KIKIR Dan Kinerja Karyawan

Raymond Lukas
BEBERAPA teman profesional bertandang ke kantor saya dan bertanya, apakah manajemen atau pemilik perusahaan boleh “Sangat Kikir” kepada karyawannya? Pertanyaan yang agak membingungkan saya. “Apa maksudnya “Sangat Kikir”?, tanya saya. Mereka menjawab “Ya, maksudnya, ”Sangat Kikir”, alias “pelit” atau “holit”.., tidak suka memberi, senang mengurangi hak pegawai dengan berbagai cara yang kurang elegan, sukacita kalau menawar harga secara “lebai”,  kalau harus (terpaksa) memberi maka tidak memberi yang terbaik…”
“Coba terangkan apa yang terjadi, saya mencoba mengelaborasi. Berikan contoh-contoh…..”, lanjut saya. “Begini pak,…beberapa contohnya, misalkan perusahaan rekan kerja mengundang makan untuk memberikan penghargaan atas prestasi kami sebagai rekan kerja mereka, maka atasan kami memberikan “gesture”, permintaan ‘untuk dijamu di restoran terbaik’, dalam arti restoran berkelas. Pastinya mewah dan mahal, dengan alas an, bahwa kalau sudah mengundang karyawan yang sudah datang jauh dari kota lain, maka harus memberikan yang terbaik. Alasan yang tampak masuk akal dan mulia bukan? Namun, kalau atasan kami sendiri harus memberikan penghargaan serupa kepada karyawan berprestasi atas nama perusahaan sendiri, maka mereka cendrung memilih restoran yang murah, kalau bisa di restoran yang sedang promo dalam memberikan diskon kartu kredit terbesar. Kemudian, selain diskon terbesar, maka karyawan yang diajak makan harus rela, atau harus “mengerti bahasa” memilih makanan yang lebih murah, tidak pesan juice buah atau minuman campuran yang harganya mahal.
Rekan karyawan lainnya melanjutkan “Kami bergerak di garment, dan suatu waktu kami memerlukan beberapa model catwalk untuk peragaan busana di kantor kami. Kami mendapatkan para model cantik untuk di kontrak dari sebuah agensi modeling dengan harga wajar, boleh dikatakan terbilang murah. Namun, atasan kami masih menuntut tambahan “make up artist” yang notabene biasanya ada tambahan biaya tersendiri, dan juga menuntut pengarah gaya untuk acara fashion show perusahaan kami tersebut… Semua tambahan diminta gratis, plus para model diminta menyediakan sendiri beberapa alat peraga, seperti celana jins,  sepatu, tas dan assesorisnya. Padahal fee yang diminta agensi modeling sudah sangat minim, di bawah harga rata-rata industri modeling, karena mereka mau membina hubungan awal dengan kami”
Rekan lain yang turut hadir dalam perbincangan tersebut, yang semula diam saja,  akhirnya tidak tahan dan ikut berkomentar.  “Kami menyelenggarakan rapat kerja dengan pemimpin cabang kami yang datang dari luar kota setiap semester. Seringkali, selama acara pertemuan dan setelah acara selesai pengurus/panitia acara selalu menerima komplain peserta, karena mereka ditempatkan di penginapan paling murah (bukan hotel), namun setara losmen murahan di mana ‘per’ atau ’pegas’ kasur telah rusak, dan bisa berbahaya untuk menjadi alas tidur. Juga suasana kamar yang amat jorok dan bau. Masalah tiket pesawat pun sering jadi masalah, karyawan kami harus naik pesawat tiket termurah, kalau tidak, bisa terkena teguran.” Seorang teman wanita yang biasa mengurus konsumsi juga mengeluh, “Bayangkan pak, menu rapat kami juga berupa nasi kotak yang harus dipesan dalam jumlah yang pas, bahkan sering kali pas-pasan. Nasi ayam misalnya, maka ayamnya bukan ayam beneran..tapi lebih menyerupai tulang ayam…”.
“Separah itukah?” Mereka mengangguk. Namun, pertanyaan selanjutnya menggugah saya. “Pak, apakah sikap tersebut akan memberikan keuntungan bagi perusahaan, membuat kinerja membaik, membuat perusahaan berkembang, atau menyelamatkan perusahaan?” Saya tercenung. Ya….menjadi pertanyaan bagi saya juga.

Para pemimpin Kristiani yang budiman, ilustrasi diatas seringkali terjadi di banyak
perusahaan. Terutama di perusahaan skala menengah kebawah, dengan dominasi kepemimpinan keluarga atau kroni dalam perusahaan-perusahaan tersebut. Hal seperti yang terjadi pada contoh-contoh di atas umumnya terjadi karena:
Dominasi sangat dominan dari pemilik beserta keluarga dan kroni dalam manajemen di level atas (Pemilik, keluarga, BOD dan kroni). Para profesional di level atas biasanya berlaku “Asal Bapa Senang” (ABS), yang penting jatah saya jangan dikurangi. Seringkali manajemen ditingkat atas tersebut bersifat “double-standard”. Yang menyangkut kepentingan saya, maka standarnya “A”, namun kalau bukan kepentingan saya standarnya bisa “B”. Yang penting pencitraan terhadap saya harus selalu positif dari semua sudut pandang.
Tidak adanya ‘delegation of authority’ yang jelas kepada para profesional dalam perusahaan tersebut.  Semuanya harus mengerucut pada pandangan ‘pemilik, keluarga dan kroni’. Bahkan pada beberapa perusahaan yang parah, level manajemen puncak mereka pun tidak memiliki wewenang apapun dalam mengambil suatu keputusan, termasuk dalam menandatangani pembelian satu kardus air mineral sekalipun.

Rekan pengusaha Kristiani, kalau kita melihat firman Tuhan tentang “orang kikir”
dalam Amsal 28:22, dikatakan,  bahwa ‘orang yang kikir tergesa-gesa mengejar harta, dan tidak mengetahui bahwa ia akan mengalami kekurangan’. Dan dalam 1 Korintus 6 :10 lebih jelas dikatakan ‘….orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.’ Dalam hal memberi, firman Tuhan dalam Amsal 3:27 secara ekspisit mengatakan, ‘janganlah menahan kebaikan daripada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal, engkau mampu melakukannya.’ Jadi jelas, pengajaran Kerajaan mengatakan kepada kita; Jangan ‘pelit’, ‘holit’ dan jangan menahan berkat orang lain yang seharusnya diterima. Orang ‘kikir’ ‘pelit’ ‘holit’ tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah.
Saya teringat beberapa teman wanita saya semasa kuliah yang lebih memilih pria berwajah ‘biasa’ namun tidak ‘pelit’, dibandingkan yang tampan namun ‘pelit’. Karena para wanita tersebut tentunya tidak mau korban perasaaan dan tersiksa sepanjang umur mereka. Jadi, biar ‘wajah tukang ojek’ asal ‘dompet dan hati dermawan’, itulah pasangan hidup sejati, kata mereka. Tentunya, sikap ”Sangat Kikir” yang dipilih manajemen manapun tidak akan meningkatkan kinerja perusahaan mereka. Bukan berarti setiap perusahaan harus menjadi sangar boros dan royal. Bukan itu maksudnya, penghematan dalam perusahaan memang sangat diperlukan. Namun bukan berarti harus menjadi ”sangat Kikir”. Karena sikap tersebut malahan menjadi ’counter-productive” . Karyawan kita di jaman ini adalah karyawan yang sangat cerdas. Mereka bisa membaca perilaku para pemimpinnya  dengan sangat akurat, dan janganlah ”Sangat Kikir” nya kita menjadi topik pembicaraan yang menghambat produktifitas perusahaan secara menyeluruh. Ayo, rekan Pengusaha Kristiani, jadilah terang dalam segala tindakan kita, termasuk dalam pengelolaan dana perusahaan secara jelas, transparan dan dengan aturan-aturan pendelegasian yang tegas, sehingga keuangan perusahaan dapat diatur dengan baik dan program penghematan dilakukan dengan cara lebih baik dan  bukan dengan cara-cara ”Sangat Kikir”.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *