Pdt. Bigman Sirait
Tahun baru, harapan baru, dan serba baru lainnya, selalu menjadi jargon setiap awal tahun. Namun kebanyakan harapan baru selalu buat diri. Entahlah buat yang lainnya, karena toh, pada umumnya sedikit orang yang tertarik untuk menjadi awal perubahan baru bagi orang lain. Inilah realita kehidupan. Begitu juga harapan Indonesia baru. Bagi siapa, dan apa? Sebuah pertanyaan krusial.
Dalam ranah politik, Indonesia baru, tentu saja berkisar pada pemerintahan yang baru. Pergantian kekuasaan selalu menjadi agenda yang menggiurkan. Maklum ada banyak orang yang merindukannya. Dan semuanya serentak menyanyikan paduan suara, pengabdian untuk bangsa. Yang lama akan berkata, telah menciptakan banyak perubahan, dan menunjuk berbagai hal yang belum tentu karya dirinya. Seperti seorang anak yang juara lomba sains atau lain sebagainya. Pemerintah pasti akan mengatakan itu hasil pembinaan. Namun di kenyataan, jika ditelusuri dengan teliti, ternyata si anak sudah pintar pada dirinya karena pendidikan di keluarganya. Rajin melahap berbagai informasi di internet. Sekolah menggarap si anak, karena guru yang berjiwa welas asih, mendidik si anak dengan teliti. Tapi yang mendapat nama, dan mengklaim hasilnya, ah, itu pasti para petinggi, yang sangking tingginya tidak pernah turun ke bawah. Tapi mereka memang piawai memanfaatkan momentum, bahkan ahli mencurinya. Dan, itu pulalah yang membawa mereka menjadi petinggi. Sebuah ironi, Negara iklan.
D isisi lain, barisan penggugat seringkali terasa panjang. Menyerukan perubahan untuk pembaruan, namun seringkali tak jelas mana yang murni. Ada banyak yang saling menindih. Klaim yang disampaikan tak jarang terasa subjektif dan provokatif. Inilah realita politik yang seringkali membuat rakyat tertipu pada harapan kosong. Untuk itulah dituntut seorang yang bukan saja hebat dengan slogan pembaruan, namun juga terbukti unggul dalam berbagai segi kehidupan. Seorang yang konsisten antara kata yang diucap dengan perilaku yang terlihat. Karena pembaruan hanya akan dibawa oleh mereka, yang selalu siap berbuat untuk berbakti, bukan mencari untuk diri sendiri.
Sementara ini, panggung politik Indonesia hiruk pikuk dengan berbagai isu yang menyedihkan. Di parlemen, anggota DPR yang seharusnya menjadi pengawas terbaik mewakili rakyat, malah perlu untuk diawasi. Mereka terlibat dalam kekotoran yang menyedihkan. Amat sangat sulit untuk menemukan ucapan yang bisa dipegang. Semua terasa liat, sulit dipercaya, karena mulut yang ada hanya mengeluarkan kata yang bukan dari hati. Palsu, dan kehebatannya hanya untuk berkelit dan berbelit. Semua kata bisa bertolak belakang hanya dalam hitungan jam. Dan, yang lebih mengerikan, mereka tak segan menyebut-nyebut nama Sang Pencipta untk menutup jejak tipu dayanya. Anggota dewan yang terhormat, tak lagi terhormat, karena tak punya rasa hormat, bahkan tak mampu menghormati dirinya agar tetap punya hormat. Panjang sudah barisan mereka yang terpidana, tersangka, hingga terlibat dalam berbagai isu tak sedap, suap. Ya, mereka tak hanya sekedar menerima suap, bahkan menggigit agar diberi suap. Dan ketika tertangkap, tak ada rasa malu, dan tetap berseru, aku hanya korban permainan politik. Ah, memang sudah edan. Itulah parlemenku.
Di eksekutif, setali tiga uang, sama jorok dan busuknya. Hak rakyat bukan saja disunat, bahkan dirampok habis. Yang terlibat dan ditangkap, bukan saja yang mantan pejabat, tetapi juga yang aktif. Itupun, karena penegak hukum masih malu-malu kucing. Sama-sama memiliki noda, hanya berbeda tempat saja. Jika saja penegak hukum betul-betul bersih, bisa-bisa pejabat yang tersisa sedikit sekali. Kong kalikong, adalah istilah popular sekarang ini atas perilaku eksekutif dan legislatif. Penegak hukum, melanggar hukum. Pengawas harus diawasi. Dan pemerintah membuat muntah. Ah, lengkaplah sudah penderitaan rakyat. Sementara sang pejabat berlomba menjadi bintang iklan. Berlomba membuat slogan, yang seringkali terasa menggelikan, karena berbeda total dengan kenyataan. Dan, untuk populeritas diri, uang rakyatpun dikucurkan. Hak rakyat, lagi-lagi hilang, menguap kencang. KPK coba tampil garang, dan mulai menuai hasilnya. Kalo terus garang, maka akan banyak pejabat yang terjengkang. Semoga, karena rakyat menunggu obat muntah dari KPK, mengingat rakyat sudah sangat mual mendengar kalimat: Katakan tidak pada korupsi, namun justru terlibat. Dan, celakanya, tak ada tindakan dari pemimpin. KPK pun menjadi harapan terakhir. Ah, joroknya korupsi di negeri ini.
Siapakah yang bisa, dan pas, menjadi tokoh pembaruan? Untuk menuju Indonesia baru, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang holistik. Memiliki kecerdasan dan ketegasan yang memadai, bukan hanya yang mampu berpidato tapi tak pernah mampu bertindak. Yang merasa telah membuat keputusan, padahal tak menciptakan perubahan, bahkan kekacauan. Yang meminta kepada bawahan untuk bertindak, namun sesungguhnya hanya untuk melepaskan diri dari kesalahan, dan menutupi ketidakmampuan sebagai pemimpin dalam memberi komando. Seorang pemimpin yang tegas, konsisten, tidak plin plan, tidak munafik. Memahami secara kesuluruhan apa yang menjadi persoalan bangsa dan tidak parsial. Sehingga mampu menjaga keutuhan NKRI yang historikal, sebagai warisan para founding father Indonesia. Untuk itu, ketegasan dalam menindak berbagai pelanggaran hak asasi manusia atas nama mayoritas, harus tampak jelas. Pemimpin tak boleh hanya menyatakan prihatin, namun tak mengambil tindakan yang jelas, dan terukur. Keragu-raguan hanyalah celah untuk pengerusakan republik tercinta ini. Pemimpin yang ragu-ragu akan membahayakan semua lini kesatuan bangsa.
Untuk pembaruan Indonesia tercinta, sangat dibutuhkan pemimpin yang berintegritas. Sejalan antara kecerdasan dan perilaku moralnya. Yang bersih moral, bukan hanya dirinya tetapi juga keluarganya. Soal ini, sangat menarik ketika rasul Paulus meminta kepada Timotius maupun Titus dalam memilih penatua jemaat. Pilihlah mereka yang mampu memimpin keluarganya. Sebuah syarat penting bagi pemimpin yang akan menciptakan kehidupan bersama yang indah, dan tak ada celah untuk orang lain menjatuhkannya. Pemimpin yang tak dapat mengendalikan keluarganya, akan menciptakan pemimpin berganda. Istrinya, anak-anaknya, bisa menjadi pejabat tanpa pangkat, namun dengan kekuasaan yang hebat. Semua anggota keluarga bertindak tanpa tunduk hukum, dan melanggar tanpa tersentuh hukum. Kenyataan seperti ini terjadi di semua belahan bumi. Dan, sudah pasti, rakyat kebanyakan yang akan jadi korbannya. Pemimpin seperti ini tak akan pernah menciptakan pembaruan bagi Negara, paling hanya memberi kosmetik murahan yang penuh tipu daya. Dan, Negara berubah menjadi “milik keluarga”. Gila, tapi ini ancaman nyata. Perlu pemimpin yang tegas, yang tahu betul hak dan kewajibannya. Memisahkan kepentingan keluarga, dan Negara, dan mengutamakan tugasnya. Jika tidak bisa, jangan menjadi pemimpin.
Akankah ada, pemimpin yang berkelas seperti ini? Pasti ada, itu bukan harapan kosong. Hanya saja pemimpin berintegritas seperti ini seringkali dihadang oleh kepentingan partai. Partai yang seharusnya menjadi abdi negeri, seringkali tampil sebagai monster yang menakutkan. Abai pada panggilan nurani sebagai pengabdi. Ini selalu menjadi penghalang besar. Untuk itu, kesadaran rakyat sebagai pemilik amanah atas Negara harus dibangun. Rakyat yang sehat adalah rakyat yang menggugat hal yang salah. Tak hanya diam, pasrah, apalagi masa bodoh. Adalah kejahatan, jika sebagai anak bangsa, ada yang tak peduli pada perjalanan dan masa depan bangsa. Jangan pernah bermimpi hidup yang lebih baik dalam berbangsa dan bernegara, jika Anda absen untuk hadir di keseharian hidup ini.
Indonesia baru, bilakah? Selamat turut menciptakannya.