Raymond Lukas
Stephen Covey, dalam bukunya yang sangat terkenal ‘The Seven Habits of Highly Effective People’ mengatakan sbb; “Apabila saya berusaha untuk mempengaruhi orang lain dan meminta orang lain untuk melakukan apa yang saya inginkan, sementara pada dasarnya karakter saya cacat, yang ditandai dengan kecendrungan bermuka dua atau ketidaktulusan – dalam jangka panjang, saya tidak bisa sukses. Kecendrungan saya bermuka dua menimbulkan ketidak percayaan dan dirasakan manipulatif. Sebagus apapaun pidato saya, atau bahkan sebaik apapun niat saya, hal itu sama sekali tidak menghasilkan perbedaan. Jika hanya sedikit atau tidak ada kepercayaan sama sekali, tidak ada fondasi bagi kesuksesan yang permanen. Hanya kebaikan hati yang tulus yang membuat kita bisa mempengaruhi orang lain”.
Rekan pemimpin Kristiani, baru-baru ini seorang rekan yang bekerja di sebuah perusahaan property mengeluhkan masalah pemimpinnya yang dirasakan “bermuka dua atau double standard”. “Di satu pihak kami diminta melakukan hal yang benar, bahkan untuk itu kami diawasi sangat ketat dan seringkali dicurigai oleh pimpinan, namun di lain pihak kami melihat pemimpin kami melakukan, atau meminta kami melakukan hal-hal yang kurang baik bahkan melanggar integritas”, kata dia.
Memang menjadi sebuah dilema di banyak kepemimpinan anak-anak Tuhan di dunia bisnis. Tuntutan bisnis seringkali meminta para pemimpin kristiani mengambil keputusan yang bertentangan. Sebagai contoh, hal yang terjadi di perusahaan tempat teman saya tadi bekerja. Manajemen perusahaannya memutuskan untuk mensponsori sebuah acara pertunjukan, dalam hal ini perusahaan sponsor akan mendapatkan manfaat atau eksposur pemberitaan yang besar, sekaligus mendapatkan ratusan tiket pertunjukkan untuk dibagikan kepada pelanggan perusahaan secara gratis, sebagai bagian manfaat sponsorship tersebut. Namun yang terjadi adalah, sebagian pemimpin perusahaan itu justru mengambil keuntungan pribadi dengan menjual tiket-tiket pertunjukan tersebut untuk kantong pribadi. Parahnya lagi, para pemimpin meminta anak-anak buahnya yang melakukan penjualan, karena mereka tidak mampu menjual tiket sebanyak itu sendiri (maklum, keahlian mereka memang bukan ticketing service). Sebuah kontradiksi bukan? Di satu pihak pegawai diminta untuk melakukan sponsorship dengan benar agar perusahaan dapat lebih dikenal, namun di lain pihak manfaat sponsorship dijadikan ladang keuntungan pribadi.
Contoh lain terjadi di sebuah perusahaan berbeda yang manipulasi data untuk kepentingan pribadi sang pemimpin. “Seringkali kami diminta menggelembungkan dana yang keluar untuk suatu kegiatan…”, keluh Santy, manager komunikasi sebuah perusahaan dagang. “Bagaimana dengan bukti pengeluarannya?”, tanya Saya. “Oo… itu harus dibuatkan bukti rekayasa pak”, jawab Santy sambil tersenyum masam.
Rekan pemimpin kristiani, bagaimana cara menghadapi tantangan terkait banyaknya pemimpin kristiani di dunia bisnis yang harus bermuka dua dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya? Di satu sisi dia harus tampak jujur dan terpercaya di hadapan bawahan dan pihak-pihak lain, namun di lain pihak harus berkompromi karena ada kesempatan untuk manipulasi atau karena diperintahkan atasannya untuk melakukan hal yang tidak benar.
Untuk menjawab itu, mari kita mendalami salah satu gambaran Injil tentang pemimpin sebagai pengurus. Dalam perumpamaan di Alkitab kita sering melihat fungsi pengurus ini muncul, misalnya dalam perumpamaan tentang talenta. Dikisahkan seorang tuan yang kaya raya hendak pergi jauh. Sebelum pergi, dia mempercayakan harta miliknya untuk dikelola oleh para hamba-hambanya. Alkitab menulis, dia memberikan sebesar 5 talenta, 2 talenta dan 1 talenta kepada tiga orang hambanya. Ketika tuan itu kembali, kedua hamba yang menerima masing-masing 5 dan 2 talenta sudah menggandakan talenta-talenta tersebut dan memperoleh keuntungan ganda. Namun hamba yang ketiga hanya menyimpan 1 talenta yang dititipkan, lalu mengembalikan itu pada tuannya dengan berbagai alasan, sehingga talenta tersebut tidak bertambah.
Sebagai pemimpin pengurus, kita memiliki 3 karakteristik sebagai berikut:
1. Sebagai pengurus kita adalah orang yang mendapatkan kepercayaan.
Pengurus biasanya diberikan posisi tinggi dengan hak dan otoritas yang besar. Dalam Alkitab contohnya adalah Yusuf yang diberikan kuasa mengurus harta dan rumah Potifar, seorang pejabat tinggi kerajaan. Kita juga melihat, Yusuf diberikan kuasa yang sangat besar oleh Firaun untuk mengurus negeri Mesir di masa 7 tahun kelaparan dan 7 tahun kelimpahan. Jadi posisi yang tinggi ini menuntut orang yang dipilih bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala sesuatu kepada majikannya yang telah memilih dia.
2. Pengurus adalah orang yang diberi tanggung-jawab.
Sebagai pengurus kita harus menerima tanggung jawab yang diberikan tuan kita. Hal ini tercermin dari salah satu pernyataan penting Tuhan Yesus: “Jadi siapakah pengurus rumah yang setia dan bijaksana yang akan diangkat oleh tuannya menjadi kepala atas semua hambanya untuk memberikan makanan kepada mereka pada waktunya? Berbahagialah hamba yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya datang.” Jadi sebagai pengurus kita diberikan tanggung jawab, dan kita harus menunaikannya.
3. Pengurus adalah orang yang mampu mempertanggung jawabkan.
Seorang pengurus harus mengetahui, bahwa “setiap orang yang kepadanya banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan kepadanya akan lebih banyak lagi dituntut’. Dengan konsep ini para pemimpin harus tahu dengan menerima tanggung jawab, menerima kuasa, menerima pengaruh dan menerima sumber daya untuk dikelola. Semuanya itu memerlukan pertanggungjawaban khusus kepada pemberi kuasa.
Para pemimpin bisnis harus memberikan pertanggungjawaban. Pada prakteknya, kepada siapakah pertanggungjawaban tersebut kita berikan? Jawabannya sangat bervariasi, tergantung organisasi di mana kita bekerja. Tentunya, kepada pemberi tanggung jawab, seperti misalnya para pemegang saham, kepada stakeholder lainnya, atau kepada klien atas kwalitas pelayanan yang kita berikan. Namun, pada akhirnya para pemimpin tidak dapat mengelak dari sebuah perspektif yang sungguh menantang, bahwa kita harus dapat memberi pertanggungjawaban tidak hanya kepada CEO, BOD, atau kelompok lain. Namun juga harus mempertanggungjawabkan juga kepada Tuhan sendiri sebagai pemilik yang memiliki semua sumber daya di bumi dan di sorga. Dengan memahami fungsi kita sebagai pemimpin pengurus ini, maka sesungguhnya kita harus mengakui, bahwa tidak ada ruang bagi kita yang terpilih untuk memiliki muka dua atau standard ganda…amen—