Melayani

 Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*

Kita sering mendengar dan memakai istilah yang berkaitan dengan “melayani” seperti service, customer service, melayani, berkarya, dan sebagainya.  Kita punya pengalaman dan gambaran tentang melayani. Dan kita senang melihat orang lain melayani. Bisa jadi karena punya semangat sungguh-sungguh mau melayani masyarakat, penduduk DKI memilih Jokowi-Ahok daripada Fauzi-Nara yang mestinya memiliki banyak kelebihan. Namun pada dasarnya melayani bukanlah budaya kita. Kita lebih suka dan terbiasa dengan dilayani.
Namun “melayani” adalah kenyataan hidup yang harus setiap pribadi jalani. Ada perusahaan jasa, bahkan dikatakan semua perusahaan adalah perusahaan jasa. Di negara-negara maju, kontribusi industri jasa terhadap GDP (gross domestic products) sangat besar alias dominan. Di Indonesia peranan industri jasa cukup besar, yaitu sekitar 40%, walaupun belum dominan. Kenyataan ini tidak mengherankan, karena Alkitab memanggil semua manusia untuk “melayani”. Orang percaya memiliki bahkan dua panggilan pelayanan, yaitu pelayanan budaya dan pelayanan rohani. Bagaimana kita memahami jati diri sebagai pelayan Tuhan?
Bagi kita, Yesus adalah model dan teladan bagaimana kita seharusnya menjalani kehidupan ini. Dan kalau kita mengamati kehidupan Yesus, kita segera melihat bahwa hidupnya adalah untuk melayani manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan bahkan memberikan nyawa-Nya untuk pelayanan khusus-Nya, yaitu menebus umat manusia dari hukuman dosa. Yesus menggambarkan seorang pelayan seperti diri-Nya dengan istilah diakonos dan doulos (Markus 10:43-45).Diakonos atau sekarang banyak kita dengar istilah diaken, adalah pelayan yang melayani orang lain dengan sukacita. Sedangkan doulos yang diterjemahkan sebagai hamba, dalam bahasa Inggris adalah bond-servant, bisa diterjemahkan sebagai budak. Seorang budak adalah pekerja yang dimiliki oleh tuannya, dia tidak memiliki hak atas dirinya, dan harus siap melayani setiap waktu.
Jelas bagi orang percaya soal melayani adalah serius. Melayani bukan sekedar suka menolong dan melakukan hal-hal yang ditugaskan gereja. Melayani adalah hidup orang percaya itu sendiri. Kita sedang terus mengalami pembentukan Tuhan untuk menjadi pelayan-Nya, yang melayani Dia dan sesama, baik dalam pekerjaan sehari-hari, maupun dalam pelayanan gerejawi.
Oleh karena itu kita seharusnya membuka diri dan patuh kepada arahan Tuhan, membangun sikap yang mau melayani. Melayani adalah melihat kebutuhan, mendatangi, memperhatikan, menyesuaikan jadual, mengakomodasi,  memberi yang dibutuhkan oleh mereka yang kita layani. Melayani melibatkan baik motivasi maupun ketrampilan dan sebagai pribadi yang bertumbuh kita perlu meningkat diri terus dalam keduanya. Namun, pertama-tama, kita harus segera memperbaiki dan memurnikan motivasi pelayanan kita, yang tidak saja akan berdampak kepada kinerja pelayanan kita tapi terlebih menjadikan pelayanan itu berkenan dan memuliakan Tuhan.
Mengapa kita melayani? Sebagai manusia perilaku kita bisa dijelaskan oleh berbagai  teori motivasi. Teori kebutuhan hierarkis manusia Maslow menjelaskan kalau perilaku manusia, termasuk melayani, didorong oleh pemenuhan kebutuhan mereka secara berjenjang, dari kebutuhan yang paling dasar, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, hingga aktualisasi diri. Terkait dengan “kerohanian”, kita bisa melayani karena sikap legalistik, kalau tidak melakukan adalah berdosa, bahkan tidak selamat; untuk menutupi rasa bersalah; atau untuk tampil atau kekuasaan. Semua motivasi ini akan menyebabkan apa yang kita lakukan menjadi sia-sia di mata Tuhan – bahkan sekalipun kita memberikan seluruh harta yang kita miliki, dan memberikan nyawa (Lihat 1 Kor 13:1-3). Bagi orang percaya, semua pelayanan kita haruslah dimotivasi oleh kasih, yaitu jenis kasih yang Alkitab sebutkan sebagai kasih “agape”. Kasih ini membuat kita berkomitmen tanpa syarat, dan tidak tergoyahkan bahwa apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan orang yang kita layani.
Sudah barang tentu ada alasan-alasan lain yang baik dan melengkapi. Misalnya, kita melayani sebagai ucapan syukur karena menyadari bahwa hidup ini adalah anugerah.  Alkitab juga berbicara tentang pahala di sorga bagi orang yang melayani Dia di bumi. Ketika kita berpikir kekekalan dan kaitan hidup di bumi ini dengan di sorga, pikiran yang smart akan mengarahkan kita untuk “menyimpan harta di sorga” yang kekal melalui pelayanan di bumi yang sementara, dan bahkan periodenya tidak ada artinya dibandingkan dengan kehidupan kekal nanti. Alkitab juga menyatakan melayani adalah pertanggung-jawaban kita kepada Tuhan yang telah memberikan sejumlah “talenta” kepada setiap orang. Ketika kita membangun sikap takut kepada Tuhan yang sehat, maka tidak bisa tidak kita memberi diri untuk melayani Dia.
Melayani adalah jalan untuk menjadi besar (greatness) (Lihat Markus 10:43). Mari kita memurnikan motivasi pelayanan kita dan meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan kita selagi ada kesempatan. Pada waktunya kita akan menikmati apresiasi dari Tuhan kita, ”Baik sekali perbuatamu itu, hai hambaKu yang baik dan setia!” (Mat 25:21, 23). Tuhan memberkati!

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *