Antara Pendeta Dan Motivator

Pdt. Bigman Sirait

Bapak pengasuh yang terhormat,
 Saya Jonathan, seorang akitivis di sebuah Gereja suku.
Sekarang ini kami melihat banyak motivator berkhotbah seperti pendeta.  Dan banyak juga pendeta yang menyampaikan khotbahnya seperti motivator. Banyak motivator mengambil sumber dari ayat Alkitab, sementara Pendeta juga mengutip kata-kata orang besar dan hebat sebagai pendukung khotbahnya.  Pertanyaan saya, kalau demikian apa bedanya motivator dengan pendeta?
 
Terimakasih Pak.
 
Salam hormat,
Jonathan, Lampung

Jonathan yang dikasihi Tuhan, pertanyaan ini memang fenomena akual, yang dengan mudah kita temukan, baik di gereja maupun media. Dengan semakin terbukanya ruang media, memungkinkan banyak khotbah disiarkan, baik secara audio maupun video. Di sisi lain, juga fenomena pengkhotbah dadakan, yang mendadak muncul tanpa jelas latar belakang pembelajarannya. Yang penting fasih lidah. Mengapa? Mari kita selusuri dengan teliti.
Pertama, harus kita pahami, era yang sedang kita jalani, dimana pola pikiran postmo menguasai jaman ini. Di sini saya tak hendak mengulas konsep pemikiran postmo, karena ruangnya tak akan cukup. Kita akan membicarakannya sambil berjalan. Posmo adalah sebuah konsep berpikir. Era pemikiran secara umum dibagi beberapa tahap:  tradisional, modern dan post modern. Tapi yang disebut tradisional, cikal bakal pemikiran modern, post modern, juga sudah ada, dan demikian juga sebaliknya. Jadi, era ini tidak berdiri sendiri secara murni, melainkan saling mempengaruhi. Karena itu diperlukan ketelitian dalam mengenalinya.
Secara umum pula, era tradisional bisa dikatakan iman berperan secara dominan. Sementara di era modern rasio menjadi tuannya. Nah, di era post modern, perasaan menjadi pusat. Dalam pendekatan keilmuan, tradisional itu eranya teologi, modern itu eranya filsafat, sementara post modern itu eranya psikologi. Saya biasa menggambarkan hal ini dalam bagan. Namun harus dipahami, semua pemahaman tentang hal ini sangat terbuka diperdebatkan, karena sangat tergantung pendekatan dan latar belakang warna pendidikan seseorang. Dan, lagi-lagi kita tak akan mengulas isu itu disini.
Kembali ke isu antara pendeta dan motivator. Di era postmo, motivator bertumbuh subur. Disebut motivator karena mereka berusaha memotivasi orang untuk meyakini apa yang mereka ajarkan, yang mereka sebut sebagai “jalan sukses”. Ini adalah usaha membangun sebuah keyakinan bahwa saya bisa. Biasa juga disebut sugesti. Namun tak semua orang setuju secara teori menyamakan memotivasi dan mensugesti. Saya sendiri melihat ini sebagai dua hal yang sama, dengan baju yang dimodifikasi. Semua pendekatan ini adalah pendekatan psikologis. Psikologi sebagai ilmu menjadi tuan rumah disini. Manusia dipelajari sebagai obyek untuk bisa menerima apa yang akan disampaikan. Untuk itu dibangun sebuah cara. Dan diyakinkan bahwa dia bisa melakukan apa saja. Sehingga semboyannya adalah: Anda bisa! Apa yang kamu mau, kamu bisa! Slogan lainnya:  Apa kabar, luar biasa! Wah, keren sekali ya.
Nah, di dalam agama ini (motivasi) disebut iman. Bahasa kerennya:  Jadilah seperti imanmu (Apa yang kamu mau, kamu bisa). Pas kan? Sehingga ini menjadi salah satu titik temu untuk saling melompat dan memanfaatkan, antara pendeta dan motivator. Soal siapa meniru siapa, kita tak akan ulas di sini. Psikologi sering disebut sebagai agama baru. Di sini teologi diabaikan, bahkan banyak pengkhotbah lebih suka belajar teknik psikologi dalam mensugesti ketimbang belajar teologi untuk mengerti Alkitab dan kehendak Allah seutuhnya. Terjadi sinkretisme (percampuran) yang sangat kental. Nah, susah deh, membedakan mana pendeta dan motivator, kecuali melihat apa yang mereka pegang, Alkitab atau buku panduan. Kemiripan meliputi dari cara hingga isi, dan trik meyakinkan pendengarnya. Misalnya, memanfaatkan kekuatan sound systim, lighting, orang, dan berbagai alat bantu lainnya.
 Bagaimana semestinya? Ini menarik dikaji lebih mendalam lagi.
Kita mulai dari motivator. Ini adalah produk barat, karena itu tidak mengherankan jika banyak ayat Alkitab ada di sana. Di Barat, Alkitab tak lagi sepenuhnya dipandang sebagai kitab suci. Oleh sekelompok orang Alkitab dinilai sama dengan buku yang lainnya. Jadi mereka tak segan mengutipnya sebagai catatan kaki. Sebagaimana lazimnya orang menulis sebuah buku. Nah, sebagai catatan kaki, sering pemikiran Alkitab tampak mendominasi, hanya saja, bahayanya, berganti pusatnya. Jika dalam teologi yang benar, Alkitab mengajarkan Allah adalah pusatnya, maka dalam psikologi manusia adalah pusatnya. Jika Alkitab mengajarkan: Jadilah kehendak-MU, ya Allah. Maka psikologi jadilah seperti kehendakmu! Apa yang kamu mau! Jadi, dari sumber yang sama, tapi pusat yang sangat berbeda. Ini diteruskan, betapapun semuanya sangat bertolak belakang dengan Alkitab. Itulah repotnya seorang motivator yang Kristen. Tanpa sadar, dia ditelan di rimba ini, apalagi semuanya tampak baik, karena tak mengajarkan apa yang jahat, atau percaya pada setan. Bahkan sebaliknya, menolong banyak orang. Ini biasa menjadi slogan para motivator:  Telah banyak yang merasakan manfaat, atau berhasil karena mengikuti kelas saya, kata mereka. Soal ini, Alkitab pernah berkata dan memperingatkan umat: Awas, iblis bisa tampil seperti malaikat terang.
Sekarang, bagaimana dengan para pengkhotbah, kenapa mereka bisa terpengaruh. Masalahnya sederhana saja. Karena banyak yang mau jadi guru, tapi tidak mau jadi murid lebih dahulu. Cobalah pikirkan! Untuk meraih S1 teknik sipil memerlukan 4-5 tahun kuliah. Lalu pengalaman yang memadai agar mendapatkan ijin menghitung struktur bangunan bertingkat. Demikian seterusnya, belajar lagi, untuk tingkatan yang lebih beresiko tinggi. Gawatnya, untuk jadi pengkhotbah, yang memiliki resiko amat sangat tinggi, yaitu tersesat, banyak yang tak mau belajar. Jika S1 sipil salah menghitung, bisa jatuh korban nyawa. Maka pengkhotbah, bisa menyesatkan dan mendorong orang ke neraka. Seharusnya mereka belajar seperti yang dikatakan dalam kitab Yakobus. Tapi mereka sering berdalih, murid Tuhan Yesus juga bukan orang terpelajar. Atau yang lebih ngetrend lagi, Tuhan berbicara pada saya.
Mari kita periksa kebenarannya. Ingat Paulus sang rasul adalah murid Gamaliel, seorang guru terkenal. Pertanyaannya sederhana, apakah Gamaliel lebih hebat dari Yesus Kristus? Mereka lupa, tidak kurang dari 3,5 tahun para murid belajar kebenaran dari Yesus Kristus, Sang Benar. Belajar, siang, malam. Duduk, dan juga ketika berjalan. Semua yang dilewati, ditemukan, bisa jadi pelajaran. Seperti pohon ara yang tak berbuah, yang dikutuk Yesus. Ditambah lagi praktek kesembuhan, kebangkitan dari mati, dan berbagai hal supranatural lainnya. Tak ada yang lebih hebat dari para murid, dalam belajar kebenaran. Tidak materinya, apalagi pribadi Sang Guru. Namun apa hasilnya? Murid-murid tak ada yang lulus. Mereka gagal di ujian salib. Sehingga Yesus memberi kesempatan kedua, ketika mereka ke Tiberias dan menjadi penjala ikan, dipanggil dan diingatkan, untuk meninggalkan Tiberias, menjadi penjala manusia. Paulus yang brillian pun gagal belajar. Sebagai ahli PL dia malah menjadi pembunuh pengikut Yesus Kristus, hingga Tuhan menangkapnya dalam peristiwa pertobatan yang unik. Jadi tidak ada murid Tuhan Yesus Kristus yang tidak belajar. Jika menghitung jumlah waktu, materi pelajaran, dan kualitas pengajar, maka murid-murid Yesus, minimal S2 teologi. Jangan lupa, kelak merekalah pengkotbah, pengajar, dan penulis Alkitab yang handal. Malu ah, jika tak mau belajar, tapi sangat berani berkhotbah.
Jadi, kurangnya pemahaman yang benar akan Alkitab, membuat banyak pengkhotbah mengcopy paste ucapan dan bertindak seperti motivator. Memang hasil kuantitatifnya hebat. Banyak pendengarnya, karena si pengkhotbah fasih lidah, dan membuat para pendengar menjadi penting, cocok dengan selera manusia pada umumnya. Inilah yang dikatakan Paulus kepada Timotius di 2 Tim 4:3-4; bahwa waktunya akan datang bahwa orang tak mau ajaran sehat, tapi mencari guru yang menyenangkan telinganya. Nah, terjadilah pertemuan besar-besaran. Jumlah yang banyak selalu menjadi alasan bahwa mereka diberkati. Bacalah Alkitab, semuanya sangat jelas, sudah diantisipasi, agar umat yang benar tak tersesat. Bayangkan, Paulus mengatakan itu 2000 tahun lalu. Sekarang, pasti luar biasa penyelewengan yang ada, dan semua itu benar, fakta yang tak terbantah. Betapa mengagumkannya Alkitab.      
Akhirnya, Jonathan yang dikasihi Tuhan, motivator seperti pengkhotbah dan pengkhotbah seperti motivator pasti semakin meluas. Bahkan tak sedikit pengkhotbah yang benar secara teologi, tergoda dengan daya tarik kuantitas, yang juga berarti materi, dan mereka pun berubah. Benarlah kata Tuhan Yesus Kristus:  Banyak yang dipanggil, tapi sedikit yang dipilih (Matius 22:14). Bahasa gaulnya: Banyak yang ke gereja tapi sedikit yang ke surga!
Semoga kita menjadi bijak, dan tulisan ini menjadi berkat bagi kita semua yang mencintai kebenaran.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *