Menjadi Pemimpin Yang Melayani

 Pdt. Bigman Sirait

MEMBINCANGKAN soal pemimpin yang melayani, ada istilah “Turba” (turun ke bawah), istilah yang populer di era atau di rezim orde baru.  Turba adalah istilah yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang aktivitas pemimpin turun langsung melihat apa yang sebetulnya terjadi di lapangan.  Ini adalah hal yang sangat bagus dalam kepemimpinan.  Sebab, kebanyakan pemimpin hanya ada di balik meja saja.  Menerima laporan, memberi perintah dan sebagainya, lalu enggan turun ke bawah.  Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang bersedia turun ke bawah bersama orang yang dipimpinnya, untuk melakukan apa yang harus dilakukan.  ini menjadi satu semangat yang perlu bagi seorang pemimpin.  Jika ada orang yang mengaku sebagai pemimpin, tapi dia tidak memiliki semangat turun ke bawah, maka dia tidak layak disebut sebagai seorang pemimpin yang melayani atau “the servant leader” itu. 
Jauh sebelumnya spirit turba ini sudah ditunjukkan oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri dalam karya-Nya.  Yesus, Allah yang ada di dalam surga tidak menyetarakan kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan.  Dia justru mengosongkan diri mengambil rupa dan menjadi seorang manusia.  Pada waktu Dia datang, dikatakan Dia datang bukan untuk dilayani, tapi untuk melayani.  Kalau Dia ingin dilayani,  di surga sana siang dan malam malaikat melayani Dia, karena itu tidak perlu Dia turun ke bumi.  Itu sebabnya Dia ambil rupa seorang hamba, menjadi manusia dalam kehambaan itu.  Padahal, Dia bisa memilih peran raja untuk dilayani bukan? 
Berkaca dari karya-Nya, sudah selayaknya setiap orang yang menyebut dirinya kristen mesti punya semangat yang kuat untuk melayani, yakni turun ke bawah.  Orang yang turun ke bawah akan melihat kepada semua aspek yang mungkin untuk digarap, untuk dikerjakan.  Itulah pemimpin yang melayani. Pemimpin yang melayani, yang turun kebawah juga tidak mempertahankan diri dan posisi. Itu adalah hal kedua.  Pemimpin yang melayani selalu bekerja untuk melaksanakan tugas-tugasnya karena dia tahu ini semua tugas harus diselesaikan.  Tapi dia tidak bekerja untuk mempertahankan posisinya, tapi berlandaskan tugas dan panggilan kita. 
Turba juga bukan soal model.  Tidak sedikit orang yang suka turun ke bawah hanya lantaran dia tidak “pede” (percaya diri) di atas.  Jabatan sebenarnya adalah kepemimpinan itu sendiri. Jabatan sebenarnya adalah tugas yang diemban itu.  Jabatan yang dijalankan bukan pula jabatan kursi semata. Karena itu orang musti belajar agar tidak terikat kepada jabatan kursi dan demi mempertahankan kursi.  Tapi betul-betul jabatan dalam rangka pelaksanaan tugas.  Seharusnyalah setiap orang percaya seperti itu. 
 
“Melayani Bukan Dilayani”
Yesus datang ke dunia untuk melayani, dan bukan untuk dilayani.  Padahal godaan kepemimpinan yang terbesar adalah godaan untuk diservis, dihormati, dan godaan untuk dilayani.  Namanya juga pemimpin.  Maka banyak orang terus memperkuat posisi kepemimpinannya supaya mendapat penghormatan yang maksimal untuk diri.  Tetapi kita diminta berlaku paradoks, supaya semakin kuat memimpin, semakin hebat, semakin tinggi, tapi semakin melayani.  Tentu bukan soal mudah.  Misalnya, tidak sedikit orang yang hendak memakai motto: “melayani bukan untuk dilayani”,  tetapi dalam prakteknya justru jauh dari motto tersebut.  Lalu bagaimana jika ketika kita sedang melayani,  tapi justru disaat byang sama orang yang dilayani menyediakan makan, minum, lalu sediakan tempat istirahat untuk kita, bukankah itu namanya juga dilayani?  Betul, tapi itu bukanlah tujuan sebenarnya.  Itu adalah bonus atas apa yang dilakukan.  Namun konsentrasinya terpaut pada apa yang dilakukan, bukan pada apa yang akan diterima.  Di sini mengacu pada apa yang disebut dengan God oriented.  Ini juga yang Tuhan Yesus lakukan dan nyatakan.   Bahwa bukan manusia yang lebih dahulu mengasihi, tapi Tuhanlah yang lebih dulu mengasihi, maka orang kemudian bisa mengasihi sesamanya.  Begitu pula dalam konteks melayani.  Karena Tuhan sudah melayani, maka kita melayani Dia.  Karena itu, penyebab pertama orang dalam melayani bukanlah apa yang akan di dapat, tapi apa yang sudah di dapat.  Maka, ketika orang yang melayani, mendapat makan dan minum dan seterusnya, maka itu tidak lebih hanya bonus saja.
Orang yang sadar dengan orientasi melayani mengakibatkan dia memimpin dengan spirit yang melayani.  Hal ini berdampak dalam setiap aspek yang dilakukan dan dikerjakan.  Maka akan ada perubahan demi perubahan yang bisa dilakukan dalam hidup.  Mengerti di mana dia dipanggil, dalam bidang apa, lalu melakukan hal itu untuk melayani Tuhan, bukan untuk dilayani.  Sehingga orang akan memaksimalkan diri untuk mewujudkan tugas itu dalam rangka melayani.  Namun demikian tidak berarti tidak ada masalah.  Ada benturan, ribut, bahkan orang yang akan meneror saudara.  Dalam kondisi seperti ini tidak jarang kemudian mundur.  Dalihnya, sudah tidak bagus lagi, mengganggu kenikmatan bekerja.  Seharusnya orang sadar betul, bahwa misi, panggilan yang diemban melampaui hal itu.  Perbedaan tidak lebih dari tipikal semata.  Orang seperti ini seharusnya terus maju.  Dengan mentalitas yang kuat seperti itu, maka pemimpin akan menciptakan perubahan di mana dia ada.  Itu menjadi kegairahan dan kebangunan yang hebat yang diperlukan dalam hidup. 
Memimpin dengan semangat melayani, sebuah paradoks memang.  Dalam kepemimpinan yang dikerjakan terjadi perubahan kualitas pada diri.  Karena penguasan diri membuat orang makin mampu mengendalikan diri.  Karena memang kita mempunyai satu nilai yang baru, god oriented, bukan self oriented.  Makin hari itu akan makin hebat dan makin hebat dalam pelayanan.  Itu sebab, Yohanes Pembabtis pernah berkata biarlah Tuhan semakin bertambah, sementara diri makin berkurang.  Anak-anak sekolah minggu seringkali menyayi lagu itu, tapi sampai dewasa, sampai tua pun gagal melakoninya. 
Dalam konteks rohani juga tidak jauh berbeda.  Karena merasa paling hebat dalam melayani Tuhan, sangat akrab dengan Tuhan, siang malam dengan Tuhan, setiap hari mendengar suara Tuhan.  Merasa paling “jago”, mengutuk kanan-kiri, merasa nomor satu di dunia ini.  Tidak cocok lagi dengan semangat Alkitab.  Kebenaran adalah kebenaran yang harus dinyatakan.  Karena itu jangan takut.  Orang tidak terima, tidak mengapa. Karena kita semakin terasah, semakin kuat, semakin teruji.  Itu badai yang memberikan berkat.  Alangkah indahnya, karena itu jalani hari-hari ini, mari belajar untuk betul-betul memiliki spirit yang melayani, supaya kita tahu di mana kita ada, untuk merubah situasi, bukan kalah pada situasi. 
(Disarikan oleh Slawi dari CD Khotbah Populer)

 

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *