Pdt. Bigman Sirait
“Siapa bijak hati, memperhatikan perintah-perintah, tetapi siapa bodoh bicaranya, akan jatuh. Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui. Siapa mengedipkan mata, menyebabkan kesusahan, siapa bodoh bicaranya, akan jatuh.” (Amsal 10:8-10)
Inti dari ayat ini adalah bijaksana dan kelakuan yang bersih, merupakan prinsip yang harus diperhatikan dalam membangun kehidupan. Membangun seluruh kemampuan kita dalam melayani Tuhan melalui kepemimpinan. Untuk dapat memperoleh kebijaksanaan dan memiliki kelakuan yang bersih, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menjauhi dan tidak melakukan apa yang menjadi pantangan bagi pemimpin.
Pantangan pertama, adalah “Jangan Mengangap Diri Paling Pintar”. Seorang pemimpin ketika menganggap paling pintar, paling “jago”, paling banyak belajar, muaranya akan meremehkan orang-orang di sekitarnya. Pemimpin model ini sangat bangga dengan tumpukan gelarnya, sehingga tidak lagi mampu melihat siapa dirinya. Banyak orang mempunyai kemampuan yang tinggi, mungkin lantaran belajar di sekolah, menjadi pintar. Tapi kalau dia tidak bisa bijaksana untuk belajar dari luar lingkungannya, dia hanya akan menjadi orang pintar, tapi tidak menjadi orang yang bijaksana. Kendati seluruh ilmu itu tetap akan menumpuk di otaknya, dia tidak akan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan. Bahkan mungkin akan menjadi orang yang paling gagal dalam relasi sosialnya. Pemimpin yang menggap diri paling pintar, paling tidak mau belajar, apalagi belajar realita orang yang dipimpinnya. Pemimpin seperti ini akan gampang jatuh nanti. Pintar adalah sesuatu hormat yang boleh dikejar dan capai, tapi merasa paling pintar itu menjadi berbahaya.
Pantangan kedua “Jangan Menganggap Diri Paling Benar”. Seorang pemimpin yang menganggap diri paling benar membuat telinganya tertutup, sehingga tidak mau mendengar. Begitu dia mempunyai satu keyakinan yang kokoh dan gigih, itu yang dipegangnya dan dianggap paling benar. Keyakinan adalah suatu hal yang terhormat, yang penting, tapi belajar mendengar dan membandingkan semua informasi juga tak kalah penting. Jangan pula selalu menganggap paling benar apa yang kita simpulkan, lalu menutup pintu pada simpulan lainnya. Anda mungkin di atas sebagai pemimpin, tapi bukan berarti anda adalah segala-galanya. Bukan berarti anda adalah yang paling benar. Bisa jadi pendapat yang paling benar itu justru ada dibawah.
Kelemahan yang umum dialami seorang pemimpin adalah soal menjadi paling, paling dan paling, karena merasa ada di atas. Merasa ditiup angin, merasa segala-galanya. Merasa paling tinggi, merasa paling pintar, dan pasti merasa paling benar. Ini juga kerap dialami oleh para Ayah dan ibu, orang tua yang paling merasa paling pintar, sehingga merasa paling benar. Orang tua paling benar, sehingga anak dicap selalu salah.
Pantangan ketiga, “jangan menganggap diri paling hebat”, sehingga tidak mau bersahabat. Mungkin anda mempunyai banyak pengalaman, tapi ingatlah, manusia adalah manusia di dalam segala keterbatasannya. Manusia sangat bergantung terhadap apa yang terjadi hari ke hari, sekalipun dia pintar, sekalipun dia benar, sekalipun dia hebat. Ada satu istilah, kalau dia berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah, habislah dia, sekalipun dia kurang pintar, kurang benar, kurang hebat, tetapi dia ada di tempat yang benar pada waktu yang benar, beruntunglah dia. Artinya orang sangat bergantung pada situasi di mana dia berada. Hari ini anda beruntung, hari ini anda sukses, mungkin besok anda gagal. Orang yang merasa diri paling hebat, sehingga tidak mau bersahabat, itu namanya memiliki bakat kesombongan yang tinggi. Tapi memang itulah habit dasar manusia, tidak pernah mau menjadi nomor dua. Orang seperti ini disebut dengan manusia kecap, orang yang tidak pernah mau menjadi nomor dua. Tidak jarang hal seperti ini ditemui dalam bidang kerohanian, kegerejaan. Mereka merasa paling pintar, paling benar dan paling hebat, karena merasa paling dekat dengan Tuhan, maka merasa sangat dekat dengan kebenaran. Kalimat “Tuhan bilang, Tuhan bilang” sering juga mewarnai. Terlau mudah mengklaim apa yang dia katakan adalah apa yang dikatakan Tuhan. Padahal, itu murni dari pikiran atau dari nafsunya. Dan sayangnya lagi, jemaat cuma melihat lalu mengangguk-angguk. Namanya juga pendeta, tidak mungkin berkata salah, beitu dalihnya. Dengan sikap seperti ini orang membunuh dua sekaligus. Membunuh diri, bunuh akal sehat, membunuh kebenaran dan keadilan yang harusnya dapat dipertanggungjawabkan, juga “membunuh” pula pendeta yang berbicara salah, berbicara ngawur itu. Karena kita membuat dia semakin mengambang ke tinggi. Semakin merasa paling pintar, paling hebat, paling benar, karena anggukan kepala jemaat tanpa sedikitpun protes, sanggahan, anda mengaminkan seluruh apa yang dikatakan. Itulah yang sedang terjadi di sekitar kepemimpinan kristen.
Pantangan keempat “jangan menganggap diri paling tahu”, sehingga enggan bertanya. Banyak pemimpin yang gengsi, enggan bertanya, karena berpikir, kalau dia bertanya akan terihat bahwa dia tidak tahu. Lalu kawatir kalau orang tidak lagi hormat padanya lantaran ketidaktahuan. Karena itu, walaupun tidak tahu dia merasa tahu. Terkait hal ini pepatah dunia sudah sangat jelas, “malu bertanya, sesat di jalan”. Malu bertanya, hancur kepemimpinan. Orang musti berani bertanya. Karena bertanya adalah bagian dari belajar yang sangat luarbiasa, menambah ilmu pengetahuan dan memperlengkapi kemampuan. Bagi seorang pemimpin harus mempertanyakan apa yang ada di sekitarnya, orang yang dipimpin, situasi ketika dia memimpin, juga lingkungan seperti apa. Bahkan dia harus berani bertanya, apakah orang suka dengan cara dia memimpin. Pemimpin musti belajar bertanya apakah keputusan-keputusannya bijaksana.
Pantangan kelima, “jangan menganggap diri paling bisa”, sehingga kita tidak mau mengalah, “apapun saya bisa”. Jangan pernah mengajari bagaimana jemaat menyanyi, kalau jemaat itu semua adalah anggota koor. Sementara anda sebagai pemimpin, menyanyi pun masih fals. Merasa selalu paling bisa, itu adalah godaan yang paling hebat bagi seorang pemimpin. Apapun, dia harus bisa. Paling tidak ditunjukkan pada kata-katanya. Padahal, dia tidak bisa melakukannya. Pemimpin tidak perlu menutupi seluruh kelamahan dengan kalimat-kalimatnya, padahal kosong di dalam. Tapi yang namanya pemimpin harus paling bisa. Harus paling luar biasa bukan? Itu membuat dia enggan mengalah dalam berpendapat. Ngotot harus dia yang menang. Padahal itu adalah sebuah kekalahan yang fatal pada diri seorang pemimpin. Pemimpin seyogyanya tidak menilai diri sendiri menurut apa yang rasanya mampu ia lakukan. Karena orang lebih menilai menurut apa yang telah dikerjakan. Jadi, jangan menilai diri menurut apa yang rasanya mampu. Sebab “rasanya” itu banyak jumlahnya. Karena natur (alaminya) orang itu merasa paling pintar, paling benar, paling hebat, paling tahu, dan paling bisa. Padahal orang lain menilai bukan apa yang kita rasakan, tapi apa yang dikerjakan, dan capai. Itu ukuran sederhana.
Untuk kita renungkan bersama, bahwa apa yang telah dipaparkan, terkait pantangan bagi pemimpin ini sebenarnya telah menjadi kebiasaan orang pada umumnya. Paling pintar, paling hebat, paling benar, paling tahu, paling bisa, bukankah itu juga perasaan seorang Ayah? Sehingga, ketika anaknya salah, dia marah luar biasa. Sebaliknya, waktu sang Ayah salah, susah betul untuk minta maaf. Sering ngotot, merasa superior, dan serba nomor satu. Pola yang sama juga terbawa ke dalam lingkungan kerja, terbawa kepada lingkungan berjemaat, tak heran kalau kemudian orang menikmati hubungan atas-bawah (pemimpin-bawahan). Kita sebagai atasan dan yang lain bawahan, sehingga gemar menindas, enggan belajar, tidak pernah mau mendengar, tidak pernah mau bersahabat, tidak pernah mau bertanya, apalagi mengalah. Ini percis seperti orang yang sudah hipertensi, kolesterol tinggi, tinggal menunggu ledakan besar, strouk, pembuluh darah pecah, dan akhirnya sampai jumpa. Kalau mau selamat, mau baik, maka jangan langgar pantangannya. Jangan mengonsumsi hal yang membahayakan diri, jangan rasa paling pintar, paling benar, paling hebat, dan jangan pula rasa paling tahu dan paling bisa.
Disarikan Oleh Slawi dari Seri Khotbah Populer Pdt. Bigman Sirait