
Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait
Pencarian manusia pada Sang Kebenaran seakan tak pernah berhenti. Sepanjang jaman bergulir orang terus-menerus bergelut dalam pencariannya tentang sosok, pribadi, ide, atau suatu yang akbar di luar dirinya. Sesuatu yang nun jauh di sana, sesuatu yang sangat transenden. Sebagian orang menyebut sang Kebenaran itu Tuhan, sebagian lain menyebutnya suatu “prinsip” tertentu. Bagaimanapun atau seperti apapun bentuk dan modelnya, itu adalah bagian panjang perjalanan manusia dalam usaha memahami sang kebenaran. Kendati berlangsung sudah sejak lama, namun upayanya “menjangkau” Dia Sang Kebenaran, tetap saja mengalami kebuntuan. Tidak satupun pencarian atau pendekatan yang berorientasi pada manusia, yang diprakarsai oleh ciptaan yang mencari pencipta – dari bawah ke atas – terbukti benar telah berhasil.
Tuhan dari Masa ke Masa
Sejarah pencarian Kebenaran Sejati memang menarik untuk ditelisik. Diawali pada jaman pra-modern. Era ini ditandai dengan kuatnya “mistik” mempengaruhi alam berpikir orang di jaman itu. Membuat mereka cenderung menganggap bertuhan adalah suatu kebutuhan yang mendasar. Beragama, dan menjalani ritualnya merupakan kewajiban yang harus diindahkan. Realita hidup yang bergantung sepenuhnya kepada alam semesta mentriger orang untuk semakin religius. Semakin bergantung pada pribadi sang empunya alam semesta. Kondisi seperti ini otomatis menghantarkan orang pada kondisi tidak dapat melepaskan diri dari keberagamaan. Pengaruhnya bahkan sampai mendominasi keseluruhan kehidupan manusia.
Era berikutnya dinamakan dengan jaman modern. Di jaman ini explorasi besar-besaran terhadap nalar dan rasio terjadi. Tak heran jika begitu banyak penemuan dan ide-ide baru yang brilian bermunculan di masa ini. Daya nalar dan pikir manusia semakin berkembang luar biasa. Rasio seakan menjadi panglima, atau hakim untuk menjustifikasi segala sesuatu, tanpa terkecuali Kebenaran Sejati, Tuhan, atau ide tentang keilahian. Rasio menjadi pusat utama segala sesuatu. Orientasi ini selanjutnya menghadirkan bentuk kepongahan tersendiri. Kesombongan diri manusia dengan nalar berpikirnya seolah-olah dapat dan pasti bisa menjangkau Sang Kebenaran.
Lain lagi dengan era berikutnya, Post-Modernisme. Di sini perasaan menjadi titik utama. Bukan lagi kemampuan menalar atau kerja rasio yang dipentingkan, tetapi bagaimana orang bisa merasa (feeling). Di masa ini keberagamaan atau keberimanan mulai bergerak. Entah maju atau mundur, yang jelas dalam beragama/beriman orang mengabaikan fungsi rasio, dan menggantikannya dengan fungsi perasaan. Bagaimana orang “merasa” dekat Tuhan. Merasa dicintai Tuhan. Atau merasa telah memiliki iman yang besar. Sebuah penilaian yang sudah barang tentu sangat subyektif.
Dari masa ke masa, keristenan tak pelak dipengaruhi oleh fenomena yang berkembang kala itu. Kekristenan juga turut dipengaruhi orientasi atau titik berat berbeda dari jaman satu ke jaman lain. Tak dapat dipungkiri jika kekristenan turut terwarnai, kalau tidak mau dikatakan tercemari oleh paham-paham yang dihidupi di setiap jaman. Hal ini terjadi bukan lantaran Alkitab kurang kuat, atau kebenarannya kurang tepat, tetapi karena ketidakmampuan umat, alias impotennya daya kritis dan daya filterasi umat dalam menelaah realita yang berkembang di jamannya.
Kebenaran Absolut
Alkitab yang adalah Firman Allah merupakan kebenaran yang hakiki, kebenaran yang mutlak. Kebenaran sejati, kebenaran Firman Allah itu sifatnya mutlak benar. Dalam artian, dia tidak butuh pengakuan bahwa kebenaran itu benar adanya. Tapi kebenaran sejati adalah kebenaran yang benar pada dirinya. Dia bukan benar yang terkondisi. Atau menjadi benar jikalau ada orang atau sekelompok orang sepakat mengatakan, atau mengakui bahwa kebenaran itu benar adanya. Kebenaran yang sejati yang hakiki adalah kebenaran yang sekalipun orang tidak mengatakannya benar, tapi dia benar pada dirinya. Dia tetaplah kebenaran itu. Oleh karenanya, ketika umat diperhadapkan pada fenomena yang berbeda, maka seyogyanya Alkitab menjadi tuntunan pembuka tabir fenomena. Bukan sebaliknya, atas nama kontekstualisasi atau fungsionalitas, kekristenan justru membuka lubang lebar-lebar bagi pengajaran-pengajaran yang notabene baru, tanpa ada filterasi lagi. Akibatnya ajaran-ajaran yang salah itu datang dan masuk mencemari kekristenan.
Nilai-nilai lain boleh saja berkembang, boleh saja mempengaruhi orang, bahkan jaman. Tapi ketika berhadapan dengan kekristenan, maka prinsip-prinsip kristiani atau prinsip-prinsip Alkitablah yang harus mempengaruhi, atau mewarnai nilai atau ide yang lain, bukan sebaliknya. Meminjam istilah “Garam dan Terang”, garam seyogyanya mengasinkan dan memberi keawetan terhadap apa yang ada didekat dan jangkaunya. Sementara terang menembus segala area, bahkan celah sekecil apapun untuk membuat terang sampai batas jangkaunya. Demikianlah selayaknya ideal kekristenan yang terwarnai oleh kebenaran sejati.
Seperti telah disinggung di atas, Kebenaran, adalah pada hakikatnya benar. Kebenaran semacam ini hanya ada atau muncul dari Allah semata. Sementara kebenaran-kebenaran di luar itu tak lebih dari anugerah umum Allah saja (common grace). Jika di sepanjang jaman orang disibukkan dengan pencarian “Sang Kebenaran”, maka tidak ada referensi lain, bahwa Kebenaran Sejati adalah Allah sendiri. Dia mewujud sebagai special grace (anugerah khusus) dalam diri Yesus Kristus. Anugerah khusus itu tidak dapat diraih melalui upaya manusia. Hanya dapat diakses, ketika sang Kebenaran, Allah yang sejati itu menyatakan diri kepada manusia, orang yang diinginkanNya, meskipun di dalam keterbatasan dan ketidakmampuan manusia itu. Kepada siapa saja Allah menyatakan diri? Itu bukan domain kita manusia, tetapi menjadi misteri Allah kepada pribadi lepas pribadi.
Allah sang kebenaran bukanlah Allah yang memerlukan pengakuan dari orang, sehingga Dia menjadi benar. Ketidakbenaran yang dilakukan manusia tidak pernah berpengaruh terhadap nilai kebenaran yang sejati. Yang terjadi justru sebaliknya, kebenaran Allah yang membenarkan umat orang yang diperkenanNya, sehingga kita yang tidak benar dapat menjadi benar oleh karena Dia. Manusia benar, bukan karena an sichbenar, tetapi karena Allah Sang Benar yang membenarkan.
(disarikan dari Khotbah
Populer oleh: Slawi)