Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu. (1 Kor 7:29-31)
Hidup bahagia telah menjadi topik yang banyak dipelajari dan diriset oleh para ahli, khususnya di bidang psikologi yang memang mempelajari perilaku manusia. Suatu hasil penelitian awal yang menarik ternyata kebahagiaan masyarakat berbagai negara tidak berbeda dengan tingkat pendapatan mereka ketika suatu tingkat minimal telah tercapai. Bahkan kasus di AS menunjukkan walaupun pendapatan orang meningkat setelah Perang Dunia II, kebahagiaan mereka tidak meningkat. Lebih ekstrim lagi kesimpulan psikolog Profesor Ed Diener yang sering disebut sebagai Mr. Happiness tiba pada suatu pemikiran bahwa materialisme itu racun untuk kebahagiaan.
Hasil riset lain menunjukkan orang akan lebih berbahagia ketika dia ‘membeli pengalaman’ daripada ‘membeli barang’. Dengan demikian ketika seseorang menghayati pengalaman-pengalaman konsumsi atau aktivitas-aktivitas, dia akan menikmati kebahagiaan lebih daripada ketika dia berbelanja untuk memiliki sesuatu barang yang memiliki arti mengikatkan diri kepada barang yang dia beli. Oleh karena itu orang yang tinggal di kompleks perumahan yang menyediakan fasilitas-fasilitas untuk kegiatan-kegiatan sosial dan hiburan akan lebih bahagia dengan tempat tinggalnya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di rumah yang mungkin lebih bagus tapi tidak menyediakan fasilitas yang memberikan pengalaman-pengalaman itu.
Tidak saja ketika orang melekatkan diri kepada harta ia kehilangan kebahagiaannya, tapi juga ketika dia melekatkan diri dengan hal-hal lain yang ‘salah’, seperti pekerjaan. Bahkan dengan kegiatan-kegiatan yang dimaksud untuk memberikan kesenangan seperti hobi, seks, belanja, dan sebagainya. Sebagai orang Kristen, tidak adajaminan bahwa ketika dia rajin beribadah dan melayani, dia hidup lebih damai atau bahagia. Kita sering mendengar pemimpin Kristen (baca: pendeta) yang terus mengkritik gereja lain, kelompok lain atau pemimpin Kristen lain. Kotbah yang disampaikan banyak berisi uneg-uneg ketidak-puasannya. Ketika seseorang memusatkan pikiran atau kegiatannya pada hal-hal yang salah, maka itu tidak menimbulkan kepuasan dan kebahagiaan tapi malah menimbulkan kehausan yang tidak pernah terpuaskan.
Keterikatan orang pada ‘sesuatu’ juga menyebabkan dia takut kehilangan sesuatu yang mengikat dia itu. Orang yang terikat dengan hartanya, misalnya, akan takut kehilangan dan tidak rela hartanya menjadi berkurang. Dia akan menjadi orang yang pelit, mau menerima tapi tidak mau memberi. Dalam berelasi, dia akan mempertimbangkan untung-ruginya dan mencari yang menguntungkan. Ada orang yang terikat dengan pasangannya, sepertinya tidak bisa hidup kalau pasangannya dipanggil Tuhan. Ada orang yang terikat dengan pekerjaannya – pekerjaan adalah segala-galanya. Ketika dia kehilangan pekerjaanny, dia kehilangan hidupnya. Segala sesuatu yang mengikat dia menjadi berhala hidupnya.
Padahal Alkitab menyata-kan bahwa kebenaran Kristus membebaskan atau memerdekakan orang yang hidup di dalamnya (Yohanes 8:32) – memerdekakan dari ikatan-ikatan dosa, kuasa-kuasa jahat, dan beban-beban berat akibat dosa. Dengan kemerdekaan sejati itu orang bisa menikmati damai dan kebahagiaan sejati. Blaise Pascal, seorang ahli matematika, fisika, penemu dan filsuf Kristen Perancis yang hidup di abad 17 dengan pas menyatakan: There is a God shaped vacuum in the heart of every man which cannot be filled by any created thing, but only by God, the Creator, made known through Jesus.
Pertanyaan bagi kita, apakah saya merdeka seperti yang Tuhan maksudkan? Apakah saya bertumbuh dalam kemerdekaan yang Allah anugerahkan kepada saya? Sebagai orang percay, kita harus menyadari bahwa di dunia ini kita sebenarnya adalah musafir, bukan penduduk tetap. Kita sedang dalam perjalanan menuju ke rumah kekal kita, yaitu sorga. Dalam perjalanan ini banyak hal yang harus kita lakukan sebagai persiapan menuju ke rumah kita itu. Kita harus melepaskan dunia dengan segala daya tarik-nya yang berusaha mengikat kita di dunia ini. Tuhan sendiri melatih kita untuk melepaskan kita dari apa saja yang kita ‘miliki’ di dunia ini dalam perjalanan hidup kita secara progresif: dari harta, kekuasaan, pekerjaan, orang tua, teman, pasangan, kesehatan dan pada titik terakhir, kita dilepas dari segala hal untuk bertemu dengan Tuhan, muka dengan muka.
Karena itu seyogyanya kita belajar melonggarkan ikatan-ikatan emosi kita dengan segala sesuatu dan melepaskan ikatan-ikatan itu. Walaupun di pihak lain Tuhan menghendaki kita untuk bertanggung-jawab dan mengerjakan dengan sepenuh hati seperti untuk Tuhan (lihat Kolose 3:17). Keterpisahaan kita dengan segala sesuatu ini sesungguhnya menunjukkan kedewasaan rohani kita dan adalah satu rahasia bagaimana mengalamai damai sejahtera Tuhan. Tuhan memberkati!