Pdt. Bigman Sirait
Kita sudah menjelajah Alkitab dalam memaknai istilah kepala bukan ekor, yang sering terucap dalam berbagai doa berkat yang tak seimbang. Tak seimbang, karena sejatinya umat Allah hanya akan jadi kepala jika mereka taat, namun sebaliknya, menjadi ekor jika mereka tidak taat. Seharusnya diingatkan kamu kepala bukan ekor, tapi juga bisa ekor dan bukan kepala, sebagai konsekwensi ketaatan. Tapi kebiasaan “mendiskon” Firman Allah nyaris menjadi tradisi yang menyedihkan dalam berbagai khotbah. Yang penting pendengar senang, bukan lagi Tuhan senang.
Nah, ketika kepala menjadi ekor, kita jadikan sebuah momentum perenungan lewat berbagai “musibah” yang melanda para pendeta yang mengklaim diri sebagai kepala dan bukan ekor. Berbagai peristiwa mulai dari Amerika, Korea, Singapura, Indonesia, bahkan Nigeria yang terbilang Negara miskin, ternyata memiliki pendeta yang kelas “kepala”, karena amat sangat kaya raya dengan angka ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Disebut kepala, karena itu adalah klaim dari diri mereka sendiri. Bahkan mereka mengklaim orang mendukung pelayan mereka, selalu berlimpah berkat. Dan celakanya, umat menelan mentah-mentah, tak ada sikap kritis yang semestinya mewarnai orang beriman.
Mengapa mereka mengklaim diri sebagai kepala? Apa yang menjadi parameternya? Jangan kaget, karena parameter yang dipakai sangat kuantitatif, kekayaan, kesehatan. Semakin besar kekayaan yang dimiliki, semakin terbukti dia adalah orang yang sangat diberkati. Jangan tanya ayat Alkitabnya dimana, karena memang Anda tak akan menemukan itu, sekalipun membolak-balik Alkitab berkali-kali. Dan, jika pun ada, semua ditafsir dengan mengabaikan konteksnya. Pada umumnya, Abraham, Ishak, yang terus berlipat kekayaannya menjadi contoh yang paling disukai. Tapi mengabaikan nabi Elisa yang menolak pemberian harta yang limpah dari panglima Naaman. Apalagi para rasul di PB yang ternyata tak satupun yang kaya. Zakheus, pemukut cukai yang bertobat, mempersembahkan separuh dari hartanya untuk orang miskin. Bukannya tambah kaya, malah menjadi menurun, tapi saat yang bersamaan, dia menjadi orang yang berbahagia, dan disebut oleh Tuhan Yesus sebagai anak Abraham. Jadi pemaksaan makna ayat Alkitab, hanyalah untuk pembenaran diri. Lagi-lagi umat dituntut teliti.
Karena itu, menjadi ironi, ketika para pendeta super kaya tersandung isu penggelapan, ataupun manipulasi penggunaan keuangan gereja, menjadi asset pribadi. Umat yang punya hati nurani, ataupun umat yang jengkel karena merasa tertipu berusaha membongkarnya. Tak semua bisa, karena legalitas hukum yang lemah, dan juga mafia hukum yang bergentanyangan menawarkan jasa. Kaya raya karena penggelapan uang, namun mengklaim diri kepala, bukankah itu amat sangat menyedihkan. Apalagi jika menelisik kehidupan keluarganya. Aneh tapi nyata, karena sangat kontras dengan khotbah, apalagi tuntutan Alkitab. Jika bukan keributan suami istri, hingga tuntutan perceraian, ada juga keributan antara anak dan mantu, atau antara anak yang saling berebut posisi. Atau, riak keributan tak tampak menggelombang, namun anggota keluarga amat sangat tertekan, bahkan depresi. Belum lagi perilaku moral yang tak terpuji. Maklum, kekayaan memang sangat membutakan. Biasanya seribu satu dalih disampaikan, tapi lagi-lagi hanya untuk pembenaran diri. Mereka hampir selalu lolos tanpa sanksi yang berarti, karena umat tak pernah mampu tegas dalam bersikap benar. Umat yang tanpa sadar justru menjadi pendukung kejatuhan sang hamba Tuhan. Semua bersama menjadi pendosa. Ironisnya, alsannya kasih, mengampuni, dan berbagai kata yang kehilangan kekuatan kebenaran yang harus ditegakkan, bukan diabaikan. Bukan kasih juga, menegur, bahkan menghajar? (Ibrani 12:5-6). Tapi pengkultusan memang semakin menggila, karena ternyata banyak juga umat yang punya agenda pribadi, ingin dekat dan jadi “orang kepercayaan”. Akhirnya “saling menjatuhkan”, dan jatuh bersama.
Lalu, jika mengkritisi pajak para pendeta, ini juga menjadi isu menarik. Pendeta bukanlah orang yang bebas pajak, melainkan wajib pajak. Dan pajak adalah untuk kesejahteraan rakyat banyak. Sebagai pendeta, tentu saja digugat untuk menjadi teladan bagi banyak orang, apalagi rakyat Indonesia terdiri dari berbagai agama, dan masih banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan. Bagaimana mungkin kita meneriakkan kebenaran di dalam Kristus, jika dalam tanggung jawab umum sebagai warga Negara ternyata kita lalai, atau bahkan sengaja menghindarkan diri. Kewajiban membayar pajak pasti akan terasa berat bagi mereka yang kaya raya, namun tak rela hartanya berkurang. Padahal, di sisi lain, membayar pajak amat sangat menyenangkan, karena bisa menjadi berkat bagi saudara yang lain, yang hidup dalam kesusahan.
Nah, jadi, ketika seseorang dikenal kaya raya, maka dengan mudah kita bisa meneliti, seberapa besar pajak yang dibayarkannya. Artinya, para petugas pajak dapat dengan segera menghitung besarannya. Sayangnya, fakta menunjukkan, tak sedikit para petugas pajak yang memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan diri sendiri. Begitu juga sebaliknya dengan pembayar pajak. Celakanya yang berlabel pendeta, atau pengurus gereja. Sejatinya, Tuhan Yesus amat sangat jelas sekali berkata: Berilah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan, begitu pula kepada Allah (Matius 22:21). Bahwa ada petugas pajak yang tak benar, itu urusan mereka, tapi urusan kita jelas, yaitu bertindak benar.
Apa yang dikatakan Alkitab memang tak terbantah, ada terlalu banyak mereka yang mau melayani, tapi untuk memperkaya diri sendiri, mengambil keuntungan dari pelayanan (2 Korintus 2:17). Mereka melahap persembahan, persepuluhan, dan membuat berbagai proyek gereja, tapi mengantongi uang, dan menjadikan asset milik pribadi. Umat, yang tak sedikit adalah pengusaha, akuntan, terpana, dan memuluskan semua kesalahan atas nama hak hamba Tuhan. Padahal yang berhak itu, jelas hanya satu, yaitu, Tuhan Yesus Kepala Gereja, lewat gerejanya (persekutuan, bersama, organisasi, sistim), bukan perorangan. Manusia adalah mahluk berdosa yang korup, karena itu, sistim di dalam kebersamaan menjadi alat bantu mengontrol pergerakan. Tidak liar, semaunya. Ah, Alkitab, kenapa dipelintir?
Sayangnya, umat memakai alat ukur dunia dalam memahami berkat pemeliharaan Tuhan. Lihat dia hamba Tuhan yang diberkati, jemaatnya banyak. Entah bagaimana kebenaran logika ini. Dengan sederhananya, ada banyak agama lain, para guru yang memiliki umat lebih banyak dari warga gereja. Belum lagi apa yang dikatakan Alkitab, bahwa para penyesat gereja akan memiliki banyak pengikut. Mereka akan menyesatkan banyak orang, artinya sangat jelas banyak pengikutnya (Matius 24:5). Kesesatan itu dimulai dari cara yang paling halus, hingga cara-cara kasar, manipulasi (posisi, uang). Sejatinya, Alkitab tidak pernah memakai ukuran banyak orang sebagai tanda diberkati. Bahkan Tuhan Yesus sendiri, dengan tegas berkata: Banyak orang yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.
Lalu ada juga yang memakai alasan banyak mujizat. Itu berarti diberkati Tuhan, jika bukan, pasti tidak ada mujizat. Semakin nampak, betapa umat tak memahami sepenuhnya pesan Alkitab, bahwa setan juga bisa membuat mujizat. Ingat penyihir di Mesir, juga bisa membuat tongkat jadi ular. Dan Tuhan Yesus sendiri mengingatkan, betapa ada banyak orang akan ditolakNya, padahal mereka yakin sudah bernubuat, mengusir setan, membuat mujizat, dalam nama Tuhan Yesus. Tapi Tuhan Yesus berkata: Enyahlah pembuat kejahatan, Aku tidak mengenal engkau (Matius 7:21-23).
Ah, begitu terang benderangnya Alkitab memberi ukuran, tanda, agar umat tak terperdaya, tapi ternyata, tetap saja banyak yang terpedaya. Jadi sekali lagi, benarlah Alkitab, banyak yang dipanggil (ke gereja), tapi sedikit yang dipilih (ke surga). Semoga bukan Anda! Karena itu, kenalilah kepala yang sejati, kepala karena kualitas moralnya, keluarganya, kehidupannya yang terpuji. Cinta Tuhan bukan kekayaan. Melayani Tuhan, bukan melayani diri. Bersyukurlah senantiasa, bukan hanya di kala sehat, tapi juga sakit.
Jangan-jangan, yang selama ini yang ada, hanyalah ekor. Selamat mengenali kepala yang sesungguhnya.