, namun wajib mempelajari latar belakangnya. Menemukan makna yang sesungguhnya, sejarah yang sebenarnya, dan mereformasi gereja secara bersama, baik dilingkungan gereja katolik maupun protestan. Belajar mendekatkan diri, karena itulah ciri-ciri khas dari gereja sebagai tubuh Yesus Kristus yang sejati.         
Perbedaan bukanlah malapetaka, bisa jadi itu kekayaan yang tersembunyi. Namun, di saat yang bersamaan perbedaan yang prinsipil memang tak bisa diabaikan begitu saja. Harus dijadikan bahan diskusi, dan belajar menemukan kebenarannya di dalam Firman Tuhan, biarlah Firman Tuhan yang menjadi alat ukur terhadap semuanya. Bukankah itu indah?
Akhirnya, Benyamin yang dikasihi Tuhan, selamat menikmati perbedaan yang ada. Sangat perlu kita belajar dengan hati-hati untuk mencermati dan membagi mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Marilah kita saling memperkaya dalam perbedaan yang tidak prinsip dan berdiskusi dengan ramah untuk hal yang prinsip. Indah bukan. Tuhan memberkati kita semua.  

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *