Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Kehilangan dan dukacita adalah peristiwa yang universal dan manusia akan terus mengalaminya. Di dunia ini kita terus-menerus mengalami kehilangan dan karena itu merasakan dukacita. Pada usia optimal kita seperti memiliki segalanya – kesehatan, posisi, kekuasaan, uang, kawan, jabatan, peranan, keluarga, dan sebagainya. Namun dengan bertambahnya usia, secara gradual kita akan kehilangan semua dan akhirnya harus kembali dengan tidak membawa apa-apa kepada Sang Pencipta, kecuali pengalaman hidup yang harus dipertanggung-jawabkan di hadapan tahta pengadilan Ilahi.
Kita tidak mampu mempertahankan apa yang ada di tangan kita. Keterbatasan menyebabkan kita terus kehilangan. Pada akhirnya manusia harus mengakui bahwa mereka tidak maha kuasa tapi terbatas; dan sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan, kita semakin sadar Allah saja yang Mahakuasa, pemilik dan penguasa atas segala sesuatu yang sesaat ada di tangan kita.
Ketika kita mengalami kehilangan sesuatu yang “besar” sebagai manusia kita mengalami pengalaman “berduka”. Kehilangan yang signifikan umumnya ketika kita ditinggalkan oleh orang-orang yang kita kasihi seperti orang tua, pasangan, anak, teman, dan sebagainya. Ketika kita kehilangan hal-hal lain, pengalaman emosi yang mengikuti mungkin lebih sering disebut kesedihan.
Kehilangan menyebabkan kedukaan. Namun kehilangan seharusnya bisa mentransformasi orang. Orang banyak menjadi lebih dewasa setelah kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Di samping itu pengalaman kehilangan yang memang akan terus terjadi menolong orang mengembangkan ketrampilan menangani kehilangan sehingga dia mampu tetap berfungsi baik dan bahkan bertumbuh. Karena itu baik dan penting bagi kita memahami bagian pengalaman hidup yang kita lihat negatif ini agar kita bisa menanggapi secara tepat dengan iman.
Bagaimana manusia umumnya mengalami kesedihan? Model yang terkenal yang dikembangkan oleh Elizabeth Kubler-Ross pada 1969 mengindentifikasi adanya 5 (lima) tahap emosi, yang semuanya datang dari satu titik pusat ketika orang menghadapi kematian, penderitaan berat atau hal-hal ekstrim lain. Kelima tahap itu adalah “denial”(penyangkalan), “anger” (marah), “bargaining” (tawar menawar), “depression” (depresi), dan “resignation” (penerimaan).
Tahap awal reaksi terhadap kehilangan biasanya adalah penyangkalan, yaitu secara sadar atau tidak sadar menolak fakta kehilangan yang dialami. Misalnya, ketika seseorang didiagnosa kanker, yaitu kehilangan kesehatannya, dia bisa mengatakan: “Ini tidak mungkin terjadi”; “Saya tidak percaya”; “Saya baik-baik saja.”
Setelah penyangkalan, menyadari apa yang terjadi, biasanya seseorang yang mengalami kehilangan akan marah dan merasa yang terjadi itu tidak adil. Mereka bisa marah terhadap diri sendiri atau dengan orang lain, khususnya kepada orang-orang yang dekat. Misalnya, mereka bisa marah kepada orang tua yang tidak mendidik caya hidup yang sehat dan tidak memperingatkan kalau hal itu bisa terjadi. Dia bisa marah karena orang tua menurunkan garis penyakit kanker kepada dirinya.
Tahap berikut adalah tawar-menawar. Dia berharap bisa menunda peristiwa tragis seperti kematian dengan menjanjikan kepada Tuhan hidup yang berubah dan akan melakukan sesuatu bagi Dia kalau hidupnya diperpanjang. Kalau yang dihadapi adalah kehilangan yang tidak seserius kehilangan hidup, misalnya putus hubungan pacaran atau perkawinan, dia mungkin menegosiasikan agar tetap bisa berteman.
Seseorang bisa mengalami depresi dalam pengalaman menghadapi kehilangan. Saya akan segera mati kenapa pusing lagi. Ya saya salah. Saya sedih dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Ini umumnya merupakan puncak dari berbagai pengalaman emosi mereka. Dia menghadapi kepastian kehilangan itu. Proses ini membuat orang terpisah dengan hal-hal yang dia cintai dan sukai. Secara alami dia akan merasa sedih, takut dan ketidakpastian dan ini menunjukkan dia mulai menerima situasinya.
Seseorang bisa saja menjadi sangat tidak berdaya dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk lepas dari tahap ini dan sampai pada tahap berikutnya, yaitu tahap penerimaan. Di tahap penerimaan seseorang mulai dapat menerima dengan ikhlas apa yang terjadi. Saya akan baik-baik saja. Sebaiknya saya siap-siap menghadapinya. Pada tahap ini mereka mulai menerima keterbatasan mereka dan ketidak-kekalan jiwanya atau orang yang dikasihinya itu.
Kubler-Ross mengingatkan bahwa tahap-tahap ini bukan daftar yang lengkap emosi yang mungkin dialami dan bisa terjadi dalam urutan yang berbeda. Insight ini menolong kita memahami diri atau orang lain ketika mengalami kehilangan dan dukacita. Sebagai orang percaya kita memiliki sikap yang lebih positif dan penuh harapan dalam tahap-tahap pengalaman kehilangan itu.
Pada tahap awal ketika manusia cenderung mengingari apa yang terjadi, kita bisa lebih jujur dengan diri di hadapan Tuhan. Peristiwa kehilangan bisa terjadi karena tangan Tuhan menentang kita yang hidup dalam perbuatan dosa tertentu. Namun banyak peristiwa kehilangan adalah umum dan menjadi sarana Allah untuk membentuk manusia dewasa. Peristiwa-peristiwa tertentu direkayasa Iblis tapi diijinkan Tuhan terjadi dan akhirnya Tuhan menjadikan itu untuk kebaikan kita (ingat pengalaman Ayub).
Ketika hati kita marah, kita bisa bersikap jujur terhadap Allah mengasihi dan mengerti kita. Kita bisa menyampaikan keluhan-keluhan kita kepada Dia yang akan mendengar, menjawab dan memberikan damai yang tidak bisa kita dapat dari sumber-sumber lain.
Ketika hati kita terbesit untuk menawar apa yang telah terjadi, seyogyanya kita meminta pertolongan Tuhan. Kita bisa berdoa kepada Dia yang memegang hidup kita. Dan kalau kita terlanjur memasuki tahap depresi dalam kedukaan kita, kita bisa datang kepada Tuhan yang menyediakan pertolongan dan penghiburan. Tuhan memberkati! (Bersambung).