Sumpah Pemuda, Sumpah Yang Hilang

Pdt. Bigman Sirait

Follow Twitter @bigmansirait

28 Oktober 1928, di Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, sumpah pemuda yang dirumuskan oleh Muhammad Yamin,  pertama kali diikrarkan. Begitu juga dengan lagu Indonesia Raya, karya WR. Supratman dikumandangkan didepan seluruh peserta kongres pemuda yang datang dari berbagai daerah Indonesia. 85 tahun lalu, perbedaan latar belakang suku dan agama, tak tampak disana, yang ada cuma satu Indonesiaku. Nasionalisme yang membara, yang membuat para pemuda tak rela diadu domba penjajah. Bersatu kita teguh, itu semangat bersama. Tak ada sukuku, atau agamamu, yang ada Indonesia kita. Para pemuda dikala itu sangat beradab dalam berbangsa dan bernegara. Berwawasan luas, tak picik, sehingga tak terjebak dalam sekat-sekat pemisah.
Semangat sumpah pemuda terus bergulir, dan persatuan yang dilandasi Nasionalisme yang terpuji, telah membawa Indonesia mencapai martabat tertingginya di tanggal 17 Agustus 1945, yaitu bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Ah, indahnya hidup sebagai kawan sebangsa dan setanah air. Bahu membahu, musuh yang lebih canggih peralatannya harus mengakui hebatnya semangat persatuan yang membara dihati pejuang bangsa. Sejarah yang tak terbantah, luar biasa, semua itu milik Indonesia tercinta.
Sumpah pemuda, dalam ejaan baru, teksnya sangat kental dengan gairah persatuan dan kesatuan, yang muncul dalam pengakuan kebangsaan, yaitu;
Kami putra dan putri Indonesia mengaku
Bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia mengaku
Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Persatuan dan kesatuan yang tidak mengedepankan kesukuan maupun keagamaan. Tak ada mayoritas atau minoritas disana. Inilah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang satu. 85 tahun anak bangsa ini digjaya dalam bersatu, entah mengapa, sekarang justru seperti tak tersisa. Kalaupun ada, serba seremonial belaka. Partai politik yang saling menjatuhkan, tanpa peduli bahwa yang jadi korban adalah bangsa kita. Belum lagi nasionalisme yang hanya sebatas slogan, dalam pidato pidato yang penuh kepalsuan. Tak semua anggota legislatif mengetahui persis isi sumpah pemuda, bahkan dalam menyanyikan lagu kebangsaan pun masih ada petinggi negeri yang gagap, dan salah. Lalu contoh apa yang dilihat para pemuda dari yang tua. Jadi tak heran jika terjadi kerusakan disini sana, yang melanda generasi muda bangsa.
Pemuda, tak lagi duduk merumuskan kemajuan bangsa kedepan, sebaliknya, banyak yang terlibat dalam tawuran, bukan saja antar universitas, bahkan antar fakultas. Semakin hari, semakin sulit menemukan pemuda dengan kecintaan murni pada bangsa. Kalaupun ada, hanya tampak sesaat karena ujungnya hanyalah demi sebuah kursi. Setelah itu suara merdu untuk kehidupan berbangsa mendadak berubah salah nada. Dan, jika ada pemuda yang murni cinta bangsa, dengan idealisme yang tinggi, malah dibungkam oleh kekuatan yang tak ingin terganggu kenikmatannya. Ironis, posisi penjajah di waktu lampau digantikan oleh orang yang mabuk kekuasaan. Sementara korupsi tak hanya yang tua, yang muda juga turut berkarya, bahkan terbilang luar biasa. Belum lagi kerjasama bapak dan anak di konteks yang salah.
Sementara pemuka agama, tak sedikit yang mengobarkan kita bukan satu, sehingga semangat saling meniadakan bergerak liar mengancam sendi-sendi persatuan kebangsaan. Agama yang seharusnya teduh, karena mengajarkan azas saling menghormati, bisa berubah buas dan memakan korban. Semakin sulit menemukan ruang teduh untuk duduk dan bekerja sama dalam perbedaan yang ada. Kongres sumpah pemuda dan semangat mereka telah ternoda. Mengapa 85 tahun kemudian, bukannya kesempurnaan yang tercapai, tapi sebaliknya!  Sumpah pemuda masih ada teksnya, dan terpelihara, tetapi rohnya telah hilang tertelan kesempitan berpikir oleh sekelompok orang.
Situasi ini semakin mencekam, karena pemerintah yang seharusnya mampu mengayomi semua hak rakyat, malah mandek sebagai penerima mandat. Semua hanya sibuk membangun citra, rajin beriklan, tapi tanpa karya nyata. Yang nyata adalah tertangkap tangannya para petinggi negeri sedang transaksi korupsi. Yang belum, juga bukan karena bersih, tapi lebih karena masih mampu berkelit. Tak hanya di dalam negeri, keluar negeri pun para petinggi mencari dan membeli kehormatan. Bahwa untuk itu Indonesia tergadai, mereka tak peduli. Semua hanya citra diri, cinta diri, sementara pemuda di waktu lampau justru mempersembahkan diri demi kehormatan Ibu Pertiwi.
Ungkapan “sumpah pemuda – sumpah yang hilang”, sangat pas mengambarkan situasi menajamnya pertikaian, baik horizontal maupun vertikal. Secara vertikal, rakyat telah merosot dalam kepercayaanya kepada pemerintah, tampak nyata pada berbagai survey. Sementara horizontal, pertikaian dengan isu suku, agama, kelompok, terus merebak. Celakanya, negara seringkali tak kunjung hadir, kecuali penampilan di TV, dan himbauan kosong, karena tanpa tindakan nyata. Banyak yang tak lagi merasa malu dengan janji yang tak pernah terwujud, dan selalu punya muka untuk kamera media. Sangat berbeda dengan petinggi di Jepang, Korea, atau bahkan Singapura, yang dekat dengan kita. Mereka tak punya sumpah pemuda, tapi mampu bersatu untuk jadi bangsa yang maju. Dan, berani mundur jika gagal mengemban amanat rakyat.
Teks sumpah pemuda masih ada, tapi semangatnya hilang sudah, dicuri oleh mereka yang tak bertanggungjawab, tapi selalu menyebut diri pemimpin bangsa, dan tetap memakan uang negara. Pemuda yang masih punya rasa kebangsaan yang satu, harus bangun dan bergerak. Ikrarkan sumpah pemuda, dan gugat mereka yang melanggarnya sebagai noda bangsa. Indonesia bisa jadi negara maju, jika seluruh kemampuan anak bangsa disatukan seturut semangat sumpah pemuda. Pilihlah pemimpin yang tak hanya pintar bicara, apalagi punya seribu wajah. Kita perlu yang hanya punya satu wajah, satu kata dan perbuatannya, dan satu semangatnya, untuk bangsa dan negara.
Tentang persatuan Alkitab berpesan: Hendaklah kamu satu hati, satu pikiran, satu kasih, satu jiwa, dan satu tujuan! (Filipi 2:2). Sudah seyogiyanya pemuda Kristen memberikan kontribusi nyata, untuk terus mengobarkan dan mewujudkan semangat sumpah pemuda.
 Akhirnya, selamat hari sumpah pemuda, dan sumpah kita harus mencari dan menemukan semangatnya. Bersatu kita  teguh, bercerai kita rubuh. Hidup persatuan, itulah Indonesia yang sesungguhnya.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *